Isi Artikel |
Masyarakat sipil perlu memanfaatkan Presidensi G20 Indonesia untuk meningkatkan jaminan kebebasan berpendapat.
Masukkan kata kunci pencarian...
logo Kompas.id
TEKS
›
Politik & Hukum›Jaminan Kebebasan Sipil Perlu ...
KEBEBASAN SIPIL
Jaminan Kebebasan Sipil Perlu Jadi Agenda G20
Masyarakat sipil perlu memanfaatkan Presidensi G20 Indonesia untuk meningkatkan jaminan kebebasan berpendapat.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
20 April 2022 08:00 WIB
·
3 menit baca
Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tampak menyusun pamflet-paflet saat berlangsung acara peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di Taman Menteng, Jakarta, Minggu (3/5/2015). Aksi yang diikuti puluhan anggota AJI itu menyerukan untuk menghentikan kekerasan dan ancaman bagi jurnalis yang melakukan tugas jurnalistik.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tampak menyusun pamflet-paflet saat berlangsung acara peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di Taman Menteng, Jakarta, Minggu (3/5/2015). Aksi yang diikuti puluhan anggota AJI itu menyerukan untuk menghentikan kekerasan dan ancaman bagi jurnalis yang melakukan tugas jurnalistik.
JAKARTA, KOMPAS — Presidensi Indonesia dalam G20 diharapkan menjadi pintu masuk untuk mengatasi masalah menyempitnya ruang kebebasan sipil yang dirasakan belakangan ini. Untuk itu, isu mengenai jaminan kebebasan berpendapat bagi masyarakat sipil perlu didorong menjadi agenda G20.
Direktur Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Rizky Argama dalam diskusi Presidensi G20 dan Pentingnya Ruang Kebebasan Sipil, Selasa (19/4/2022), mengatakan, kebebasan berserikat dan berkumpul sebenarnya mengalami perkembangan positif setelah ada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Tak hanya semakin memudahkan masyarakat dalam berserikat dan berkumpul, UU No 17/2013 itu juga mengatur ormas hanya bisa dibubarkan oleh perintah pengadilan.
Namun, kemudian pada 2017, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Ormas. Perppu itu menghapus proses di pengadilan sehingga pemerintah memiliki kewenangan untuk membubarkan ormas.
Masukkan kata kunci pencarian...
logo Kompas.id
TEKS
›
Politik & Hukum›Jaminan Kebebasan Sipil Perlu ...
KEBEBASAN SIPIL
Jaminan Kebebasan Sipil Perlu Jadi Agenda G20
Masyarakat sipil perlu memanfaatkan Presidensi G20 Indonesia untuk meningkatkan jaminan kebebasan berpendapat.
Oleh
EDNA CAROLINE PATTISINA
20 April 2022 08:00 WIB
·
3 menit baca
Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tampak menyusun pamflet-paflet saat berlangsung acara peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di Taman Menteng, Jakarta, Minggu (3/5/2015). Aksi yang diikuti puluhan anggota AJI itu menyerukan untuk menghentikan kekerasan dan ancaman bagi jurnalis yang melakukan tugas jurnalistik.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tampak menyusun pamflet-paflet saat berlangsung acara peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia di Taman Menteng, Jakarta, Minggu (3/5/2015). Aksi yang diikuti puluhan anggota AJI itu menyerukan untuk menghentikan kekerasan dan ancaman bagi jurnalis yang melakukan tugas jurnalistik.
JAKARTA, KOMPAS — Presidensi Indonesia dalam G20 diharapkan menjadi pintu masuk untuk mengatasi masalah menyempitnya ruang kebebasan sipil yang dirasakan belakangan ini. Untuk itu, isu mengenai jaminan kebebasan berpendapat bagi masyarakat sipil perlu didorong menjadi agenda G20.
Direktur Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Rizky Argama dalam diskusi Presidensi G20 dan Pentingnya Ruang Kebebasan Sipil, Selasa (19/4/2022), mengatakan, kebebasan berserikat dan berkumpul sebenarnya mengalami perkembangan positif setelah ada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Tak hanya semakin memudahkan masyarakat dalam berserikat dan berkumpul, UU No 17/2013 itu juga mengatur ormas hanya bisa dibubarkan oleh perintah pengadilan.
Baca juga: Meneropong Polemik Perppu Ormas
Namun, kemudian pada 2017, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Ormas. Perppu itu menghapus proses di pengadilan sehingga pemerintah memiliki kewenangan untuk membubarkan ormas.
Sekitar 300 orang yang tergabung dalam para demonstran yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Tolak RUU Ormas menolak pengesahan RUU Ormas, di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (25/6/2013). Selain itu, mereka menuntut pencabutan UU No 8/1985 tentang dan pembentukan UU Perkumpulan.
KOMPAS/MEGANDIKA WICAKSONO
Sekitar 300 orang yang tergabung dalam para demonstran yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Tolak RUU Ormas menolak pengesahan RUU Ormas, di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (25/6/2013). Selain itu, mereka menuntut pencabutan UU No 8/1985 tentang dan pembentukan UU Perkumpulan.
Senada dengan Rizky, Damar Juniarto dari Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mengatakan, keterangan yang dimuat di situs resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) belum mengarah pada kepedulian akan isu menyempitnya ruang kebebasan publik ini. Damar yang menunjukkan situs tersebut mengatakan, prioritas Kominfo ada tiga, yaitu konektivitas, literasi digital, dan aliran data. ”Apakah shrinking space di ranah digital tidak dianggap penting? Atau mau disembunyikan?” tandasnya.
Padahal, menurut Damar, sejak 2019, Indonesia sudah harus menghadapi otoritaritan digital. Namun, kondisi itu tak hanya dialami Indonesia, tetapi juga negara-negara anggota G20. Oleh sebab itu, isu penyempitan ruang kebebasan publik tersebut menjadi penting untuk dibahas dalam pertemuan G20. ”Bagaimana hukum digunakan sebagai senjata untuk membungkam masyarakat sipil,” kata Damar.
Rizky bahkan mencatat, sejak 2019 ada sekitar 1.000 penyerangan kebebasan masyarakt sipil. Salah satu contohnya adalah ketika demonstrasi Reformasi Dikorupsi menjadi ekspresi ketidakpuasan mahasiswa dan pelajar pada revisi UU KPK, ada lebih dari 1.000 orang ditangkap. Kekerasan dilakukan aparat dan ada halangan pendampingan hukum.
Selama dua tahun pandemi, larangan kebebasan berkumpul disampaikan dengan menggunakan alasan pembatasan fisik. ”Yang terakhir, dipaksakan regulasi peraturan pemerintah dengan konteks untuk mengegolkan omnibus law yang padahal sudah dibekukan oleh MK,” kata Rizky.
Justito Adiprasetio dari Universitas Padjadjaran mengatakan, dari penelitian tiga tahun terakhir, mengukur indeks demokrasi juga harus rinci dari sisi metodologinya. Ia menekankan bahwa untuk membangun ruang kebebasan sipil ini perlu ada integrasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. ”Media juga perlu bekerja sama untuk meletakan masalah ini dalam konteks yang lebih besar, bukan hanya peristiwa-peristiwanya,” katanya.
Justito juga menggarisbawahi banyak masalah dalam ruang kebebasan berpendapat ketika masyarakat berhadapan dengan industri ekstraktif. Ketika isu-isu lingkungan bersinggungan dengan sawit dan pertambangan, misalnya, hal itu menyebabkan pertentangan antara masyarakat dan pihak swasta.
Sementara mengutip data The Economist Intelligent Unit, Deputi V Bidang Politik, Hukum, Keamanan, Pertahanan, dan HAM di Kantor Staf Presiden, Jaleswari Pramodhawardani, mengatakan, indeks demokrasi Indonesia naik pada 2020. Kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan berkeyakinan, kebebasan dari diskriminasi, dan kebebasan berpendapat menjadi salah satu indikator penentuan indeks demokrasi Indonesia. |