Isi Artikel |
JAKARTA, KOMPAS — Pertumbuhan utang luar negeri swasta, baik jangka panjang maupun jangka pendek, turun pada triwulan II-2016. Hal itu mengindikasikan ekspansi, produksi, dan perdagangan di sektor swasta masih belum optimal. Swasta cenderung memilih melunasi utang.
Direktur Eksekutif Departemen Statistik Bank Indonesia Hendy Sulistiowati, Selasa (23/8), di Jakarta, mengatakan, posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia pada triwulan II-2016 sebesar 323,8 miliar dollar AS. Utang itu terdiri dari utang luar negeri publik sebesar 158,7 miliar dollar AS (49 persen dari total ULN) dan utang luar negeri swasta 165,1 miliar dollar AS (51 persen dari total ULN).
Dalam setahun, ULN Indonesia tumbuh 6,2 persen yang didorong kenaikan pertumbuhan utang luar negeri publik 17,9 persen. Sementara itu, pertumbuhan utang luar negeri swasta semakin menurun dari minus 0,5 persen menjadi minus 3,1 persen.
"Kondisi ekonomi yang masih melambat menyebabkan swasta mengurangi utang. Mereka lebih memilih membayar utang daripada berekspansi atau meningkatkan produksi," katanya.
Menurut Hendy, posisi utang luar negeri swasta masih didominasi ULN jangka panjang (76,8 persen dari total ULN swasta). ULN jangka panjang itu turun 3,1 persen dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Adapun ULN jangka pendek swasta 23,2 persen dari total utang luar negeri swasta. Jumlah itu turun 3,2 persen selama setahun, sementara triwulan sebelumnya turun 9 persen.
"ULN swasta itu terkonsentrasi di sektor keuangan, industri pengolahan, pertambangan, listrik, gas, dan air," ujarnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani mengemukakan, swasta memang mengurangi utang luar negeri karena tren bunga di dalam negeri cenderung turun pasca penerapan suku bunga acuan BI 7-day Reverse Repo. Ke depan, utang luar negeri swasta diproyeksikan akan semakin berkurang karena ada potensi peningkatan likuiditas perbankan jika pengampunan pajak sukses.
Permintaan
Sektor swasta juga memilih membayar utang daripada ekspansi. Hal itu karena permintaan pasar. "Ini merupakan hal yang positif. Swasta saat ini sangat berhati-hati. Mereka harus menjaga kelancaran cash flow dan kesehatan laporan keuangannya," katanya.
Hariyadi menambahkan, secara alamiah, hal itu memang berdampak pada penurunan kegiatan sektor riil. Namun, hal itu bisa membaik jika kebijakan pemerintah mengoptimalkan sektor-sektor yang berpotensi meningkatkan daya saing diperhatikan. Misalnya, produk substitusi impor dan hilirisasi industri untuk meningkatkan nilai tambah. Sementara BI mencatat, debitor yang telah melakukan lindung nilai (hedging) utang luar negeri tenor 0-3 bulan pada triwulan I-2016 sebanyak 2.372 debitor. Total nilainya sebesar 5,1 miliar dollar AS. Untuk tenor 3-6 bulan, nilai hedging yang dilaporkan sebesar 1,5 miliar dollar AS. (HEN)
|