Isi Artikel |
Arah Baru Politik Anggaran
Ikhsan Modjo
Pemerintah akhirnya melakukan penyesuaian anggaran (fiscal adjustment) untuk mengatasi potensi gagal fiskal, dengan melakukan pemotongan belanja negara sebesar Rp 133 triliun pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016.
Langkah ini bukanlah sesuatu yang baru bahkan lazim dilakukan di dunia. Beberapa negara yang tergabung dalam Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) pernah melakukan hal serupa untuk mengurangi tekanan defisit akibat akumulasi utang saat resesi besar yang terjadi di pengujung dekade 2000. Demikian pula, negara-negara di Amerika Latin terpaksa melakukannya sepanjang tahun 1980-an akibat depresi ekonomi berkepanjangan yang disebabkan penggelembungan utang, yang kemudian dikenal sebagai dekade yang hilang (the lost decade) di benua tersebut.
Indonesia sebelumnya pun pernah merasakan getirnya penyesuaian fiskal untuk mengurangi tekanan defisit anggaran pada awal tahun 1980-an, yang juga diikuti devaluasi rupiah untuk mereposisi mata uang domestik serta mengurangi tekanan defisit pada transaksi berjalan. Defisit kembar yang kemudian diikuti penghematan internal dan eksternal ini kemudian populer disebut sebagai "langkah pengetatan ikat pinggang", dan menyebabkan resesi berkepanjangan di dalam negeri. Resesi ekonomi baru berakhir setelah pemerintah melakukan manuver kebijakan berupa liberalisasi di sektor keuangan dan perbankan, serta mendorong ekspor non-migas melalui serangkaian paket deregulasi.
Sebagaimana pengalaman di negara lain dan sebelumnya di dalam negeri, penyebab dari dilakukannya penyesuaian fiskal selalu berupa kombinasi dari beberapa faktor utama, seperti kebijakan pembangunan yang berdasarkan utang (debt based development policies), tekanan di sektor keuangan, atau menurunnya harga komoditas andalan ekspor yang juga jadi andalan penerimaan anggaran negara.
Implikasi politik ekonomi
Penyebab dari penyesuaian fiskal yang dilakukan pemerintah kali ini pun serupa dengan berbagai alasan di atas serta memiliki dimensi dan implikasi politik ekonomi baik langsung maupun tidak langsung sebagai berikut.
Pertama, penyesuaian fiskal yang dilakukan merupakan koreksi dan pemberian arah baru bagi politik anggaran negara. Perombakan postur APBN secara signifikan kali ini selain sebagai konsekuensi penurunan harga komoditas ekspor yang menjadi andalan Indonesia di bidang migas, perkebunan, dan tambang, juga merupakan koreksi terhadap politik anggaran yang berfokus pada pembangunan infrastruktur berbasiskan utang dalam dua tahun terakhir, yang sudah kehilangan kredibilitasnya karena terbukti membuat negara terancam gagal fiskal.
Kedua, terkait dengan alasan pertama, dengan koreksi terhadap politik anggaran ini, pemerintah juga memberikan sinyal penegakan disiplin fiskal dengan lebih berhati-hati dalam mengendalikan laju pertumbuhan utang yang pada dua tahun terakhir pertumbuhannya cukup mengkhawatirkan, di mana tidak kurang dari sekitar Rp 18 triliun utang baru dilakukan pemerintah setiap tahunnya. Angka ini merupakan rekor tertinggi jumlah utang baru per tahun yang pernah dilakukan pemerintahan di era Reformasi.
Ketiga, penyesuaian anggaran juga secara eksplisit, sebagaimana dijelaskan oleh menteri keuangan, adalah konsekuensi dari melesetnya target penerimaan pajak sebesar Rp 219 triliun di 2016. Hal ini secara tidak langsung menjustifikasi perkiraan banyak kalangan, termasuk penulis, yang memberikan estimasi angka paling tinggi penerimaan negara dari kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty) hanya akan mencapai Rp 60 triliun dari target Rp 165 triliun (Kompas, 17/6/2016).
Sampai dengan semester 1-2016, data realisasi APBN Kementerian Keuangan menunjukkan penerimaan negara di sektor pajak baru terealisasi sebesar Rp 522,0 triliun atau 33,9 persen dari target APBN-P 2016. Sementara defisit sudah mencapai Rp 203,7 triliun atau 1,83 persen dari perkiraan produk domestik bruto (PDB) pada 2016. Angka ini merepresentasikan 77,7 persen dari target defisit sampai akhir tahun sebesar Rp 296,7 triliun (2,35 persen dari PDB). Dengan tambahan kekurangan sekitar Rp 40 triliun setiap bulan, hal ini berarti angka defisit bisa mencapai Rp 470 triliun, atau 3,7 persen dari PDB, yang berarti masuk dalam kategori gagal fiskal. Untuk itu, pengemprasan anggaran sebesar Rp133 triliun adalah tepat. Defisit akan berkurang menjadi Rp 337 triliun atau sekitar 2,6 persen dari PDB, yang masih dalam batas toleransi yang diamanatkan undang-undang.
Keempat, pengurangan anggaran akan berdampak pada postur APBN dalam dua tiga tahun ke depan. Hal ini mengingat penyesuaian fiskal bukanlah sebuah kebijakan yang bersifat one-off, melainkan akan memiliki dimensi jangka panjang sebagaimana diperlihatkan dalam sejarah perekonomian bangsa-bangsa di dunia. Penyesuaian kali ini pun akan berpengaruh bukan hanya pada 2016, melainkan setidaknya pada anggaran negara tahun-tahun berikutnya. Hal ini karena paralel dengan penurunan asumsi penerimaan negara pada 2016, asumsi penerimaan APBN di dua sampai tiga tahun ke depan pun pasti mengalami penyusutan. Satu hal yang akan berakibat langsung pada belanja negara, yang juga akan berkurang.
Last but not least, pengurangan anggaran adalah sebuah kontraksi fiskal yang akan menekan laju pertumbuhan ekonomi pada tahun berjalan. Tertekannya pertumbuhan akan terjadi akibat dampak berganda (multiplier effect) yang akan terasa utamanya pada jenis pengeluaran konsumsi dan investasi meski pemerintah menjanjikan pemangkasan dilakukan sebatas pada anggaran yang bersifat rutin. Implikasinya, skenario pertumbuhan sebesar 5,2 persen yang ditetapkan APBN-P 2016 kemungkinan besar tidak akan tercapai. Satu hal yang sesungguhnya sudah diindikasikan oleh angka pertumbuhan sampai dengan semester I-2016 yang hanya mencapai 5,04 persen, yang itu pun terdorong loncatan pertumbuhan konsumsi pada bulan puasa di kuartal kedua. Tantangan bagi pemerintah adalah mempertahankan tingkat pertumbuhan di atas angka psikologis 5 persen ini bisa berlanjut sampai akhir tahun.
Opsi "blocking" anggaran
Dari diskusi dengan kalangan Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, pemerintah agaknya tidak akan menginisiasi APBN Perubahan Kedua sebagaimana yang misalnya pernah dilakukan pada tahun fiskal 2008 walau sesungguhnya perubahan yang dilakukan adalah cukup signifikan dan memengaruhi postur anggaran negara secara umum. Pemotongan anggaran akan semata diimplementasi melalui penahanan (blocking) anggaran bagi setiap pemangku kepentingan (stakeholders), baik di pusat maupun daerah, melalui surat edaran menteri keuangan.
Dengan mengambil opsi blocking bukannya pengajuan APBN Perubahan Kedua, pemerintah secara tidak langsung melakukan tindakan di luar payung hukum karena melangkahi wewenang pihak DPR yang secara teori harus memberikan persetujuan terhadap setiap perubahan anggaran negara yang signifikan dengan hak budgetnya. Di sisi lain, pelangkahan wewenang ini memungkinkan eksekusi yang lebih cepat karena tidak perlu melalui mekanisme birokrasi penganggaran pemerintahan resmi dan pembahasan yang lebih sering bertele-tele dengan kalangan DPR. Selain itu, eksekusi penyesuaian melalui blocking juga menghindari munculnya penyelewengan berupa korupsi anggaran yang kerap dilakukan pada APBN perubahan dalam wujud permainan alokasi dana optimalisasi.
Dalam hal ini, pola pengurangan yang hampir sama sebagaimana pengurangan pada APBN-P 2016 akan diterapkan, di mana sekitar 50 persen pengurangan akan dilakukan pada belanja pemerintah pusat dan 50 persen pada anggaran transfer ke daerah dari total pengurangan sebesar Rp 133 triliun. Dengan target pemangkasan anggaran akan diprioritaskan pada belanja-belanja yang tidak prioritas, seperti perjalanan dinas, kegiatan konsinyering, persiapan dan bahkan termasuk belanja pembangunan gedung pemerintah.
Apa pun target prioritas pengurangan yang diambil, pemerintah tidak memiliki banyak opsi. Hal ini mengingat keterbatasan ruang fiskal yang dimiliki saat ini, di mana ruang untuk bermanuver relatif tersekat mandatory budgeting (belanja wajib) yang sudah mencapai sekitar 51 persen dari total belanja. Begitu juga, implementasi pengurangan dipastikan menimbulkan masalah dalam pengadaan dan penundaan pengadaan yang terpaksa dilakukan, baik di pusat maupun daerah. Banyak kegiatan yang sudah direncanakan akan ditunda, atau bahkan dibatalkan, yang secara makro akan semakin menambah efek kontraktif dari penyesuaian APBN terhadap perekonomian.
Ke depan, arah baru politik anggaran ini harus diiringi reformasi kebijakan dalam hal ketentuan yang membatasi ruang gerak fiskal. Deregulasi sejumlah peraturan pada sisi belanja negara harus dilakukan bersamaan dengan penyesuaian pada estimasi di sisi penerimaan negara. Hal ini sesuai yang dimandatkan dalam kajian mutakhir ekonomi publik yang menasbihkan pengutamaan strategi penyesuaian pada aspek belanja ketimbang strategi yang berbasiskan asumsi penerimaan (expenditure adjusment vis-a-vis revenue-based strategist, Collier and Gunning 1999). Sebab sebagai negara yang sangat bergantung pada situasi ekonomi global keterpakuan pada besaran asumsi penerimaan akan mengabaikan aspek lain yang tidak kalah penting pada kebijakan fiskal berupa stimulus pada perekonomian.
Namun, tindakan ini perlu diambil dengan kehati-hatian dan menjunjung tinggi kedisiplinan fiskal yang saat ini mulai ditegakkan kembali. Sebab akan berbahaya apabila disalahgunakan untuk hal lain, di mana pengalaman dalam dua tahun terakhir menunjukkan bahwa keluwesan ruang fiskal justru disalahgunakan untuk kepentingan politik populis yang terbukti salah kaprah dan akhirnya malah memerlukan terapi jangka panjang. Kesempatan emas pun dibuang percuma dan disia-siakan. Untuk itu, pada saat yang sama, pengawasan terhadap politik dan proses penganggaran perlu diperketat. Jangan sampai kemudian kebebasan yang nanti diberikan justru berujung pada dekade yang hilang dari bangsa yang besar ini.
Ikhsan Modjo
Ekonom
|