Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Dilema Perpanjangan Batas Usia Pensiun Prajurit TNI
Tanggal 10 Februari 2022
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi I
Isi Artikel

Dilema Perpanjangan Batas Usia Pensiun Prajurit TNI

 

Usia pensiun prajurit TNI menjadi salah satu isu yang cukup krusial saat ini. Setidaknya hal ini tergambar dari hadirnya Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dalam persidangan Mahkamah Konstitusi, Selasa (8/2/2022), khusus membahas mengenai masa pensiun para prajurit yang bertugas menjaga pertahanan NKRI ini.

Meskipun di hadapan sembilan hakim konstitusi Panglima TNI tidak mengungkapkan persetujuan atau tidaknya terhadap masalah yang dibahas, kehadirannya—meski secara virtual—punya arti penting.

Dalam kesempatan tersebut, Panglima TNI mengungkapkan bahwa persoalan masa pensiun prajurit TNI menjadi salah satu isu yang akan dibahas di dalam rancangan perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

”Mengenai perubahan batas usia pensiun, saat ini pemerintah dan DPR RI akan membahas rancangan perubahan UU TNI yang telah masuk Prolegnas. Dalam materi RUU tersebut, termasuk pula rencana perubahan batas usia pensiun,” ujar Andika yang akan pensiun dari TNI pada Desember 2022.

Persoalan usia pensiun ini bermula ketika dua pensiunan TNI, Euis Kurniasih dan Musono, dan sejumlah warga mengajukan uji materi terhadap Pasal 53 dan Pasal 71 Huruf a UU No 34 Tahun 2004 yang mengatur usia pensiun prajurit TNI berpangkat bintara dan tamtama adalah 53 tahun dan yang berpangkat perwira 58 tahun.

Pasal tersebut dinilai bermasalah secara konstitusional karena melanggar Pasal 27 UUD 1945 yang menjamin adanya kesamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan serta hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Selain itu, pasal tersebut juga dinilai melanggar Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945 yang memberi jaminan atas kepastian hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum serta keadilan.

Selain karena pasal tersebut membuat para prajurit yang masih dalam usia produktif (batas maksimum usia produktif 64 tahun), salah satu yang menjadi biang kerok persoalan adalah perbedaan pengaturan masa pensiun dengan anggota Kepolisian Negara RI. Pasal 30 Ayat (2) UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri mengatur bahwa usia pensiun seluruh anggota kepolisian adalah 58 tahun. Ketentuan itu berlaku untuk semua anggota kepolisian, tanpa membedakan kepangkatan.

Selain itu, di dalam UU Polri juga diatur mengenai perpanjangan usia pensiun hingga 60 tahun bagi anggota kepolisian yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan di dalam tugas. Ketentuan yang sama tidak berlaku untuk prajurit TNI, khususnya perwira yang harus pensiun saat usia menginjak 58 tahun.

Padahal, menurut kuasa hukum pemohon Iqbal Tawakal Pasaribu dalam persidangan MK tanggal 30 November 2021, jika konsep perpanjangan pensiun bagi anggota Polri diterapkan, sebenarnya para prajurit TNI (baik perwira, bintara, maupun tamtama) memenuhi kriteria punya keahlian khusus.

Misalnya, ada pasukan khusus Komando Operasi Khusus TNI (Kopsus TNI) yang melaksanakan operasi dengan kecepatan dan ketepatan tinggi demi menjaga NKRI atau keahlian khusus dalam membantu menanggulangi bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan.

Oleh karena itu, para pemohon meminta agar MK menyatakan agar usia pensiun prajurit TNI bagi bintara dan tamtama disamakan dengan usia pensiun anggota Polri. Sementara berkaitan dengan prajurit yang memiliki keahlian khusus dan dibutuhkan negara, pemohon meminta agar ketentuan yang berlaku untuk Polri juga diterapkan bagi prajurit TNI.

 

Perluasan jabatan prajurit aktif

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P, Arteria Dahlan, yang mewakili DPR untuk memberikan keterangan dalam persidangan di MK, menegaskan, penentuan batas usia pensiun pada hakikatnya merupakan kebijakan hukum yang terbuka atau open legal policy pembentuk undang-undang.

Ini sesuai dengan beberapa putusan MK terdahulu seperti dalam putusan nomor 30-74/PUU-XII/2014, 49/PUU-IX/2011, dan sebelum-sebelumnya yang mempertimbangkan bahwa batasan usia minimum merupakan kebijakan hukum terbuka yang sewaktu-waktu dapat diubah sesuai perkembangan yang ada.

Sama seperti Panglima TNI, Arteria juga mengungkapkan bahwa RUU TNI telah masuk Prolegnas 2019-2024. Meskipun masuk dalam Prolegnas jangka menengah, tidak mustahil RUU tersebut diputuskan masuk dalam Prolegnas prioritas tahunan. Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pun telah menyusun draf dan naskah akademik RUU TNI pada 2019.

Berdasarkan draf RUU TNI yang diperoleh Kompas, pengaturan masa pensiun memang menjadi salah satu poin yang diubah. Dalam draf Pasal 53 RUU TNI, pengaturan usia pensiun diubah menjadi ”Prajurit melaksanakan dinas keprajuritan sampai usia paling tinggi 58 (lima puluh delapan) tahun”.

Selain usia pensiun yang diubah, dalam draf tersebut juga tentang perluasan jabatan yang dapat diduduki oleh prajurit aktif. Di dalam UU No 34/2004, prajurit aktif hanya bisa menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, SAR Nasional, narkotik nasional, dan Mahkamah Agung.

Namun, dalam draf RUU TNI, selain bidang yang sudah disebutkan itu, prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada Kementerian Koordinator Bidang Polhukam, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Staf Kepresidenan, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Badan Keamanan Laut, dan kementerian atau lembaga lain yang sangat membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai kebijakan presiden.

Terkait isu perpanjangan batas usia pensiun prajurit TNI, peneliti di National University of Singapore Evan Laksmana mewanti-wanti hal itu dapat memperburuk kemacetan dalam promosi perwira-perwira menengah.

Evan mencontohkan, antara 2011 dan 2017, ada kelebihan perwira. Kelebihan perwira yang dimaksud, jumlah perwira yang ada jauh lebih banyak dari posisi jabatan yang tersedia. Hal ini terjadi menyusul berlakunya UU No 34/2004 tentang TNI. UU mengubah usia pensiun dari 55 tahun menjadi 58 tahun. Perubahan ini, menurutnya, untuk mengakomodasi Jenderal TNI Endriartono Sutarto agar terus menjabat Panglima TNI walau ia sudah memasuki masa pensiun. ”Waktu itu ada kelebihan sekitar 30 jenderal dari 330 kolonel per tahun,” katanya, Selasa.

Memperpanjang batas usia pensiun membuat perwira senior yang seharusnya sudah pensiun menjadi tetap duduk di posisinya sehingga otomatis menghambat karier perwira di bawahnya. ”Kalau usia pensiun diperpanjang lagi, kita seperti mengulangi kesalahan sejarah,” kata Evan.

Perpanjangan usia pensiun itu dinilainya mengacaukan pembinaan perwira dan prajurit dalam organisasi TNI. Ketatnya persaingan membuat pengaturan jenjang karier jadi tidak teratur, bahkan bisa bernuansa politik.

Upaya TNI untuk mengatasi gemuknya organisasi ini dengan menambah struktur komando, yaitu dengan menaikkan pangkat para perwira, tidak menjadi solusi masalah. Tidak saja hal ini meningkatkan biaya rutin, tetapi secara langsung juga mengurangi alokasi anggaran yang seharusnya bisa untuk modernisasi TNI.

”Reformasi TNI untuk menjadi militer yang profesional jadinya mandek, bahkan bisa mundur ke belakang,” kata Evan.

  Kembali ke sebelumnya