Isi Artikel |
Revisi Kebijakan APBN
ANWAR NASUTION
24 Agustus 2016
Karena penerimaan negara tidak pernah diurus, agenda pertama pemerintahan Jokowi setelah perombakan kabinet adalah untuk mengurangi anggaran pengeluaran negara.
Proyeksi semula penerimaan negara tahun 2016, tidak semua mampu dipungut. Penerimaan negara tersebut adalah bersumber dari pajak, laba BUMN/BUMD, serta penjualan kekayaan negara. Proyeksi penerimaan pajak rendah karena gabungan antara penurunan harga ataupun permintaan akan komoditas primer dan buruknya administrasi perpajakan sehingga tidak mampu mengumpulkan pajak. Sumbangan BUMN dan BUMD pada kas negara pun sangat minim.
Kekayaan negara hanya dijual pada masa krisis 1997-1998, sedangkan penjualan tanah pemerintah merupakan obyek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pinjaman negara melalui penjualan Surat Utang Negara (SUN) sudah mendekati ambang batas disiplin anggaran dan berutang maupun karena beban bunga utang yang semakin berat. Walaupun sudah merdeka selama 71 tahun, Indonesia masih tetap merupakan negara pengutang di tingkat internasional. Sekitar 40 persen dari SUN dan SBI yang dijual di bursa efek Jakarta adalah juga dikuasai modal asing jangka pendek.
Mata pengeluaran negara yang sulit diturunkan terdiri atas pengeluaran gaji PNS ataupun pengeluaran sosial yang semakin meningkat jumlahnya berkaitan dengan mahalnya komitmen Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk pendidikan serta Jaminan Sosial Kesehatan yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Amerika Serikat saja yang mampu memungut pajak dan menjual surat utang negaranya ke seluruh pelosok dunia mengalami kesulitan untuk membelanjai program sosial. Indonesia yang tidak mampu memungut pajak ataupun menjual surat utang dalam jumlah besar ke luar negeri perlu uang banyak untuk membelanjai janji kampanye Nawacita Presiden Jokowi.
Pemotongan anggaran yang paling mudah dilakukan adalah pada anggaran pembangunan untuk infrastruktur, termasuk jalan raya, irigasi, air minum, listrik, serta pelabuhan udara dan laut. Sementara itu, pembangunan proyek mercusuar yang tidak ada manfaat ekonominya terus dilakukan, seperti pembangunan jaringan kereta api supercepat Jakarta-Bandung dan jaringan kereta api di Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Struktur pemotongan pengeluaran seperti ini mengurangi dampak stimulus APBN untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi dan menciptakan lapangan kerja. Repatriasi modal dalam rangka amnesti pajak tidak dapat diharapkan untuk mendanai pembangunan proyek jangka panjang di bidang infrastruktur. Penyebabnya, karena pada umumnya, investor proyek itu adalah BUMN yang salah urus dan tidak efisien sehingga sulit mengembalikan modal investasi. Karena salah urusnya itu, tidak ada di antara BUMN dan BUMD yang mampu menjual obligasi untuk membelanjai investasi.
Bursa Efek Indonesia (BEI) pun masih sempit dan dangkal sehingga akan meluap dengan masuknya repatriasi modal. Pilihan instrumen investasi di BEI adalah terbatas dan pada umumnya adalah berupa SUN dan saham BUMN. Sementara itu, Indonesia pun bukan tempat yang nyaman untuk melakukan investasi dan menyimpan uang. SUN yang dikeluarkan zaman Perdana Menteri Juanda pada tahun 1950-an hingga saat ini tak dibayar dan nilainya mengalami erosi karena inflasi.
Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, pemotongan uang, sanering dan devaluasi serta tingkat laju inflasi yang tinggi sering terjadi yang menurunkan nilai investasi keuangan. Demikian juga dengan kerusuhan etnis yang selain menyita harta juga mengganggu keselamatan jiwa. Sistem hukum lemah sehingga tidak bisa melindungi hak milik individu ataupun memaksakan kontrak perjanjian. Investor asing, pembeli obligasi perusahaan swasta, justru dikalahkan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal pada awal reformasi.
Penerimaan negara
Dalam usia kemerdekaannya yang sudah mencapai 71 tahun, penduduk Indonesia yang punya nomor pokok wajib pajak (NPWP) baru mencapai 12,6 persen dan terdaftar sebagai wajib pajak hanya 7 persen sehingga jumlah pajak yang terkumpul baru sebanyak 13 persen dari produk domestik bruto (PDB). Prestasi ini merupakan salah satu yang terendah di dunia. Perusahaan asing yang kini menjadi BUMN dan BUMD juga tidak terurus dan menjadi objek KKN. Selama masa yang panjang itu, Indonesia tidak mampu meningkatkan kemampuan administrasi pajaknya sehingga mampu memungut pajak sesuai ketentuan undang-undang.
Seperti zaman kolonial, hingga saat ini, produksi nasional masih tetap berbasis komoditas primer, baik berupa pertambangan dan penggalian maupun perkebunan, perikanan, dan pertanian. Struktur ekspor tetap mengandalkan komoditas primer tanpa diolah serta pada tenaga kerja kasar yang kurang berpendidikan dan punya keterampilan.
Undang-undang perpajakan kita perlu dirombak dan dimodernisasikan agar dapat menggambarkan sistem perdagangan internasional modern dewasa ini dengan rantai pasokan global (global supply chains/GSC). Petugas pajak juga harus diajari mengenai GSC agar dapat mendeteksi dan mengawasi terjadinyatransfer pricing. Dalam sistem GSC, mata rantai proses produksi berlangsung di seluruh pelosok dunia. GSC terjadi karena ada kemajuan teknologi informasi, telekomunikasi, serta transportasi yang memperluas jangkauan kontrol dan menurunkan biaya logistik. Misalnya, pesawat telepon dan komputer Ipod serta Apple adalah sepenuhnya dirakit di Tiongkok dengan menggunakan komponen dan suku cadang yang diproduksi di setidaknya 27 negara. Tidak ada di antara komponen dan suku cadang Ipod itu yang berasal dari Indonesia. Sepatu Nike dan Adidas diproduksi di Tangerang, tetapi didesain di Amerika Serikat dan Jerman dengan menggunakan bahan baku impor.
BUMN dan BUMD menyebut dirinya sebagai motor penggerak pembangunan (agents of development). Sebagian besar BUMN/BUMD merupakan bekas perusahaan Belanda yang dinasionalisasi pada saat Trikora. Akan tetapi, tidak jelas apa sumbangan kelompok perusahaan negara pada pembangunan ekonomi ataupun pada penguatan keuangan negara.
Dalam kenyataan, mereka tetap membebani anggaran negara karena terus minta tambahan modal karena pemerintah memiliki golden share. BUMN dan BUMD tetap tidak terurus, sedangkan komisaris dan direksi BUMN ditunjuk negara atas dasar KKN yang tidak jelas kualifikasinya. Hingga kini, tak ada di antara BUMN dan BUMD itu yang bisa menyaingi perusahaan swasta, apalagi menyamai BUMN Singapura ataupun yang mampu memasarkan produknya ke pasar dunia menghasilkan penerimaan devisa.
Pencetakan uang dan utang negara
Untuk meredam tingkat laju inflasi yang tinggi, mulai tahun 1966, pemerintah menghentikan pembelanjaan defisit APBN dengan pencetakan uang. Indonesia membangun Monas, Gedung MPR/DPR, berbagai monumen, dan Masjid Istiqlal dengan menjual SUN langsung kepada BI yang mencetak uang sehingga menyebabkan tingkat laju inflasi yang sangat tinggi sebesar 650 persen pada tahun 1966. Sebelum tahun 1966, sebagian defisit APBN itu dibelanjakan dengan bantuan dan pinjaman dari Rusia, negara-negara sosialis dari Eropa Timur serta Tiongkok. Kompleks Monas, Jembatan Sungai Musi di Palembang, dan Kota Palangkaraya dibangun dengan bantuan Rusia. Demikian pula dengan pembangunan kekuatan militer Indonesia yang kuat pada waktu itu.
Orde Baru mengubah politik luar negeri menjadi anti komunis dan pro Barat sehingga mampu mendapatkan bantuan dan pinjaman lunak dari sumber resmi Official Development Aid dari konsorsium negara- negara Barat (Inter Governmental Group on Indonesia/IGGI dan Consultative Group on Indonesia/CGI). Bantuan dan pinjaman IGGI/CGI itu digunakan untuk menyeimbangkan APBN Orde Baru selama 32 tahun usianya, 1966-1998. Inilah kunci disiplin anggaran selama Orde Baru itu.
Setelah reformasi, tahun 1998, Pemerintah Indonesia beralih pada pinjaman komersial dengan menjual SUN karena tidak ada negara donor yang bersedia menambah modal bank yang telah bangkrut karena krisis tahun 1997-1998. Pada awalnya, pinjaman komersial pemerintah digunakan untuk memenuhi kecukupan modal bank-bank nasional yang bangkrut tersebut dan membersihkan bukunya dari kredit bermasalah. Kemudian SUN juga dijual di bursa efek domestik dan internasional untuk menutup defisit APBN.
Program Dana Moneter Internasional (IMF) 1997-2003 memaksa pemerintah menjalankan disiplin anggaran dan disiplin berutang seperti di Uni Eropa. SUN yang dijamin Pemerintah Jepang agar laku yang dijual di negara itu disebut sebagai Samurai bonds. Defisit APBN dibatasi maksimum sebesar 3 persen dari PDB tahunan dan rasio utang pemerintah terhadap PDB dibatasi hingga 60 persen.
Pembeli surat utang dan SBI
Selain tidak meningkatkan penerimaan pajak, pemerintah pun tidak membangun lembaga yang dapat memobilisasi tabungan nasional untuk membeli SUN dan SBI. Di negara-negara maju, pembeli surat utang itu adalah investor institusional berupa industri asuransi dan dana pensiun. Kedua industri masih kecil dan baru mulai berkembang di Indonesia karena rendahnya tingkat pendapatan penduduk. Yang mengembangkannya pun terutama perusahaan swasta asing, seperti Manulife dan AXA. Perusahaan asuransi nasional, milik swasta dan BUMN, semakin tersisih dan hanya berperan sebagai agen perusahaan asing.
Bank Tabungan Pos (BTP) yang dikembangkan pada zaman kolonial sudah lama mati suri karena kombinasi antara perang saudara dan ekonomi yang tidak terurus selama tahun 1950 dan 1960-an. Pemerintah Orde Baru hingga sekarang ini tidak tertarik untuk mengembangkan BTP. Padahal, di Eropa Barat, seperti Belanda, Jerman, Perancis, dan Italia, ataupun di Jepang, BTP merupakan lembaga keuangan yang lebih kaya daripada bank komersial. Di negara-negara itu, BTP merupakan pembeli utama surat berharga, seperti SBI dan SUN, sehingga terhindar dari dua jenis risiko yang sangat berbahaya, yakni risiko kurs (currency risk) dan risiko selisih antara jangka waktu dana dan investasi (maturity risk). Jangka waktu dana BTP dapat menjadi panjang karena simpanan yang jatuh waktu digantikan tabungan baru. Risiko kurs dapat dihindari karena baik dana tabungan maupun investasi dalam bentuk SUN serta SBI dinyatakan dalam mata uang rupiah yang sama.
Walaupun disebut sebagai bank, BTP bukan merupakan bank komersial. BTP yang merupakan bagian dari kantor pos di bawah Kementerian Pos dan Telekomunikasi. BTP mengumpulkan dana dari masyarakat, terutama dari penerimaan deposito, penjualan asuransi jiwa, dan pengiriman uang melalui jaringan kantornya yang sangat luas. Jaringan kantor pos mencakup ke seluruh ibu kota kecamatan, lebih luas daripada jaringan kantor bank komersial. Hingga beberapa tahun terakhir, semua dana BTP di Jepang disetorkan ke kas negara yang pada gilirannya digunakan untuk membelanjai berbagai program pemerintah. Dana BTP juga digunakan untuk menyediakan modal bagi pengembangan usaha kecil dan menengah. Karena itu, dana BTP di Jepang disebut sebagai suplemen anggaran negara. Baru sejak beberapa tahun terakhir BTP di Jepang diperbolehkan memutarkan dananya sendiri.
Karena tidak punya investor institusional dan BTP, sebesar 40 persen dari SUN dan SBI yang dijual di BEI adalah dikuasai modal asing jangka pendek. Modal asing jangka pendek itu sangat rawan, keluar masuk sangat cepat sesuai dengan kondisi fundamental perekonomian ataupun persepsi pasar. Keluar masuknya modal jangka pendek itu menimbulkan kerawanan pada harga SUN dan SBI ataupun pada pergerakan kurs devisa serta tingkat suku bunga bank.
ANWAR NASUTION
Guru Besar Emeritus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
|