Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Tantangan Kian Berat, Masyarakat Sipil Perlu Berkonsolidasi
Tanggal 07 April 2022
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi I
Isi Artikel Tantangan ke depan yang dihadapi oleh masyarakat sipil diprediksi bakal semakin berat. Oleh karena itu, masyarakat sipil harus berkonsolidasi memperkuat gerakan-gerakan advokasinya. logo Kompas.id TEKS › Hukum›Tantangan Kian Berat,... KEBEBASAN BERPENDAPAT Tantangan Kian Berat, Masyarakat Sipil Perlu Berkonsolidasi Tantangan ke depan yang dihadapi oleh masyarakat sipil diprediksi bakal semakin berat. Oleh karena itu, masyarakat sipil harus berkonsolidasi memperkuat gerakan-gerakan advokasinya. Oleh DIAN DEWI PURNAMASARI 7 April 2022 22:46 WIB · 4 menit baca https://assetd.kompas.id/S-tdhKxnJIZI05Xoh75Ga59f0a8=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F03%2F17%2F4bb14b9d-0c98-4256-a936-f98246170dc3_jpg.jpg JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan pasal karet di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE dan Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana atau RKUHP mengancam kebebasan sipil di Indonesia. Masyarakat sipil mendesak pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, segera merevisi UU ITE dan menghapus pasal karet di RKUHP. Hal itu mengemuka dalam diskusi publik ”Urgensi Reformasi Hukum Guna Mengaktifkan Kembali Kebebasan Sipil” yang diadakan oleh Kontras, Rabu (7/4/2022). Direktur Institute Criminal for Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, sistem hukum ke depan justru berpotensi semakin represif. Di RKUHP, misalnya, masih ada pasal penghinaan presiden-wakil presiden, pemerintah, lembaga negara, dan kewajiban pemberitahuan unjuk rasa yang rawan menjadi pasal karet diskriminatif. Ketentuan unjuk rasa tertuang dalam Pasal 273 rumusan RKUHP yang diusulkan pemerintah. Pasal itu disebut mengatur ancaman pidana paling lama satu tahun penjara atau pidana denda kategori II bagi setiap orang yang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan atau tempat umum tanpa pemberitahuan terlebih dahulu pada pihak yang berwenang. Pidana penjara akan dijatuhkan terutama jika pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi itu mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat. Masukkan kata kunci pencarian... logo Kompas.id TEKS › Hukum›Tantangan Kian Berat,... KEBEBASAN BERPENDAPAT Tantangan Kian Berat, Masyarakat Sipil Perlu Berkonsolidasi Tantangan ke depan yang dihadapi oleh masyarakat sipil diprediksi bakal semakin berat. Oleh karena itu, masyarakat sipil harus berkonsolidasi memperkuat gerakan-gerakan advokasinya. Oleh DIAN DEWI PURNAMASARI 7 April 2022 22:46 WIB · 4 menit baca https://assetd.kompas.id/S-tdhKxnJIZI05Xoh75Ga59f0a8=/1024x576/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F03%2F17%2F4bb14b9d-0c98-4256-a936-f98246170dc3_jpg.jpg JAKARTA, KOMPAS — Keberadaan pasal karet di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE dan Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana atau RKUHP mengancam kebebasan sipil di Indonesia. Masyarakat sipil mendesak pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, segera merevisi UU ITE dan menghapus pasal karet di RKUHP. Hal itu mengemuka dalam diskusi publik ”Urgensi Reformasi Hukum Guna Mengaktifkan Kembali Kebebasan Sipil” yang diadakan oleh Kontras, Rabu (7/4/2022). Direktur Institute Criminal for Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, sistem hukum ke depan justru berpotensi semakin represif. Di RKUHP, misalnya, masih ada pasal penghinaan presiden-wakil presiden, pemerintah, lembaga negara, dan kewajiban pemberitahuan unjuk rasa yang rawan menjadi pasal karet diskriminatif. Ketentuan unjuk rasa tertuang dalam Pasal 273 rumusan RKUHP yang diusulkan pemerintah. Pasal itu disebut mengatur ancaman pidana paling lama satu tahun penjara atau pidana denda kategori II bagi setiap orang yang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi di jalan atau tempat umum tanpa pemberitahuan terlebih dahulu pada pihak yang berwenang. Pidana penjara akan dijatuhkan terutama jika pawai, unjuk rasa, atau demonstrasi itu mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara dalam masyarakat. Baca juga: Wamenkumham: Revisi KUHP Proses Pembangunan Hukum https://assetd.kompas.id/WONtKSQ1lPIw0Oj5AXX_hvRU9I8=/1024x2444/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F06%2F20%2F20210620-HKT-Jajak-KUHP-mumed-01_1624194475_jpg.jpg ”RKUHP kita ini lebih kolonial dibandingkan dengan KUHP di zaman Belanda. Buat apa pasal itu dipertahankan untuk melindungi penguasa? Masyarakat sipil adalah calon korban saat berhadapan dengan hukum yang diskriminatif itu untuk membungkam suara kritis masyarakat,” ujar Erasmus. Erasmus juga mengimbau kepada masyarakat sipil untuk memelototi RKUHP. Sebab, kemungkinan RKUHP itu akan dibahas di DPR setelah Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) selesai. Dia mengajak masyarakat sipil untuk mengkritisi RKUHP yang dinilai mengancam demokrasi tersebut. ”Isu ini harus terus dibicarakan dan digaungkan karena penting untuk dibicarakan. Kita punya hak untuk menentang aturan itu,” kata Erasmus. Menyasar kelompok kritis Terkait UU ITE, Koalisi Serius Revisi UU ITE Nenden Sekar Arum menambahkan, UU ITE saat ini menjadi momok bagi masyarakat. Masyarakat menjadi enggan menyampaikan ekspresi dan pendapat kritis mereka di dunia digital. Padahal, internet seharusnya menjadi ruang aman bagi masyarakat untuk mengutarakan pendapat. Pantauan dari Safenet, kelompok yang banyak dikriminalisasi dengan pasal karet UU ITE, terutama pasal pencemaran nama baik adalah aktivis dan para pembela HAM. ”Dari laporan Safenet tahun 2021, aktivis berada di urutan pertama yang mengalami serangan digital. Ada 50 aktivis, 34 warga biasa, 27 mahasiswa, 25 jurnalis dan media, 17 lembaga pemerintah, 12 pegawai swasta, 10 organisasi masyarakat sipil, dan 12 lainnya yang mengalami serangan digital,” ujar Nenden. Nenden menerangkan, internet yang seharusnya menjadi harapan baru bagi demokrasi dan kebebasan sipil, belakangan justru semakin menakutkan bagi warganet. Warganet kini berpikir dua kali untuk mengunggah sesuatu di media sosial, baik unggahan berbentuk ekspresi pribadi maupun pendapat kritis situasi pemerintahan. ”Dari pantauan Safenet sejak delapan sampai sepuluh tahun yang lalu, situasi di tahun 2021 yang semakin parah. Ada gejala munculnya otoritarianisme di ranah digital,” kata Nenden. Fenomena terbaru, aktivis atau pembela HAM yang menyuarakan suara kritis, seperti Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, justru diganjar dengan kriminalisasi pasal karet UU ITE. Tren ini dianggap akan terus bertambah selama pasal karet UU ITE belum direvisi. Dilihat dari latar belakangnya, pihak yang paling banyak menggunakan UU ITE adalah pejabat publik, petinggi organisasi, ketua himpunan atau institusi, dan sebagainya. Ada relasi kuasa antara pelapor dan terlapor pasal karet UU ITE. Ini menunjukkan bahwa UU ITE memang cenderung dipakai untuk menciptakan rasa takut bagi kelompok kritis. Pengajar hukum Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan, di usia lebih dari 20 tahun demokrasi, seharusnya pemerintah memastikan untuk memberikan lingkungan yang aman dan ruang terbuka bagi masyarakat sipil untuk berbicara. Namun, faktanya, ruang sipil justru semakin menyempit. Kelompok kritis dihantam dengan peretasan, doxing, dan kriminalisasi lainnya. ”Sistem hukum digunakan untuk membungkam Fatia dan Haris Azhar yang memaparkan riset berbasis ilmiah. Hak masyarakat sipil untuk bebas berpendapat dan berekspresi dipukul balik dengan kekerasan fisik dan sistem hukum untuk membatasi kebebasan sipil,” kata Bivitri. Tantangan ke depan yang dihadapi oleh masyarakat sipil semakin tidak mudah. Oleh karena itu, masyarakat sipil harus berkonsolidasi memperkuat gerakan-gerakan advokasinya. Peneliti Kontras, Adelita Kasih, menuturkan, hasil survei sejumlah lembaga internasional menunjukkan bahwa situasi demokrasi terutama aspek kebebasan sipil situasinya belum baik. Salah satu penyebabnya adalah karena ada peningkatan peran militer dalam urusan sipil. Hasil survei dalam negeri seperti yang terbaru dari Lembaga Survei Indikator dan LP3ES juga menunjukkan bahwa masyarakat semakin takut untuk menyatakan pendapat karena ada ancaman. ”Pandemi dijadikan dalih tindakan represif. Dalam kurun waktu Juni 2020-Mei 2021 ada penyalahgunaan kekuasaan dengan dalih pandemi. Ini adalah bentuk penyalahgunaan wewenang atau abuse of power,” kata Adelita.
  Kembali ke sebelumnya