Isi Artikel |
Pengampunan Pajak dan Pelambatan Birokrasi
Dari kacamata ekonomi, tak satu pun fakta yang berdiri sendiri. Semua berada dalam ekologi keseimbangan yang saling memengaruhi. Implikasinya, kebijakan di satu sektor selalu menimbulkan implikasi pada sektor lain. Mekanisme trade-off nyaris tak terhindarkan.
KUM
Begitu pun soal kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Ada indikasi, hasil pengampunan pajak tak sesuai harapan. Target ambisius uang tebusan Rp 165 triliun yang melibatkan dana repatriasi Rp 4.000 triliun sulit tercapai, bahkan bisa mustahil. Oleh karena itu, diperlukan skenario alternatif menutup anggaran dengan tetap mempertimbangkan implikasi makroekonomi.
Target pengampunan pajak memang terlalu tinggi, tetapi realisasinya pun terlampau rendah sehingga kesenjangannya diperkirakan cukup besar. Penyebabnya tentu tak tunggal. Selain persoalan pengesahan undang-undang dan masalah kelembagaan, ada juga faktor kompetensi pegawai pajak di lapangan.
Sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, ada tiga tujuan utama program ini. Pertama, mengundang dana warga negara Indonesia yang ada di luar negeri untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi domestik. Repatriasi adalah tujuan utama pengampunan pajak. Kedua, bagian dari reformasi perpajakan melalui perluasan basis pajak. Ketiga, meningkatkan penerimaan pajak melalui uang tebusan.
Hingga 19 Agustus lalu, realisasi repatriasi baru Rp 1,2 triliun. Sementara uang tebusan Rp 692,66 miliar. Sulit membayangkan pengampunan pajak akan berhasil. Tujuan mengundang dana asing dan meningkatkan uang tebusan terancam gagal.
Ada hal kontradiktif. Setiap kali sosialisasi diselenggarakan, peserta selalu membeludak. Sosialisasi juga terjadi secara masif, mulai dari seremoni dengan Presiden hingga sosialisasi yang melibatkan kelompok informal. Namun, mengapa hasilnya begitu minim? Sangat mungkin ada yang tidak sinkron antara regulasi, institusi, dan perilaku pegawai pajak.
Melihat gelagat ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bertindak cepat. Anggaran dipangkas Rp 137,5 triliun. Jika program pengampunan pajak gagal, sangat mungkin anggaran kembali dipotong. Selain itu, pemerintah bisa menambah utang sebagaimana inisiatifnya sudah dimulai. Kendati tetap harus mempertimbangkan batas defisit yang diperbolehkan undang-undang sebesar 3 persen terhadap produk domestik bruto. Bisa juga, pemerintah melakukan manajemen kas terhadap proyek besar di akhir tahun. Caranya, sejumlah proyek besar akhir tahun dibayar awal tahun depan.
Baik memangkas anggaran, menambah utang, maupun mengelola kas harus dilakukan secara terukur. Jika tidak, bisa menimbulkan trade-off yang membahayakan. Pertama, jika pemotongan anggaran terlalu besar, peran fiskal melemah dan transmisinya pada makroekonomi akan memperlambat pertumbuhan. Kedua, jika pemerintah terlalu banyak menerbitkan surat utang, akan menimbulkan migrasi dana dari bank ke pasar obligasi. Ketiga, jika manajemen kas dilakukan tak terukur, banyak perusahaan pemerintah akan kesulitan keuangan.
Memang, tujuan utama pengampunan pajak adalah repatriasi. Namun, faktanya tak semudah yang dibayangkan. Sebenarnya pemerintah mengambil asumsi pesimistis, dana yang ada di luar negeri sebesar Rp 4.000 triliun. Adapun skenario optimistisnya sekitar Rp 11.000 triliun.
Namun, tak semua aset tersebut likuid. Ada banyak yang berbentuk investasi langsung (kepemilikan saham) ataupun properti. Selain itu, ada juga dugaan uang tersebut sebenarnya sudah ada di dalam perekonomian domestik melalui sejumlah cara, seperti investasi langsung dan utang kepada perusahaan terafiliasi.
Faktor lain, perekonomian global sedang sangat lesu. Perekonomian Amerika Serikat belum akan pulih. Majalah The Economist (20-26/8) menyebut, kredit properti masih mengancam, dengan total utang sekitar 11 triliun dollar AS. Sementara perekonomian Tiongkok, realisasi defisit fiskal (sekitar 9 persen) jauh lebih besar daripada rilis resmi 3 persen. Kendati masih aman, ada indikasi yang tak menggembirakan dalam jangka panjang.
Dalam suasana penuh kelesuan, semua negara memiliki tendensi kebijakan protektif dan melihat ke dalam. Sikap heroik memanggil pulang pemodal di luar negeri berhadapan dengan pragmatisme, baik dari pelakunya sendiri maupun pihak negara tempat dana itu disimpan. Mereka pasti akan berupaya keras agar dana tidak keluar.
Melihat situasi ini, kita harus realistis. Dalam situasi global penuh ketidakpastian, program pengampunan pajak tak akan memberi hasil maksimal. Risiko tersebut harus dimitigasi dengan baik agar tak menimbulkan implikasi negatif bagi perekonomian domestik kita.
Meski demikian, kecenderungan pelambatan kinerja birokrasi, khususnya di bidang perpajakan, harus dimitigasi. Jika tidak, tak satu tujuan pengampunan pajak pun yang berhasil. Dengan kata lain, UU Pengampunan Pajak gagal total.
A PrasetyantokoEkonom di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
|