BAHAN POKOK
Ontran-ontran Minyak Goreng
Negeri kita, penghasil bahan baku minyak goreng ter-
besar dunia, kini tengah dilanda ontran-ontran atau
kehebohan harga minyak goreng. Harga komoditas
salah satu pangan pokok itu melonjak sementara daya beli
masyarakat belum pulih.
Saat ini, rata-rata harga nasional minyak goreng curah,
kemasan sederhana, dan premium, berkisar Rp 18.000-Rp
20.000 per liter. Sebelumnya, minyak goreng bisa diperoleh
dengan harga Rp 9.500-Rp 14.000 per liter. Hal ini terjadi
lantaran banyak pabrik minyak goreng, yang tak terintegrasi
dengan perkebunan, membeli minyak kelapa sawit mentah
(CPO) dengan acuan harga internasional.
TradingEconomics mencatat, harga CPO di bursa komo-
ditas berjangka Malaysia pada Januari 2022 masih tinggi,
yaitu 5.100 ringgit per ton. Harga itu mendekati rekor
tertinggi pada Oktober 2021 yang sebesar 5.220 ringgit per
ton. Sepanjang 2022, harga CPO dunia diperkirakan masih
tinggi dan pergerakannya lebih liar dibandingkan komoditas
lain.
Hal itu terjadi lantaran CPO, yang tergolong sebagai
minyak nabati ini, jadi pilihan paling menarik untuk pro-
duksi biodiesel. Di sisi lain, ekspor CPO Malaysia turun,
lantaran negara yang termasuk produsen CPO terbesar itu
fokus pada pemenuhan kebutuhan domestik dan biodiesel.
Indonesia melakukan hal yang sama dengan menerapkan
syarat ekspor CPO, minyak sawit olahan (refined bleached
and deodorized/RBD palm olein), dan used cooking oil (UCO),
mulai 24 Januari 2022. Ekspor ketiga komoditas tersebut
bisa dilakukan asalkan eksportir sudah memenuhi kebu-
tuhan bahan baku minyak goreng domestik meski tidak
ditentukan kuota dan harga patokan CPO.
Selain kenaikan harga CPO, Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) menyinyalir ada praktik kartel untuk me-
naikkan harga minyak goreng bersama-sama. Berdasarkan
data concentration ratio (CR)
yang dihimpun KPPU pada
2019, sekitar 40 persen pangsa
pasar minyak goreng dikuasai
empat perusahaan besar. Ke-
empat perusahaan itu punya
usaha perkebunan, pengolahan
CPO, hingga beberapa produk
turunan CPO seperti biodiesel,
margarin, dan minyak goreng.
Dengan struktur pasar seperti
itu, industri minyak goreng di
Indonesia masuk kategori oli-
gopolistik.
Satu harga dan rasa?
Lalu apa yang dilakukan pe-
merintah untuk menstabilkan
harga minyak goreng selain
dengan kebijakan syarat eks-
por CPO, RBD palm olein, dan UCO? Hal itu adalah pe-
nyediaan minyak goreng dengan satu harga, yakni Rp 14.000
per liter, baik untuk kemasan sederhana maupun premium.
Jumlah minyak goreng dengan satu harga dan bersubsidi
yang akan digelontorkan mencapai 1,5 miliar liter selama
enam bulan. Dana subsidi dan biaya distribusi untuk daerah
terpencil dialokasikan dari dana pungutan ekspor CPO yang
dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit
(BPDPKS) senilai Rp 7,5 triliun.
Kementerian Perdagangan menyebutkan, subsidi yang di-
gulirkan dipatok sama, yakni Rp 3.000 per liter. Subsidi itu
merupakan selisih harga keekonomisan minyak goreng se-
nilai Rp 17.000 per liter dengan harga eceran tertinggi (HET)
yang ditetapkan Rp 14.000 per liter.
Masyarakat tentu senang karena bisa membeli minyak
goreng dengan harga terjangkau. Namun, sebagian produsen
minyak goreng serta pedagang pasar dan pemilik warung
mengeluh. Produsen minyak goreng masih harus menang-
gung selisih biaya produksi dan distribusi minyak goreng
premium dengan besaran subsidi.
Ada yang menyebutnya sebagai sharing the pain, berat
sama dipikul ringan sama dijinjing. Mereka juga khawatir
pengurusan klaim subsidi bakal ribet dan berbelit.
Sementara itu di sisi lain para pedagang pasar dan pemilik
warung bingung menjual stok lama dengan harga Rp 14.000
per liter lantaran harga kulakan lebih tinggi. Memang pada
24 Januari 2022, pemerintah akan menyediakan minyak
goreng satu harga di pasar tradisional. Namun, mekanisme
distribusi dan penghitungan keuntungan bagi pedagang be-
lum ada.
Terkait itu, ada persoalan besar dalam tata niaga minyak
goreng domestik yang butuh pembenahan. Miris rasanya,
sebagai produsen CPO terbesar dunia, Indonesia tidak men-
jadi penentu harga.
Indonesia telah dua kali keteteran menghadapi lonjakan
harga CPO dunia. Sebelum ini, lonjakan pernah terjadi
tahun 2007. Waktu itu, Indonesia mengatasinya dengan
kebijakan pemenuhan kewajiban pasar/kebutuhan domestik
(DMO) dan penetapan harga minyak goreng di tingkat kon-
sumen. Empat belas tahun setelahnya, Indonesia meng-
hadapi persoalan serupa, lalu lahirlah kebijakan minyak
goreng satu harga dan syarat ekspor CPO.
Persoalan yang muncul di atas jangan sampai diabaikan
begitu saja. Penggunaan dana BPDPKS untuk subsidi mi-
nyak goreng mesti transparan. Transparansi itu terutama
mencakup besaran subsidi, penentuan keekonomisan harga
dan penggantian biaya distribusi untuk daerah terpencil.
Ontran-ontran harga minyak goreng tengah terjadi. Pe-
merintah tengah diuji. Jangan sampai sejumlah kebijakan
yang diambil justru menimbulkan ontran-ontran yang lain
di kemudian hari. (HENDRIYO WID)
|