Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Keseimbangan Baru Harga BBM
Tanggal 01 April 2022
Surat Kabar Kompas
Halaman 1
Kata Kunci
AKD - Komisi VII
Isi Artikel

Masih tingginya harga minyak mentah dunia membuat Indonesia perlu mengkaji kebijakan harga jual BBM eceran. Ini adalah risiko bagi negara net importer minyak seperti Indonesia.

OlehARIS PRASETYO

Menaikkan harga bahan bakar minyak di Indonesia adalah hal yang sangat sensitif. Sebagai negara pengimpor bersih atau net importer minyak sejak 2004, harga jual BBM di tingkat ritel sangat bergantung pada pergerakan harga minyak mentah itu sendiri. Di Indonesia, publik belum terbiasa dengan pergerakan harga jual BBM yang dinamis.

Sejak awal pandemi Covid-19 pada periode Maret 2020, dunia perminyakan lesu lantaran harga minyak terus merosot akibat permintaan yang turun drastis. Tak ada pesawat yang terbang, tak ada mobil berkeliaran, dan pabrik berhenti beroperasi. Harga minyak mentah jenis Brent dan WTI mendekati level 20 dollar AS per barel. Padahal, pada Januari 2020 harga kedua jenis minyak tersebut di level 60-an dollar AS per barel.

Lalu, bagaimana dampaknya terhadap harga jual BBM ritel? Sejak harga minyak mentah menurun di awal pandemi, PT Pertamina (Persero) mulai menurunkan harga jual BBM nonsubsidi. Tercatat dua kali Pertamina menurunkan harga pertamax. Per 5 Januari 2022, harga pertamax turun dari Rp 9.850 per liter menjadi Rp 9.200 per liter kemudian menjadi Rp 9.000 per liter sejak 1 Februari 2022.

Khusus pertamax, harga Rp 9.000 per liter terus bertahan kendati harga minyak mentah Brent terjun ke level 20 dollar AS per barel. Alasan Pertamina tidak lagi menurunkan harga jual lantaran posisi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS ketika itu melemah. Rupiah sempat menyentuh level Rp 16.000 per dollar AS pada pekan pertama April 2020. Selain harga minyak mentah, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS juga menjadi faktor penting pembentuk harga BBM eceran di Indonesia.

https://assetd.kompas.id/i98k2q90TzsETkf6GTuA_DzYBO0=/1024x400/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F02%2F14%2F40a85600-ff67-43ce-9169-63e99db1b6a1_jpg.jpg

Tak hanya pertamax yang porsi

 penjualannya sekitar 15 persen dari seluruh jenis BBM di Indonesia, harga pertalite dan biosolar (solar bersubsidi) pun tak berubah, yakni masing-masing Rp 7.650 per liter dan Rp 5.150 per liter. Tentu, dengan harga jual seperti itu di tengah kejatuhan harga minyak mentah dunia memberi keuntungan tersendiri bagi badan usaha penjual BBM ritel dalam negeri.

Namun, situasi di atas berbalik. Kini, harga minyak mentah melewati 100 dollar AS per barel dan sempat menyentuh 139 dollar AS per barel pada awal Maret lalu. Selain tingginya permintaan energi dari sejumlah negara yang ekonominya pulih dari pandemi, konflik bersenjata Rusia-Ukraina turut memicu kenaikan harga tersebut. Rusia adalah pemasok 10 persen minyak mentah global.

Selain tingginya permintaan energi dari sejumlah negara yang ekonominya pulih dari pandemi, konflik bersenjata Rusia-Ukraina turut memicu kenaikan harga tersebut.

Dengan harga jual yang tak berubah di saat harga minyak mentah melambung tinggi, badan usaha bersiap-siap menanggung rugi. Tak hanya itu, pemerintah pun harus menanggung tambahan subsidi BBM. Sebagai catatan, biosolar adalah BBM yang disubsidi negara lewat APBN dengan skema subsidi tetap Rp 500 per liter. Sementara premium, selisih harga jualnya yang Rp 6.450 per liter dengan harga keekonomian ditutup oleh pemerintah dengan skema kompensasi.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dalam rapat dengar pendapat di Komisi VII DPR, beberapa waktu lalu, menyebut bahwa harga biosolar saat ini jauh di bawah harga riil. Terdapat selisih Rp 7.800 per liter dengan harga keekonomian.

Itu baru biosolar. Pertamina juga harus menanggung selisih harga pertalite yang dijual di bawah harga keekonomian. Dalam situasi tersebut, dana kompensasi dari pemerintah juga tak lancar. Dalam rapat itu, pemerintah disebutkan memiliki tanggungan dana kompensasi hampir Rp 100 triliun kepada Pertamina.

Poin penting dari pergerakan harga minyak mentah yang dinamis belakangan ini, pemerintah dan badan usaha sebaiknya mengedukasi publik bahwa harga eceran BBM bisa naik dan bisa turun bergantung pada pergerakan harga minyak mentah. Hal itu lumrah terjadi untuk BBM nonsubsidi. Sementara untuk BBM yang disubsidi, sebaiknya pun diterapkan skema yang serupa dengan syarat tetap ada intervensi negara berupa subsidi. Pemerintah memiliki landasan hukum untuk mengkaji harga BBM secara berkala menyesuaikan pergerakan harga minyak dunia. Namun, ruang ini tidak dimanfaatkan dengan optimal.

Tak hanya kesadaran tentang perubahan harga, pemerintah juga perlu memberikan alternatif lain agar tak bergantung selamanya pada BBM. Untuk kendaraan, misalnya, pemakaian BBM bisa disubstitusikan ke kendaraan bertenaga listrik. Khusus kendaraan listrik di Indonesia, program ini masih dalam tahap rintisan.

Hal lain yang tak kalah penting adalah pengawasan terhadap distribusi BBM bersubsidi. Sesuai peruntukannya, BBM bersubsidi hanya diberikan kepada masyarakat tidak mampu, nelayan kecil, atau angkutan bahan pokok, bukan untuk industri. Selisih harga yang lebar antara biosolar dan solar nonsubsidi mengundang praktik cela pengguna biosolar yang bukan masuk kategori penerima subsidi di tengah lemahnya pengawasan pemerintah.

  Kembali ke sebelumnya