Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Media Berbasis Klik Tak Sensitif Jender
Tanggal 07 Februari 2022
Surat Kabar Kompas
Halaman 5
Kata Kunci
AKD - Komisi I
- Badan Kerja Sama Antar Parlemen
Isi Artikel

Kompas_07_02_22_h.4_suka_duka

CATATAN AWAL PEKAN
Suka Duka Pindah
ke Ibu Kota Baru
Tahun 2015, Presiden Mesir Abdel Fatah el-Sisi meng-
umumkan akan memindahkan ibu kota ke tempat
baru. Namanya masih Ibu Kota Pemerintahan Baru,
terletak sekitar 50 kilometer dari ibu kota saat ini, Kairo.
Seharusnya, awal tahun 2021, ibu kota baru Mesir mulai
beroperasi. Rencana ini ditunda akibat pandemi Covid-19.
Ibu Kota Pemerintahan Baru Mesir berfungsi sebagai
pusat pemerintahan. Laman Al Jazeera mengungkapkan,
kota ini digadang-gadang sebagai kota modern dan dirancang
bisa menampung 6,5 juta penduduk di area seluas 697,9
kilometer persegi. Pembangunan dilaksanakan oleh Otoritas
Teknik Angkatan Bersenjata Mesir. Ini yang memicu pole-
mik. Kubu oposisi menuding megaproyek ini ajang korupsi
dan pamer kekuasaan Presiden Sisi. Dana pembangunan
mencapai 60 miliar dollar AS atau sekitar Rp 863 triliun.
Di Asia Tenggara, Myanmar dan Malaysia juga memin-
dahkan ibu kota masing-masing. Artikel ”A Short History of
Relocating Capitals in Asia” yang dilansir laman Nikkei
(30/8/2019) menyebutkan, tahun 2001 junta militer Myan-
mar memutuskan merelokasi ibu kota dari pesisir di Yangon
ke wilayah pedalaman di Naypyidaw. Pembangunan selesai
tahun 2006 dan semua kantor pemerintah beroperasi pada
tahun berikutnya. Namun, banyak pegawai pemerintah tetap
meninggalkan keluarga mereka di Yangon karena minimnya
fasilitas komersial dan pendidikan di Naypyidaw.
Sebelumnya, Malaysia memindahkan pusat pemerintahan
dari Kuala Lumpur ke Putrajaya tahun 2003. Jaraknya
hanya 25 kilometer. Semua badan pemerintah, termasuk
kantor dan kediaman perdana menteri, kini di Putrajaya.
Dari waktu ke waktu, banyak negara memindahkan ibu
kotanya dengan beragam alasan. The Economist dalam arti-
kel ”Why Do Countries Move Their Capital Cities?”
(24/1/2022) menyebutkan, secara historis pemerintah meng-
gunakan ibu kota baru untuk menyatukan aneka perbedaan.
Presiden AS George Washington memilih Washington DC
tahun 1790 sebagai jembatan antara negara bagian di utara
dan selatan. Australia memilih Canberra pada awal abad
ke-20 untuk menengahi persaingan Sydney dan Melbourne.
Brasil mencoba melakukan hal serupa saat memindahkan
ibu kota dari Rio de Janeiro ke Brasilia tahun 1960. Kota
baru itu diharapkan bisa menciptakan masyarakat egaliter
tanpa favela atau kawasan kumuh ilegal dan membawa
pemerataan kesejahteraan. Sayangnya, seiring waktu, per-
tumbuhan demografi Brasilia sama saja dengan kota-kota
lain di Brasil. Saat ini Brasilia malah disebut sebagai salah
satu kota paling timpang di dunia.
Ibu kota baru juga dianggap mencerminkan sebuah ”ke-
majuan”, terutama dari segi tampilan fisik. Di sejumlah ibu
kota baru, gedung-gedung megah dengan arsitektur modern
mendominasi panorama. Tata kota dirancang agar tak hanya
fungsional, tetapi juga indah dipandang. Persoalan lingkung-
an ibu kota lama diharapkan tak terjadi di ibu kota baru, mi-
salnya banjir, kemacetan lalu lintas, atau penduduk padat.
Kini, menyusul para tetangganya, Filipina mengincar area
urban baru yang disebut New Clark City sebagai alternatif
lokasi pusat pemerintahan dan bisnis. Berjarak sekitar 100
kilometer dari Manila, lokasi itu diharapkan jadi kawasan
pertumbuhan baru sekaligus pemerataan penduduk dan ke-
sejahteraan. Manila sekarang begitu padat. Kantor-kantor
pemerintah tersebar di kawasan Metro Manila dan perlu
satu jam lebih perjalanan dari satu kantor ke kantor lain.
Filipina punya pengalaman memindahkan ibu kota se-
belumnya. Quezon City menjadi ibu kota tahun 1948 sampai
Presiden Ferdinand Marcos memindahkannya ke Manila
tahun 1976. Banyak pihak di Filipina skeptis dengan rencana
Presiden Rodrigo Duterte memindahkan ibu kota lagi dan
menganggapnya ”white elephant”. Mahal, tapi tak berguna.
Pembangunan ibu kota baru perlu waktu panjang dan
perencanaan matang. Kalau tidak, nasibnya bisa seperti
Washington DC, misalnya. Sejak dibangun tahun 1790, kota
itu dicela sampai sekarang karena perencanaan kurang baik.
Atau seperti Ngerulmud, ibu kota baru Palau, negara kecil
bagian dari Federasi Negara-negara Mikronesia yang terletak
di timur laut Indonesia. Laporan The Wall Streeet Journal
tahun 2013 menyebutkan, gedung-gedung di ibu kota baru
tidak cocok dengan iklim setempat. Kesalahan pada sistem
ventilasi mengakibatkan serangan jamur. Pada akhirnya,
Ngerulmud menjadi ibu kota dengan penduduk paling se-
dikit di dunia, 271 orang. (FRANSISCA ROMANA NINIK)

Kompas_07_02_22_h.4_dari_ukraina


Dari Ukraina, Asia Menebak AS
Langkah-langkah AS dalam konflik di Ukraina menimbulkan ambiguitas dan keraguan: apakah AS serius
membela kepentingan Ukraina? Situasi di Ukraina bisa menjadi cermin Asia untuk membaca langkah AS.
Kris Mada
Terpisah ribuan kilometer,
Ukraina
dan Asia
sama-sama sedang me-
mantau manuver Amerika Se-
rikat. Keraguan dan kebingung-
an pada komitmen Washington
menjadi salah satu alasan pe-
mantauan itu.
Wajar Kiev bingung dan ragu
dengan Washington dan seku-
tunya. Keraguan dan kebi-
ngungan Kiev, antara lain, di-
sebabkan oleh fakta bahwa la-
maran Ukraina untuk menjadi
anggota Pakta Pertahanan At-
lantik Utara (NATO) sejak 2008
tidak kunjung diterima. Sampai
sekarang, NATO tidak kunjung
menerbitkan rencana aksi ke-
anggotaan (MAP) untuk Ukrai-
na. Penerbitan MAP merupa-
kan tahapan sebelum suatu ne-
gara menjadi anggota NATO.
Sebagai pembanding, Albania
dan Kroasia mendaftar pada
2003 dan diterima pada 2009.
Sebelum itu, tujuh negara Ero-
pa Timur mendaftar pada 1999
dan diterima pada 2004.
Presiden AS Joe Biden pun
menunjukkan sikap tidak kalah
membingungkan. Berkali-kali
ia memastikan tidak akan me-
ngirim tentara ke Ukraina. Pa-
dahal, ada 180 perwira dan bin-
tara AS di Ukraina.
Selain mengirim pelatih dan
penasihat, Washington mengu-
curkan 2,5 miliar dollar AS se-
jak 2014 untuk Kiev. Selain un-
tuk membeli senjata, dana itu
untuk membiayai pelatihan mi-
liter. Pada akhir Desember
2021, AS mempertahankan gu-
gus tempur laut USS Harry S
Truman di Laut Tengah. Pa-
dahal, gugus tempur itu dijad-
walkan bergerak di Timur
Tengah.
Selain itu, Rabu (2/2/2022)
malam,Biden mengesahkanpe-
ngiriman 1.700 tentara ke Po-
landia dan 300 tentara lagi ke
Jerman. Biden juga memerin-
tahkan 1.000 tentara AS di Jer-
man dipindahkan ke Romania.
”Pengerahan ini bukti nyata
bahwa kami, Rusia, patut kha-
watir. AS sebenarnya pihak
yang terus meningkatkan ke-
tegangan di Eropa,” kata Juru
Bicara Kepresidenan Rusia
Dmitry Peskov menanggapi pe-
ngerahan 3.000 tentara AS itu.
Kini, secara resmi, 8.100 ten-
tara AS berada di dua negara
yang berbatasan langsung de-
ngan Ukraina. AS juga punya
hampir 34.000 tentara di Jer-
man. Di Estonia dan Latvia,
yang berbatasan dengan Rusia,
juga ada tentara AS.
Selain mengerahkan tentara,
AS juga menjalankan mesin
diplomasi untuk menangani
Ukraina. Direktur CIA William
Burn bertandang ke Rusia dan
Ukraina. Adapun Menteri Luar
Negeri AS Antony Blinken dan
Penasihat Keamanan Nasional
AS Jake Sullivan bolak-balik ke
Eropa. Di luar itu, Biden dan
bawahannya menelepon ke sa-
na sini gara-gara Ukraina.
Kepentingan
Meski demikian, sejumlah pi-
hak di luar Ukraina meragukan
komitmen penuh Washington
pada Kiev. Ketua Dewan Ke-
amanan Rusia Nikolai Pat-
rushev mengingatkan, Ukraina
bisa bernasib seperti Afghanis-
tan jika mengandalkan AS.
Mantan pentolan mata-mata
Rusia dan teman sekampung
Presiden Rusia Vladimir Putin
itu mengatakan, AS mening-
galkan Afghanistan begitu saja
setelah tidak melihat ada ke-
pentingan dengan negara itu.
Peneliti hubungan interna-
sional pada Universitas Oxford,
Scott Singer, menyebut kepen-
tingan AS terhadap Ukraina sa-
ngat rendah. Tidak ada komo-
ditas strategis yang dibutuhkan
AS dari Ukraina. Kiev tidak ter-
masuk 10 besar mitra dagang
AS. Selain itu, seperti bolak-ba-
lik diungkap Biden dan jajar-
annya, kepentingan strategis AS
masa kini ada di Indo-Pasifik.
Sebaliknya, Asia terus ber-
kembang menjadi kekuatan
ekonomi yang makin besar. AS
sangat tergantung pada pasok-
an semikonduktor dari Jepang,
Korea Selatan, dan Taiwan. Kri-
sis semikonduktor setahun ter-
akhir membuktikan itu.
Inflasi di AS juga menunjuk-
kan, Washington tidak bisa
mengabaikan rantai pasok dari
Asia. Selama bertahun-tahun,
konsumen AS menikmati aneka
produk murah karena kebutuh-
an mereka diproduksi di Asia.
Karena itu, mantan Asisten
Menteri Pertahanan AS El-
bridge A Colby mengingatkan
negaranya untuk tetap fokus
pada Asia. Ia tidak menampik,
ketegangan dengan Rusia bisa
membuat perhatian AS teralih
dari China. ”Asia jauh lebih
penting dan China lebih besar
daripada Rusia. Kita tidak pu-
nya kemampuan militer dan
diplomasi untuk terus bertahan
di Eropa sembari berusaha fo-
kus di Asia,” tuturnya.
Anggota DPR AS, Rohit
Khanna, mengatakan, AS tidak
sanggup menanggung beban
terlibat konflik di Ukraina kala
China sedang bangkit. ”Kepen-
tingan keamanan nasional AS
membuat kita tidak boleh ter-
libat dalam konflik yang bisa
melemahkan kemampuan ber-
hadapan dengan China,” kata
politisi Demokrat itu.
Seperti Singer dan Colby,
Khanna sepakat bahwa bagi AS,
Asia lebih penting daripada Uk-
raina. Hanya masalahnya, AS
tidak kunjung menunjukkan
keseriusan pada Indo-Pasifik.
Akademisi India, Brahma Chel-
laney, mengkritik Biden yang
begitu risau pada pengerahan
ratusan ribu tentara Rusia di
dekat perbatasan Ukraina. Di
sisi lain, Biden tidak terlihat
gelisah pada pengerahan per-
senjataan dan tentara China di
dekat perbatasan India.
Sementara di Asia Tenggara,
pertemuan Biden dengan para
kepala pemerintahan ASEAN
dimundurkan dari Januari
menjadiApril-Mei 2022.Alasan
resminya, karena kasus Co-
vid-19 kembali naik.
Sementara sejumlah pihak
menyebut, AS tidak kunjung
memberikan tawaran konkret.
Koordinator Indo-Pasifik di Ge-
dung Putih Kurt Campbell
mengakui bahwa AS perlu me-
nawarkan kerangka kerja sama
ekonomi bagi Indo-Pasifik. ”Su-
dah jelas bahwa hubungan tidak
hanya secara diplomatik, mi-
liter, strategis. Perlu hubungan
komersial, investasi di Indo-Pa-
sifik,” ujarnya.
Gedung Putih juga tidak kun-
jung menghadirkan tawaran
ekonomi yang nyata untuk In-
do-Pasifik. Padahal, Washing-
ton juga tahu, AS perlu mem-
berikan tawaran ekonomi un-
tuk menandingi China di Asia.
Blinken pernah mengumum-
kan pada triwulan III 2021 bah-
wa AS sedang menyusun ke-
rangka kerja ekonomi untuk di-
tawarkan ke Indo-Pasifik pada
awal 2022. Sampai sekarang,
belum ada yang benar-benar
tahu wujud kerangka itu.
Salah paham
Evan A Laksmana dari Lee
Kuan Yew School of Public Po-
licy dan Hoang Thi Ha dari
ISEAS-Yusof Ishak Institute se-
pakat, AS masih salah paham
dan salah langkah di Asia
Tenggara. Menurut Evan, AS
memakai asumsi kuno yang
menggunakan perspektif masa-
lah Eropa untuk melihat Asia.
AS harus berhenti memakai
perspektif itu dan mulai men-
cari tahu versi Asia.
Washington juga terlalu fo-
kus pada Beijing dan mengajak
negara-negara kawasan memu-
suhi China. ”Perilaku China
memang membahayakan ka-
wasan. Walakin, AS juga harus
mengakui, perannya menga-
caukan tatanan kawasan,” kata
Evan.
SepertiEvan,Hoa juga meng-
ingatkan bahwa kawasan se-
nantiasa mencatat AS selalu
menempatkan
kepentingan
sendiri di atas hukum dan lem-
baga internasional. Washington
dan sekutunya membuat taf-
siran sendiri atas aneka hukum
internasional, termasuk Kon-
vensi Perserikatan Bang-
sa-Bangsa tentang Hukum Laut
Internasional (UNCLOS) 1982.
AS dianggap tidak punya lan-
dasan membahas ketertiban di
laut berdasarkan UNCLOS. Se-
bab, Washington tidak kunjung
mengakui dan meratifikasi UN-
CLOS 1982.
Narasi politik AS, menurut
Evan dan Hoang, tak akan di-
terima kawasan. Narasi demo-
krasi versus otoritarianisme
atau ketertiban berbasis hu-
kum, yang kerap digemakan AS,
bukan menjadi perhatian ka-
wasan. Dalam jajak pendapat
ISEAS-Yusof Ishak Institute se-
lalu konsisten ditemukan, Asia
Tenggara percaya pada AS bu-
kan karena kesamaan budaya
politik. Mereka mau berkomu-
nikasi dengan AS karena alasan
ekonomi. (AFP/REUTERS)

  Kembali ke sebelumnya