Judul | Harga BBM RI Seharusnya Lebih Murah? Ekonom Ini Bongkar Faktanya |
Tanggal | 20 April 2022 |
Surat Kabar | Seputar Indonesia |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi VII |
Isi Artikel | JAKARTA - Setelah sekian lama, masyarakat Indonesia awal bulan April ini dihadapkan pada kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) non subsidi jenis Pertamax RON 92 seiring melonjaknya harga minyak dunia di atas USD100 per barel. Beragam reaksi lantas muncul mengiringi kenaikan tersebut, sebagian maklum dan lainnya sulit menerima. Bahkan, muncul klaim yang menyebutkan bahwa harga BBM harusnya tak semahal itu. Ada yang membandingkan dengan harga BBM subsidi di Negeri Jiran yang lebih murah. Belakangan, muncul pula klaim bahwa harga Pertamax yang kini dijual Rp12.500 per liter, seharusnya hanya Rp3.772 per liter, tanpa memperhitungkan pajak. Menyikapi hal tersebut, dalam sebuah diskusi bersama media, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro membedah fakta-faktanya. Menurut Komaidi, komponen penyusun harga BBM secara umum adalah harga minyak mentah, biaya kilang, biaya distribusi, pajak dan margin usaha. "Jadi itu dulu yang harus dipahami. Komponen-komponen itu tentu akan berbeda-beda di setiap negara," tuturnya, Selasa (19/4/2022). Menurut Komaidi, anggapan bahwa harga BBM harusnya murah kemungkinan berangkat dari kenangan bahwa di tahun 1980-an Indonesia kaya minyak dan harga bahan bakar pun murah. Saat itu, kata dia, Indonesia memang mampu memproduksi minyak sekitar 1,1 juta barel per hari (bph), dengan konsumsi dalam negeri di bawah 400 ribu.
"Sehingga saat itu kita mampu mengekspor minyak, makanya Indonesia masuk dalam OPEC. Rupanya, kenangan itu masih sulit terhapus hingga saat ini," ujar Doktor Ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Trisakti itu. Sementara saat ini, kenyataannya produksi minyak Indonesia hanya sekitar 700 ribu bph. Sedangkan konsumsinya mencapai 1,6 juta bph. "Alhasil, kita sekarang ini adalah net importer, dan karena itu sejak 2008 kita bukan lagi anggota OPEC," jelasnya. Komaidi menambahkan, dengan status sebagai negara pengimpor, kenaikan harga minyak di pasar global jelas sangat memengaruhi harga BBM di dalam negeri. Hanya saja, kata dia, selama ini pemerintah dengan berbagai pertimbangan menjaga harga BBM melalui skema subsidi. Tetapi, seiring harga minyak yang semakin tinggi dan konsumsi yang semakin besar, subsidi pun makin membebani. Karena itu, kata dia, harga BBM harus disesuaikan demi menjaga kemampuan fiskal. Belum lama ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif memperkirakan, jika harga minyak bertahan di level saat ini, subsidi BBM dan LPG berpotensi bengkak menjadi Rp320 triliun. |
Kembali ke sebelumnya |