BENCANA ALAM
Gempa dan Tsunami Ancam Selat Sunda
JAKARTA, KOMPAS — Gempa
bermagnitudo 6,6 yang terjadi
di Selat Sunda pada Jumat
(14/1/2022) tidak mengurangi
energi kegempaan yang ter-
simpan di kawasan itu. Gempa
tersebut justru menandai ak-
tifnya zona kegempaan, dan
gempa M 8,7 masih bisa ter-
jadi sewaktu-waktu.
Evaluasi mengenai gempa
M 6,6 pekan lalu dan an-
camannya ke depan ini didis-
kusikan dalam webinar yang
digelar Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika
(BMKG), Jumat (21/1). Pem-
bicara dalam diskusi daring ini
ialah Dadang Permana, Mo-
hammad Ramdhan, dan
Supriyanto Rohadi dari BM-
KG. Diskusi juga menghadir-
kan ahli gempa Institut Tek-
nologi Bandung (ITB), Irwan
Meilano, dan peneliti gempa
Badan Riset dan Inovasi
Nasional (BRIN), Rahma
Hanifa.
Dadang Permana, Koordi-
nator Bidang Seismologi Tek-
nik BMKG, menyampaikan
hasil survei makroseismik
yang dilakukan timnya dan
menemukan banyaknya keru-
sakan bangunan di lapangan.
”Dari survei makroseismik,
kerusakan terbanyak kami
temukan di Kecamatan Su-
mur, Kabupaten Pandeglang,
dengan kekuatan guncangan
VI MMI (modified mercalli in-
tensity). Sebagian besar wila-
yah terdampak memiliki kla-
sifikasi tanah sedang dan lu-
nak, sedangkan lokasi yang
terparah di Sumur berkondisi
tanah lunak,” katanya.
Kerusakan
bangunan
umumnya disebabkan kuali-
tas konstruksi yang tidak me-
menuhi standar, di antaranya
tidak ada tulangan. ”Banyak
bangunan roboh, tetapi sebe-
lahnya bertahan, menun-
jukkan karena kesalahan kon-
struksi. Harusnya, dengan
skala VI MMI, kerusakan
hanya ringan kalau bangun-
annya sesuai persyaratan,”
ujarnya.
Regangan besar
Irwan Meilano, Dekan Fa-
kultas Ilmu dan Teknologi Ke-
bumian ITB, mengatakan,
pengamatan yang dilakukan
menggunakan data GPS (glo-
bal positioning system) sejak
2006 menemukan adanya re-
gangan yang sangat besar di
Selat Sunda. Regangan ini se-
makin membesar setelah
gempa bumi di Samudra Hin-
dia, sebelah selatan Pulau Su-
matera, pada 2012.
Secara sederhana, regangan
ini bisa dimaknai dengan se-
makin melebarnya Selat Sun-
da, yang berarti mendorong
Pulau Jawa dan Pulau Suma-
tera semakin menjauh. ”Im-
plikasi dari regangan tektonik
ini adalah menyebabkan in-
trusi magmatik dan mening-
katkan potensi letusan Gu-
nung (Anak) Krakatau,” ka-
tanya.
Dengan adanya intrusi
magmatik ini, menurut Irwan,
Anak Krakatau yang erupsi
pada 2018 justru terus meng-
alami inflasi atau penggem-
bungan tubuh gunungnya. Pa-
dahal, biasanya, setelah erupsi
gunung api akan mengalami
deflasi atau pengempisan. ”Di
Krakatau bagian yang sudah
meletus masif inflasi. Gu-
nungnya masih tumbuh. Ini
membuktikan intrusi magma-
tik masih ada,” katanya.
Irwan menambahkan, re-
gangan di Selat Sunda juga
bisa terjadi karena adanya ak-
tivitas sesar. ”Gempa pada pe-
kan lalu terjadi di bagian ba-
wah atau pinggir zona sub-
duksi. Harapannya, gempa ini
merilis energi gempa besar
yang tersimpan,” ujarnya.
Namun, Irwan meyakini,
gempa kali ini belum mengu-
rangi potensi energi besar
yang bisa lepas di zona ke-
gempaan ini. ”Karena potensi
energi gempa di zona ini bisa
mencapai M 8,7, dibutuhkan
setidaknya 2.000 kali gempa
berkekuatan M 6,6,” katanya.
Rahma Hanifa mengingat-
kan, gempa besar di zona sub-
duksi biasanya diawali dengan
gempa di zona pinggirnya. Hal
ini juga terjadi saat gempa
Aceh pada 2004 serta gempa
Tohoku 2011. (AIK)
|