Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Mencegah Indonesia Jadi Surga Kejahatan Siber Warga Negara Asing
Tanggal 16 Juni 2022
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi I
Isi Artikel

Kejahatan siber yang dilakukan warga negara asing di Indonesia terjadi secara terorganisasi. Selain penegakan hukum, kesadaran intelijen aparat dan masyarakat harus ditingkatkan.

Tak hanya datang untuk berlibur atau bekerja, sejumlah warga negara asing kedapatan terlibat atau sengaja datang untuk melakukan kejahatan siber secara terorganisasi di Indonesia. Mereka ditengarai memanfaatkan kelemahan dalam sistem keimigrasian dan keterbatasan kapasitas aparat. Diperlukan perbaikan di berbagai lini agar Indonesia tak jadi ”surga” bagi para pelaku kejahatan dari berbagai belahan dunia.

Berdasarkan catatan Direktorat Siber Badan Reserse Kriminal Polri, kejahatan siber marak terjadi dalam empat tahun terakhir. Kejahatan siber, yang hadir dalam berbagai bentuk kejahatan informatika (computer crime) dan kejahatan berhubungan dengan teknologi informasi (computer related crime), memiliki tiga karakteristik utama. Pertama, bisa dilakukan di mana saja karena tidak ada batasan geografis (borderless), pelakunya anonim (anonymous), dan dilakukan secara terorganisasi (organized).

Setidaknya, terdapat 15 jenis kejahatan yang pernah terjadi di Indonesia, mulai dari kabar bohong atau hoaks, konten pornografi, perjudian, pencemaran nama baik, pemerasan, penipuan, ujaran kebencian, dan pengancaman. Selain itu, terdapat pula kejahatan siber dalam bentuk akses ilegal, pencurian data atau identitas, peretasan sistem elektronik, penyadapan ilegal, pengubahan tampilan situs, gangguan sistem, dan manipulasi. Di balik seluruh jenis kejahatan itu, para pelaku didorong oleh motif ekonomi, ideologi, politik, dan perilaku menyimpang.

Kepala Unit 1 Subdit 2 Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Ajun Komisaris Besar Purnomo Hadi Suseno mengatakan, kejahatan siber berpotensi terus terjadi, bahkan menjadi kejahatan sehari-hari di masa depan, seiring dengan tingginya jumlah pengguna internet dan media sosial di Indonesia.

Pada awal 2021, tercatat pengguna internet di Indonesia mencapai 202,6 juta orang atau 73,7 persen dari total populasi penduduk. Adapun 170 juta orang atau 61,8 persen dari total penduduk adalah pengguna media sosial. Jumlah itu masih akan terus bertambah, apalagi sejak pandemi Covid-19, kegiatan masyarakat lebih banyak dilakukan di dunia maya.

”Mengacu data yang ada di Bareskrim dari 2017-2021, kasus kejahatan siber yang paling banyak terjadi adalah penipuan dengan berbagai macam modus,” kata Purnomo dalam rapat koordinasi tim pengawasan orang asing yang diselenggarakan Kantor Imigrasi Kelas I Khusus Non TPI Jakarta Selatan, Selasa (14/6/2022).

Ia melanjutkan, pada 2017, ada 25 kasus penipuan di ranah siber yang dilaporkan. Jumlah itu kemudian melonjak drastis menjadi 1.781 kasus pada tahun 2018. Publik juga melaporkan 1.617 kasus penipuan siber pada 2019, lalu 1.319 kasus pada 2020, dan 864 kasus pada 2021.

Dari ribuan kasus tersebut, pelakunya beragam. Tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi juga dilakukan oleh warga negara asing (WNA) yang datang ke Indonesia. Mereka menyasar korban dari berbagai wilayah, tidak terkecuali WNI.

Catatan Bareskrim sepanjang 2018-2021, WNA pelaku penipuan siber yang terungkap berasal dari beberapa negara, mulai dari Nigeria (8 kasus), Gambia (1 kasus), Kongo (1 kasus), Ukraina (1 kasus), hingga China.

Terorganisasi

Purnomo menambahkan, kejahatan siber yang dilakukan WNA di Indonesia terjadi secara terorganisasi. Misalnya, dalam modus business e-mail compromise (BEC) atau penipuan menggunakan surel palsu dengan mengatasnamakan sebuah perusahaan. Perusahaan yang sengaja dibuat secara fiktif itu nantinya merekayasa skenario agar calon korban, biasanya juga perusahaan, mengirimkan sejumlah uang ke nomor rekening yang mereka berikan.

Para pelaku beraksi dalam sebuah kelompok yang dibagi atas beberapa peran, mulai dari pembuat perusahaan, pembuat nomor rekening bank, hingga mereka yang menarik uang hasil penipuan.

Begitu juga dengan modus fraudulent wire transfer atau rekayasa transfer dana untuk memeras korban. Modus itu dilakukan dengan mempelajari terlebih dahulu latar belakang korban yang disasar, yakni orang awam dengan literasi keuangan rendah. Kemudian pelaku membagi peran, umumnya menyamar sebagai penegak hukum untuk mengelabui korban dengan cara mengancam akan memproses hukum korban, karena telah menerima uang hasil kejahatan.

”Yang paling terkini, WNA pelaku kejahatan siber melakukan penipuan berkedok trading. Semakin hari, mereka semakin memanfaatkan teknologi,” kata Purnomo.

Pada 2021, Polri menangkap sejumlah WNA China yang melakukan penipuan investasi. Mereka membuat situs penjualan mata uang kripto palsu dan menawarkan mata uang kripto dengan harga jual kembali yang jauh di atas harga pasaran sehingga akan menguntungkan pembeli. Untuk meyakinkan pembeli, para penipu juga membuat akun media sosial yang dilengkapi dengan berbagai testimoni fiktif.

Meski berhasil mengungkap beberapa kasus, kata Purnomo, penegakan hukum tak lepas dari berbagai kendala. Pertama, posisi korban yang berada di luar negeri biasanya membuat mereka enggan untuk melaporkan kejahatan yang menimpa mereka. Padahal, dalam sistem hukum Indonesia, keberadaan korban merupakan syarat pengusutan kasus.

Keberadaan saksi di luar negeri dan status pelaku sebagai WNA juga kerap menghambat aparat. Sebab, proses hukum harus melalui mekanisme government to government dan menunggu bantuan timbal balik atau (mutual legal assistance) dari negara terkait. ”Kami juga terkendala dalam mengembalikan aset karena umumnya aset hasil kejahatan sudah dikirim ke luar negeri,” tutur Purnomo.

Ia berharap, ke depan, hubungan antarnegara bisa terus dipererat. Kebutuhan regulasi untuk mempererat hubungan tersebut juga harus terus diperbarui. Selain itu, kerja sama police to police juga perlu diperkuat untuk mempermudah penanganan kasus-kasus kejahatan siber yang melibatkan WNA.

Membaur

Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) DKI Jakarta Ibnu Chuldun menceritakan, pihaknya pernah pula menemukan praktik kejahatan siber ketika bertugas di Sumatera Utara. Sekitar 30 WNA dari China dan Taiwan sengaja datang ke Indonesia untuk melakukan penipuan siber internasional secara terorganisasi. Sejak datang dari negaranya, kelompok itu sudah dibekali berbagai peralatan teknis yang dibutuhkan. Bahkan, mereka juga membangun gedung serupa aula di tengah perkebunan.

Tak hanya di wilayah terpencil, kata Ibnu, kejahatan siber oleh WNA juga dilakukan dari wilayah urban, salah satunya Jakarta. Para pelaku umumnya menyewa rumah warga untuk tempat tinggal dan markas operasi. Mereka juga berupaya membaur, bahkan menikah dengan warga setempat untuk menghilangkan kecurigaan.

”Mereka datang ke Indonesia umumnya menggunakan visa turis, kunjungan wisata. Namun, praktiknya mereka melakukan kejahatan,” kata Ibnu.

Untuk mendeteksi aktivitas mencurigakan, Imigrasi menginisiasi pemberdayaan masyarakat untuk menjadi informan keimigrasian. Penjajakan terhadap para camat, lurah, ketua rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW) di sekitar kantor-kantor Imigrasi kini terus dilakukan. Diharapkan, pada akhir Juli mendatang sudah mulai terbentuk kerja sama antara kantor imigrasi dan publik yang diwakili oleh lurah dan ketua RT dan RW.

Kesadaran intelijen

Secara terpisah, pengajar Program Studi Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran Bandung, Teuku Rezasyah, mengatakan, pengungkapan keterlibatan WNA dalam kasus-kasus kejahatan siber memperlihatkan persoalan besar dalam sistem keimigrasian dan kapasitas aparat keamanan di Indonesia. Pelaku kejahatan bisa dengan mudah masuk dan mendapatkan izin tinggal karena sistem keimigrasian hanya mengandalkan data yang mereka serahkan saat mengajukan permohonan visa. Padahal, idealnya, negara memiliki data intelijen yang berupa data elektronik WNA yang mencurigakan, setidaknya mencakup perilaku mereka di dunia maya.

 

”Sayangnya, negara tidak punya daya tangkal sehingga tidak bisa menolak kalau orang-orang (pelaku kejahatan) itu masuk ke Indonesia. Apalagi jika mereka menunjukkan curriculum vitae yang baik, membawa sejumlah dana untuk berlibur, biasanya visa akan mudah diberikan,” kata Reza.

Setelah masuk ke Indonesia, aparat sering kali kesulitan untuk mengetahui keberadaan dan aktivitas mereka. Kapasitas surveilans aparat masih terbatas. Ditambah lagi masyarakat cenderung tidak mau berurusan atau mendiamkan perilaku mencurigakan WNA. ”Kelemahan kita ada pada sisi kesadaran intelijen atau intelligence awareness, baik pada aparat maupun masyarakat,” ujar Reza.

Oleh karena itu, kata Reza, diperlukan pendidikan yang lebih intens dan spesifik untuk aparat, baik yang berasal dari kepolisian, keimigrasian, maupun Badan Intelijen Negara (BIN). Mereka harus memahami alur dan logika kejahatan kerah putih yang kerap dilakukan WNA. Dengan begitu, pergerakan orang, surat-menyurat, sandi, dan keuangan yang dilakukan bisa dibaca dan ditelusuri.

”Tanpa itu semua, Indonesia seperti lahan yang aman untuk melakukan kejahatan kerah putih karena pemerintah tidak mampu menanggulanginya,” kata Reza.

  Kembali ke sebelumnya