Judul | PERDAGANGAN.Terkait Minyak Goreng, Pemerintah Perlu Fokus pada Kelompok Rentan |
Tanggal | 15 Maret 2022 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi IV |
Isi Artikel | Di tengah pilihan yang terbatas, pemerintah dinilai perlu fokus untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng kelompok rentan, yakni masyarakat miskin serta pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Oleh ADITYA PUTRA PERDANA
JAKARTA, KOMPAS — Ombudsman Republik Indonesia merekomendasikan pemerintah untuk fokus mengambil kebijakan untuk melindungi kelompok rentan terkait kelangkaan dan kenaikan harga minyak goreng. Pasalnya, kebijakan yang sudah diambil dinilai belum menyelesaikan masalah. Kecuali minyak goreng curah, pemerintah diminta mencabut ketentuan tentang harga eceran tertinggi. Sebelumnya, Kementerian Perdagangan menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng curah Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan minyak goreng kemasan premium Rp 14.000 per liter. Akan tetapi, warga di berbagai daerah masih kerap kesulitan mendapatkan minyak goreng dengan harga sesuai ketentuan HET. Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Yeka Hendra Fatika, dalam telekonferensi pers "Minyak Goreng Ternyata Tetap Masih Langka" Selasa (15/3/2022) mengatakan, dari pemantauan harga minyak goreng di 274 tempat ditemukan, kepatuhan pada HET di pasar modern, ritel modern, dan ritel tradisional cenderung meningkat. Namun, di pasar tradisional sebaliknya. "Kepatuhan pada HET di pasar tradisional turun dari 12,82 persen pada 22 Februari 2022 menjadi 4,25 persen pada 14 Maret 2022," kata Yeka. Kelangkaan minyak goreng, kata Yeka, diduga diakibatkan beberapa hal. Pertama, ada perbedaan data antara yang dilaporkan dan realisasi. Berdasarkan data yang dilaporkan, sudah didapatkan sekitar 415.000 kiloliter minyak goreng atau di atas kebutuhan, tetapi situasi di lapangan tidak mencerminkannya. Menurut dia, data akan terkonfirmasi jika dikumpulkan dari para distributor. Kedua, pelaksanaan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) tanpa memasangkan eksportir minyak sawit mentah (CPO) atau olahannya dengan produsen minyak goreng. Pasalnya, tak semua produsen minyak goreng mendapat CPO dengan harga Rp 9.300 per kilogram sebagaimana ketentuan atau di bawah harga pasar yang mencapai Rp 18.000-Rp 19.000 per kg. ”Tak semua produsen minyak goreng berorientasi ekspor. Jadi, jika tak dipasangkan, CPO harus dibeli mahal sehingga diduga terjadi penurunan kapasitas produksi untuk menghindari kerugian (karena ada disparitas harga),” lanjut Yeka. Dugaan penyebab kelangkaan lainnya ialah adanya pembelian panik (panic buying) di tempat-tempat tertentu, adanya pembelian dalam jumlah banyak oleh rumah tangga atau pelaku usaha untuk stok, dan adanya para spekulan yang memanfaatkan adanya disparitas harga. Selain itu, ada kegagalan dalam fungsi pengawasan. Menurut Yeka, disparitas antara harga DMO, HET, dan harga pasar, yang berkisar Rp 8.000-Rp 9.000 per kg, menjadi akar permasalahan. Ombudsman RI pun merekomendasikan agar pemerintah tetap menjalankan kebijakan DMO 20 persen. Namun, HET hanya berlaku pada minyak goreng curah, sedangkan kemasan sederhana dan premium dilepas ke mekanisme pasar. ”Namun, dalam pengalaman 1,5 bulan ini, pendistribusian minyak goreng curah dengan HET harus dilakukan di pasar-pasar tradisional dengan mekanisme pengawasan yang transparan dan akuntabel. Juga pengawasan di wilayah-wilayah perbatasan, baik jalur laut maupun darat,” kata Yeka. Menurut dia, memang tidak ada pilihan yang enak. Sebab, dengan tren harga minyak goreng yang semakin mahal, terlebih juga ada pengaruh situasi internasional, ke depan situasi akan semakin tidak pasti. ”Pilihan negara terbatas, tetapi Ombudsman (merekomendasikan pemerintah) untuk lebih fokus pada kelompok rentan pada kemahalan ini, yakni masyarakat miskin, juga pelaku UMKM,” lanjutnya. Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Fiskal dan Publik Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Suryadi Sasmita dalam telekonferensi pers, Selasa, menuturkan, pihaknya meyakini suplai minyak goreng sebenarnya dapat memenuhi kebutuhan. Namun, dengan dijual di bawah harga pasar atau HET, banyak pihak yang mencari kesempatan. ”Ditambah adanya kepanikan, (ketersediaan) menjadi kurang. Padahal, dengan adanya komposisi pemenuhan dalam negeri dalam ekspor CPO, jika berjalan sesuai (rencana), seharusnya tidak ada kekurangan minyak goreng. Jadi, kami usulkan harga dilepas (mekanisme pasar) sehingga tidak ada lagi pemain yang menimbun,” ujarnya. Adapun pada Selasa (15/3/2022) sore, pemerintah melakukan rapat terbatas terkait kebijakan distribusi dan harga minyak goreng. Pemerintah memutuskan akan menyubsidi minyak goreng sawit curah Rp 14.000 per liter dengan berbasis dana Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Sementara harga minyak goreng kemasan menyesuaikan nilai keekonomian. |
Kembali ke sebelumnya |