Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Naik Haji pada Masa Hindia Belanda
Tanggal 29 Juli 2022
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi VIII
Isi Artikel

Pergi haji (hajj) adalah kegiatan mengunjungi Baitullah (Kabah) di kota suci Mekkah dan sekitarnya (Arafah, Muzdalifah, Mina) pada bulan Syawal, Zulkaidah (8-13 Zulhijah) sesuai dengan syarat dan rukun yang berlaku. Bagi umat Islam, kegiatan haji adalah ibadah wajib yang dilakukan sekali seumur hidup karena ibadah haji merupakan penyempurna rukun Islam. Oleh karena itu, setiap Muslim yang beriman begitu mendambakan kesempatan untuk dapat pergi menunaikan ibadah haji.

Di Indonesia dikenal berbagai istilah yang berhubungan dengan ibadah ini. Istilah tersebut seperti ”naik haji”, ”musim haji”, serta gelar ”haji” untuk pria dan ”hajah” untuk perempuan yang disematkan di depan nama. Mereka yang pulang dari menunaikan ibadah ini oleh masyarakat dipanggil dengan menggunakan gelar ini. Pemerintah kolonial-lah yang mulai ”melegalkan” gelar tersebut. Tujuannya adalah supaya pemerintah lebih mudah mengawasi mereka yang pulang dari ibadah haji karena dianggap kerap memiliki keinginan memberontak.

Pada 1825, untuk melakukan pengawasan, Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan resolutie pelaksanaan ibadah haji. M Dien Majid dalam Berhaji di Masa Kolonial (Jakarta: CV Sejahtera, 2008) menyebutkan, peraturan tersebut mengenai pembatasan kuota dan pengawasan gerak-gerik jemaah. Selain itu juga mengenai penetapan ongkos naik haji sebesar 110 gulden, termasuk paspor untuk ibadah haji. Namun, peraturan ini tidak begitu dipatuhi karena dianggap banyak merugikan jemaah. Oleh karena itu, pemerintah menyempurnakan peraturan dengan mengubahnya pada 1827, 1830, 1831, 1850, 1859, 1872, dan 1922.

Khusus peraturan mengenai gelar haji ada dalam peraturan tahun 1859. Dalam Staatsblad van Nederlandsch Indië 6 Juli 1859 Nomor 42 dijelaskan, jemaah yang telah kembali dari Mekkah akan diuji oleh bupati atau penguasa lokal serta ulama setempat. Pertanyaannya mengenai tempat-tempat suci yang dikunjungi. Jika mereka dapat menjawab pertanyaan tersebut, maka akan diberi sertifikat, berhak menyandang gelar haji, dan mengenakan pakaian haji. Sebaliknya, jika mereka tidak dapat membuktikan telah mengunjungi Mekkah atau menjawab pertanyaan, maka tidak diberi sertifikat, tidak boleh mengenakan pakaian haji, dan didenda sebesar 25 hingga 100 gulden.

Menelusuri jejak visual kegiatan menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci pada masa Hindia Belanda merupakan hal menantang. Apakah memang tersedia rekaman visual pada masa itu? Mengingat ”tertutupnya” kota Mekkah bagi non-Muslim. Selain itu, bagi kalangan masyarakat biasa pada masa itu, pergi ke Mekkah atau bahkan keluar dari kampungnya merupakan suatu hal yang luar biasa. Apalagi jika mereka dapat mendokumentasikan dan mengabadikan suatu momen luar biasa, sekali dalam seumur hidupnya.

Snouck Hurgronje di Mekkah pada 1885 karya Al-Sayyid ‘Abd al-Ghaffar. (Sumber: KITLV Leiden)ARSIP ACHMAD SUNJAYADI

Snouck Hurgronje di Mekkah pada 1885 karya Al-Sayyid ‘Abd al-Ghaffar. (Sumber: KITLV Leiden)

Upaya mengabadikan kegiatan ibadah haji pada masa kolonial jauh dari keinginan untuk menunjukkan bahwa seseorang telah dapat menunaikan ibadah tersebut. Namun, lebih pada usaha mendokumentasikan untuk kepentingan tertentu. Oleh karena itu, apabila dibandingkan dengan situasi sekarang, rekaman visual kegiatan berhaji pada masa Hindia Belanda terbatas. Kekuatan kata-kata baik secara lisan maupun tulisan mengenai pengalaman pergi berhaji pada masa itu menjadi sumber penting selain sumber visual. Ditambah lagi kegiatan ibadah ini telah dilakukan oleh penduduk Nusantara sebelum kedatangan bangsa Barat (Belanda).

Salah satu ”fotografer” yang mengabadikan kegiatan haji tersebut adalah Snouck Hurgronje (1857-1934) yang pernah bertugas di konsulat Belanda di Jeddah pada 1884-1885. Dalam historiografi sejarah Indonesia, nama Snouck Hurgronje dikenal sebagai orientalis Belanda, penjinak Islam politik yang turut berperan dalam penaklukan Aceh. Dengan kata lain, Hurgronje adalah tokoh ”antagonis” dalam catatan sejarah Indonesia. Harry J Benda dalam The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam Under the Japanese Occupation 1942-1945 (The Hague: W van Hoeve, 1958) menegaskan bahwa Snouck Hurgronje-lah yang memisahkan Islam dari politik di Indonesia.

Pada 1874, Christiaan Snouck Hurgronje, putra seorang pendeta dari Oosterhout, mengikuti kuliah teologi di Leiden. Pada 1880, ia berhasil mempertahankan disertasi berjudul Het Mekkansche feest (Perayaan Mekkah). Selanjutnya, ia pernah mengajar di sekolah calon pegawai kolonial sipil (indologie) di Leiden. Pada 1884, ia dikirim ke Jeddah oleh Konsul Belanda Johan Kruyt untuk meneliti kehidupan Muslim di Mekkah. Kota suci Mekkah memiliki peraturan yang berlaku hingga sekarang, yaitu hanya dapat dimasuki orang Islam dan pemeluk agama lain dilarang.

Di Jeddah, Hurgronje mengumumkan bahwa ia masuk Islam dan dikenal dengan nama Abd-Al-Ghaffar. Philip Dröge pada bagian awal novel jurnalistiknya tentang Hurgronje Pelgrim. Leven en reizen van Christiaan Hurgronje Wetenschapper, Spion, Avonturier (Houten-Antwerpen: Spectrum, 2017) menggambarkan adegan ketika Hurgronje dikhitan pada awal bulan Januari 1885 di Jeddah. Lalu di hadapan Kadi (Hakim) Isma’il Agha, Hurgronje melafalkan kalimat syahadat.

Dröge menulis: Het is 16 januari 1885 en Christiaan Snouck-Hurgronje bestaat niet meer, voor ze staat Abd al-Ghaffar al-Laydini. Dat is de volledige naam die hij als moslim heeft aangenomen: De Dienaar van de Alles Vergevende uit Leiden (Saat itu 16 Januari 1885 dan Christiaan Snouck-Hurgronje tidak ada lagi, di hadapannya adalah Abd al-Ghaffar al-Laydini. Itulah nama lengkap yang dia ambil sebagai seorang Muslim: Hamba Yang Maha Pengampun dari Leiden).

Baca juga : Menjaga Kebugaran dan Kesehatan

Panorama kota Mekkah akhir abad ke-19 karya Snouck Hurgronje. (Sumber: Bilder-Atlas zu Mekka, 1888)ARSIP ACHMAD SUNJAYADI

Panorama kota Mekkah akhir abad ke-19 karya Snouck Hurgronje. (Sumber: Bilder-Atlas zu Mekka, 1888)

Namun, bukti bahwa Hurgronje memeluk Islam belum jelas. Menurut PSj van Koningsveld dalam Snouck Hurgronje en Islam. Acht artikelen over leven en werk van een oriëntalist uit het Koloniale tijdperk (Leiden: Documentatiebureau Islam-Christendom Faculteit der Godgeleerdheid, 1987), Hurgronje ke Mekkah bukan untuk masuk Islam, melainkan belajar agama Islam. Oleh karena itu, menurut Majid (2008) kebenaran bahwa Hurgronje masuk Islam masih diperdebatkan dan belum diketahui keberadaan dokumen bukti Hurgronje memeluk Islam, seperti yang dimiliki pejalan dan orientalis Swiss, Johann Ludwig Burckhardt alias Ibrahim al-Mahdi (1784-1817). Hal yang pasti, Hurgronje berhasil masuk kota Mekkah.

Pada 1885, Hurgronje masuk kota Mekkah dan mulai mengamati, mencatat, serta mempelajari kehidupan masyarakat. Ternyata ia juga mengambil banyak foto. Menurut Dröge (2017), Hurgronje memiliki sebuah kamera plus aksesori seharga 500 gulden, senilai gajinya setahun. Kamera itu dibelinya setelah mendengar kabar akan dikirim ke Jeddah. Namun, tidak diketahui merek kamera tersebut.

Durkje van der Wal dalam Christiaan Snouck Hurgronje: The First Western Photographer in Mecca, 1884-1885 (Amsterdam: Rijksmuseum Amsterdam-Manfred & Hanna Heiting Fund, 2011) menyebut Hurgronje kemungkinan menggunakan ”kamera detektif” modifikasi sendiri. Kamera itu dibuat dengan ”metode revolver” dari pelat kaca yang berputar sehingga memungkinkan mengambil enam foto secara berurutan tanpa mengubah pelatnya.

Pada tahun 1862, A Briois di Paris, Perancis, memproduksi kamera revolver Thompson yang didesain oleh Mr Thompson. Thompson merupakan seorang Inggris yang terinspirasi revolver Colt hasil temuan Samuel Colt. Apakah Hurgronje menggunakan atau meniru kamera Thompson tersebut belum dapat diketahui.

Sebuah foto memperlihatkan sosok Snouck Hurgronje ketika di Mekkah pada 1885. Hurgronje sedang duduk menatap kamera. Tangan kanannya memegang payung. Ia memakai jubah atau thawb/thobe (semacam gamis) berwarna gelap dengan bagian dalam pakaian berwarna terang. Di atas kepalanya ada penutup kepala seperti fez. Keterangan yang menyertai foto itu adalah sang fotografer bernama Al-Sayyid ‘Abd al-Ghaffar.

Menurut catatan, Al-Sayyid ‘Abd al-Ghaffar adalah seorang dokter lokal yang merupakan teman Hurgronje. Hurgronje kemudian menitipkan kamera tersebut kepada ‘Abd al-Ghaffar karena ia harus meninggalkan Mekkah. Ketika itu terdengar desas-desus bahwa Hurgronje adalah seorang mata-mata, penipu. Hurgronje kemudian dideportasi atas permintaan Pemerintah Perancis yang menuduhnya mencuri batu Taima.

Dengan kamera peninggalan Hurgronje, ‘Abd al-Ghaffar memotret suasana di sekitar Mekkah dan mengirimkan foto-foto tersebut kepada Hurgronje di Belanda. Oleh karena itu, banyak foto mengenai Mekkah awalnya menggunakan nama Snouck Hurgronje kemudian menyebutkan nama Al-Sayyid ‘Abd al-Ghaffar. Namun, para ahli tidak dapat menentukan foto buatan Hurgronje atau ‘Abd al-Ghaffar.

Sebuah foto memperlihatkan pemandangan panorama kota Mekkah dan bagian barat laut kota tersebut. Sebagian besar adalah Masjidil Haram dengan Kabah sebagai pusat. Keterangan yang menyertainya menyebutkan, foto itu dibuat oleh Snouck Hurgronje. Namun, seperti disebutkan sebelumnya, pembuatnya dapat saja ‘Abd al-Ghaffar.

Jika dilihat dari subyek foto, posisi fotografer di tempat yang tinggi. Foto itu kemudian dijadikan litografi dan masuk dalam buku Bilder-Atlas zu Mekka (1888), buku berbahasa Jerman yang memublikasikan foto-foto karya Hurgronje dan ‘Abd al-Ghaffar. Buku itu kelak diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh JH Monahan dengan judul Mekka in the Latter Part of the 19th Century yang diterbitkan pada 1931.

Baca juga : "Kereta Setan" di Hindia Belanda

Seorang pria penjual gula-gula dan siwak di Jeddah pada akhir abad ke-19 karya Snouck Hurgronje. (Sumber: Bilder-Atlas zu Mekka, 1888)ARSIP ACHMAD SUNJAYADI

Seorang pria penjual gula-gula dan siwak di Jeddah pada akhir abad ke-19 karya Snouck Hurgronje. (Sumber: Bilder-Atlas zu Mekka, 1888)

Sebuah foto lain karya Hurgronje yang terdapat dalam buku Bilder-Atlas zu Mekka (1888) memperlihatkan seorang pria berjanggut, berpakaian dan berpenutup kepala warna terang. Ia tidak mengenakan alas kaki. Terlihat perban di salah satu jari kaki kanan. Pria itu berdiri menatap kamera dan di hadapannya ada nampan segi empat ditopang tiga kayu yang diikat.

Dalam keterangan foto disebutkan bahwa ia seorang penjaja keliling di Jeddah, penjual sejenis gula-gula berbentuk burung. Di atas nampan bagian kiri terlihat tumpukan kayu yang merupakan batang siwak untuk membersihkan gigi dan menghilangkan bau mulut. Suatu strategi penjualan yang cerdas. Selain menjual gula-gula, sang penjual juga menjual alat untuk membersihkan mulut dan gigi setelah menikmati gula-gula.

Hurgonje tidak hanya mengambil foto-foto situasi di sekitar tempat tugasnya. Ia juga mengambil foto orang-orang dari berbagai suku di Nusantara yang pergi berhaji. Jemaah singgah di konsulat Belanda di Jeddah. Koleksi Hurgronje tersebut tentu dalam rangka tugas dan juga bagian dari penelitiannya.

Dalam buku Bilder-Atlas zu Mekka (1888), terdapat 21 foto jemaah dari berbagai suku di Nusantara, dari Pulau Sumatera hingga kepulauan Maluku. Dari Sumatera ada jemaah dari Aceh Besar, Edi (Idi Rayeuk/Aceh timur), Solok, Moko-Moko (Mukomuko) dan Indrapura, Palembang, Kerinci, Mandailing. Dari Pulau Jawa ada jemaah Banten, Jepara, Sukapura (Probolinggo), Malang, dan Pasuruan.

Dari Pulau Borneo (Kalimantan) ada jemaah Pontianak, Sambas, Martapura. Dari Nusa Tenggara ada jemaah Sumbawa. Dari Sulawesi adalah jemaah Bugis, Mandar, Selayar. Dari kepulauan Maluku terdapat jemaah Ambon, Kei, Banda, Bacan, Ternate.

Ada hal menarik dari foto-foto karya Hurgronje dengan subyek jemaah dari sejumlah daerah di Nusantara. Hal menarik adalah pakaian mereka. Pakaian itu memperlihatkan identitas asal daerah.

Misalnya, foto dua anggota jemaah dari Sukapura (Probolinggo), Jawa Timur. Kedua orang itu dalam posisi duduk di kursi dan menatap ke arah kamera. Pria di sebelah kanan foto mengenakan serban, semacam jas bermotif kotak-kotak warna gelap dan di dalamnya kemeja warna cerah. Ia mengenakan sarung bermotif kotak-kotak dan bersandal. Pria di sebelah kiri foto juga mengenakan serban, jas berwarna terang yang di dalamnya tampak kemeja tanpa kerah, serta sarung berwarna cerah. Tidak terlihat apakah ia mengenakan alas kaki karena tertutup oleh sarung.

Dua anggota jemaah haji dari Sukapura, Probolinggo, Jawa Timur, di Jeddah pada akhir abad ke-19 karya Snouck Hurgronje. (Sumber: Bilder-Atlas zu Mekka, 1888)ARSIP ACHMAD SUNJAYADI

Dua anggota jemaah haji dari Sukapura, Probolinggo, Jawa Timur, di Jeddah pada akhir abad ke-19 karya Snouck Hurgronje. (Sumber: Bilder-Atlas zu Mekka, 1888)

Pada foto lain, yaitu foto jemaah dari Malang dan Pasuruan, tampak tiga pria dalam posisi duduk di kursi menatap kamera. Pria di sebelah kiri dan kanan foto mengenakan serban. Mereka mengenakan kemeja lengan panjang berwarna terang tanpa kerah. Pria di sebelah kanan mengenakan sarung motif batik dan bersandal. Sekilas terlihat sarungnya bermotif batik tumpal. Di tangannya ia memegang secarik kertas.

Pria di sebelah kiri juga mengenakan sarung batik, syal, bersandal. Ia juga memegang secarik kertas. Sementara pria di tengah mengenakan kemeja model kancing double-breasted tanpa kerah yang dikancingkan, syal berjumbai disampirkan di bahu kiri, dan bersandal. Ia mengenakan topi pas di kepala berwarna terang, seperti peci haji yang kita kenal sekarang.

Pada foto lain terlihat tiga pria, jemaah dari Jepara, yang semuanya menatap ke arah kamera. Pria di sebelah kiri dalam posisi jongkok. Pria berjanggut di tengah dan kanan duduk bersila. Pria di sebelah kiri mengenakan semacam jas dengan kerah berwarna gelap, bagian dalam terlihat kemeja bermotif, serban bermotif, dan bersandal.

Pria di tengah mengenakan serban, kemeja tanpa kerah berwarna terang, celana panjang, dan bersandal. Pria di sebelah kanan foto mengenakan kemeja tanpa kerah berwarna gelap dengan kancing berwarna terang. Ia tampak mengenakan sarung bermotif batik, tanpa alas kaki. Jika dilihat posisi ketiga pria tersebut, sang fotografer tampaknya juga dalam posisi sejajar dengan mereka.

Baca juga : Bongbong Rasa Cendana

Tiga anggota jemaah haji dari Malang dan Pasuruan, Jawa Timur, di Jeddah pada akhir abad ke-19 karya Snouck Hurgronje. (Sumber: Bilder-Atlas zu Mekka, 1888)ARSIP ACHMAD SUNJAYADI

Tiga anggota jemaah haji dari Malang dan Pasuruan, Jawa Timur, di Jeddah pada akhir abad ke-19 karya Snouck Hurgronje. (Sumber: Bilder-Atlas zu Mekka, 1888)

Tiga anggota jemaah haji dari Jepara, Jawa Tengah, di Jeddah pada akhir abad ke-19 karya Snouck Hurgronje. (Sumber: Bilder-Atlas zu Mekka, 1888)ARSIP ACHMAD SUNJAYADI

Tiga anggota jemaah haji dari Jepara, Jawa Tengah, di Jeddah pada akhir abad ke-19 karya Snouck Hurgronje. (Sumber: Bilder-Atlas zu Mekka, 1888)

Sarung yang menjadi ciri khas penduduk Nusantara juga terlihat dalam foto jemaah dari Sulawesi. Foto bersubyek dua pria dalam posisi duduk di kursi dan menatap kamera diberi keterangan ”Buginesische pilger” (peziarah Bugis).

Pria yang berada di sebelah kiri mengenakan serban, pakaian lengan panjang tanpa kerah dengan kancing kain. Ia mengenakan sarung bermotif kotak-kotak kecil yang merupakan ciri khas sarung Bugis. Pria di sebelah kanan mengenakan serban, pakaian seperti jubah, dan di bagian dalam terlihat pakaian tanpa kerah berhiaskan bordir.

Sebuah foto lain memperlihatkan seorang anggota jemaah perempuan asal Banten dalam posisi duduk, dengan wajah menatap kamera. Perempuan itu mengenakan jilbab berwarna terang yang menutupinya dari kepala hingga kaki. Pada bagian kepala terlihat sangat lebar dan berbentuk seperti perahu terbalik.

Di kakinya tampak ia memakai sandal bermotif dan di tangan kiri ia memegang kain atau saputangan. Menurut Durkje van der Wal dalam Christiaan Snouck Hurgronje: The First Western Photographer in Mecca, 1884-1885 (Amsterdam: Manfred & Hanna Heiting Fund, Rijksmuseum, 2011), foto tersebut diambil antara 7 dan 17 November 1884.

Dua anggota jemaah haji dari Bugis, Sulawesi, di Jeddah pada akhir abad ke-19 karya Snouck Hurgronje. (Sumber: Bilder-Atlas zu Mekka, 1888)ARSIP ACHMAD SUNJAYADI

Dua anggota jemaah haji dari Bugis, Sulawesi, di Jeddah pada akhir abad ke-19 karya Snouck Hurgronje. (Sumber: Bilder-Atlas zu Mekka, 1888)

Seorang anggota jemaah haji perempuan dari Banten di Jeddah pada akhir abad ke-19 karya Snouck Hurgronje. (Sumber: Bilder-Atlas zu Mekka, 1888)ARSIP ACHMAD SUNJAYADI

Seorang anggota jemaah haji perempuan dari Banten di Jeddah pada akhir abad ke-19 karya Snouck Hurgronje. (Sumber: Bilder-Atlas zu Mekka, 1888)

Foto lain memperlihatkan lima anggota jemaah pria dari Ambon, Kei, dan Banda beserta seorang perempuan. Menurut keterangan, perempuan dalam foto tersebut adalah perempuan Mekkah. Tidak diketahui alasan perempuan Mekkah tersebut ada dalam foto. Kelima pria dalam posisi berdiri menatap kamera, sedangkan pandangan perempuan tidak menatap kamera.

Pria paling kiri mengenakan kemeja tanpa kerah, celana panjang, dan serban berwarna cerah dengan sarung bermotif kotak-kotak. Pria kedua dari kiri mengenakan thawb/thobe (semacam gamis), celana panjang berwarna terang, dan serban gelap. Sementara pria di tengah yang berjanggut mengenakan thawb dan celana panjang terang. Pria paling kanan mengenakan thawb berwarna terang, rompi gelap, serban bermotif. Pria kedua dari kanan mengenakan jas gelap, thawb dan serban berwarna terang.

Terlihat dari balik thawb pria itu sarung bermotif kotak-kotak. Pria kedua dari kiri dan kedua dari kanan memegang payung gelap. Perempuan Mekkah mengenakan gaun dengan hiasan manset warna terang. Ia juga mengenakan rompi bergaris putih, serban bermotif, dan sepatu.

Baca juga : Foto Berwarna atau Hitam Putih ?

Lima anggota jemaah haji dari Ambon, Kei, dan Banda serta seorang perempuan Mekkah di Jeddah pada akhir abad ke-19 karya Snouck Hurgronje. (Sumber: Bilder-Atlas zu Mekka, 1888)ARSIP ACHMAD SUNJAYADI

Lima anggota jemaah haji dari Ambon, Kei, dan Banda serta seorang perempuan Mekkah di Jeddah pada akhir abad ke-19 karya Snouck Hurgronje. (Sumber: Bilder-Atlas zu Mekka, 1888)

 

Hukum menunaikan ibadah haji adalah wajib bagi umat Islam yang mampu secara fisik dan materi. Mampu secara materi berkaitan dengan biaya atau ongkos untuk pergi ke Mekkah dan untuk membiayai keluarga yang ditinggalkan. Bagi mereka yang mampu tentu biaya bukan masalah. Sebaliknya, bagi masyarakat kecil alias wong cilik, mereka harus menabung sedikit demi sedikit. Selain itu, ada juga yang terpaksa menjual sawah atau meminjam uang. Bahkan ada calon anggota jemaah haji yang harus bekerja selama beberapa tahun di perkebunan di Malaya dan Singapura. Jika tidak beruntung karena tidak dapat melanjutkan perjalanan ke Mekkah, mereka harus puas dengan julukan ”Haji Singapura”.

Pengalaman jemaah selama perjalanan menunaikan ibadah haji merupakan hal menarik untuk diketahui. Keterbatasan sumber rekaman visual terbantu dengan catatan-catatan dan dokumen arsip yang mendeskripsikan situasi selama perjalanan di atas kapal. Salah satunya adalah urusan konsumsi.

Sebuah reklame berbahasa Melayu dari British India Steam Navigation Company Limited pada 1893 menyebutkan fasilitas makanan yang akan diperoleh para penumpang: Di kapal dapet. Pagi-pagi nassi sesoekanja dengan daging assin bratnja 4/10 kati, garem dan lombok. Tengah hari nassi sesoekanja dengan daging assin bratnja 4/10 kati, garem dan lombok. Sore nassi sesoekanja dengan ikat bratnja 1/10 kati dengan garem dan lombok, kopi dan thee bole dapet tiap-tiap makan sesoekanja.

Fasilitas tersebut ternyata tidak jauh berbeda dengan fasilitas yang dijanjikan dalam reklame maskapai Nederland pada 1896. Reklame tersebut menyebutkan, para penumpang jemaah haji akan menerima air minum, nasi, ikan asin, kopi, teh, gula pasir, lauk pauk berupa daging, sambal, dan garam untuk satu hari.

Suasana keberangkatan jemaah haji dari Tanjung Priok, Batavia, pada tahun 1920-30-an. (Sumber: Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen Amsterdam)ARSIP ACHMAD SUNJAYADI

Suasana keberangkatan jemaah haji dari Tanjung Priok, Batavia, pada tahun 1920-30-an. (Sumber: Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen Amsterdam)

Dalam catatannya yang dimuat di Bintang Hindia pada 1902, Dja Endar Moeda menyebutkan, sebaliknya para penumpang yang naik kapal milik perusahaan Inggris harus memasak sendiri makanannya. Setiap orang wajib membawa beras, kayu api, gulai, atau ikan.

Namun, ada aturan dari konsul Belanda di Jeddah untuk tidak membawa: gedroogde of gezouten visch, trasie en andere minder bekende spijzen (ikan kering atau asin, terasi, dan makanan yang kurang dikenal), terutama yang berbau khas dan menimbulkan ketidaknyamanan selama perjalanan. Aturan ini telah ada sejak 1882 dalam Algemene Pelgrims Verslaag over het jaar 1882.

Tempat untuk memasak di kapal menjadi masalah. Tempat masak yang tidak terlalu luas, sedangkan jumlah penumpang lebih banyak, menjadikan tempat itu sebagai ajang perkelahian. Terkadang periuk berisi nasi yang belum matang diangkat paksa oleh orang lain yang tak sabar menunggu giliran memasak, tulis Dja Endar Moeda.

Oleh karena itu, jemaah kerap membawa bekal sendiri, terutama lauk yang sudah matang. Salah satunya, menurut Suryadi, adalah randang baluik (rendang belut). Hal tersebut membuat salah paham, khususnya bagi orang Arab. Mereka mengira penduduk Nusantara menyukai makanan sejenis ular dan oleh karena itu dianggap terbelakang.

Pandangan merendahkan tersebut membuat Muhammad Muktār bin ‘Utārid al-Bugurī al-Ğāwī, seorang ulama Nusantara yang mukim di Mekkah, membuat penjelasan bahwa yang dimakan oleh jemaah Nusantara adalah belut, bukan ular. Penjelasan tersebut dituangkan dalam bentuk kitab tipis berjudul Al-Sawā‘iq al-muhriqa li-al-awhām al-kādiba fī bayān hall al-balūt wa-al-radd ‘alā man harramahu (Petir yang membakar bagi keraguan pembohong menjelaskan kehalalan belut dan menolak orang yang mengharamkannya) yang terbit di Mekkah pada 1911.

Hiruk-pikuk pada saat keberangkatan dan perjalanan pergi-pulang jemaah haji dapat kita ketahui dari rekaman visual. Sebuah foto koleksi Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen Amsterdam memperlihatkan suasana keberangkatan jemaah haji dari Pelabuhan Tanjung Priok, Batavia. Foto itu diperkirakan dibuat pada tahun 1920-1930-an dan tidak diketahui fotografernya.

Dalam foto tampak jemaah haji membawa barang-barang miliknya, berbaris menaiki tangga kapal. Ada yang membawa keranjang yang diikat dengan tali, kaleng blek, bungkusan besar, peti, koper. Terlihat ada yang mengenakan alas kaki dan ada yang bertelanjang kaki.

Baca juga : Pisau-pisau Fotografi Selektivitas, Instanitas, dan Kredibilitas

Jemaah haji di atas geladak kapal Kota Nopan milik Rotterdamsche Lloyd di Laut Merah sekitar tahun 1930-an. (Sumber: Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen Amsterdam)ARSIP ACHMAD SUNJAYADI

Jemaah haji di atas geladak kapal Kota Nopan milik Rotterdamsche Lloyd di Laut Merah sekitar tahun 1930-an. (Sumber: Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen Amsterdam)

Foto lain memperlihatkan suasana di atas geladak kapal Kota Nopan milik Rotterdamsche Lloyd di Laut Merah. Tidak diketahui siapa fotografernya. Menurut keterangan yang menyertai foto, kapal itu membawa jemaah haji yang berangkat dari Pelabuhan Belawan, Medan, dan foto dibuat pada 19 September 1937. Foto itu diambil dari tempat yang tinggi. Terlihat tumpukan barang-barang, peti-peti milik penumpang. Di sebelah kanan foto tampak para penumpang berdiri di sisi kapal, melihat ke arah laut.

Sepulang dari perjalanan menjalankan ibadah haji, jemaah tidak dapat langsung pulang. Seperti halnya ketika berangkat, ketika pulang mereka kembali dikarantina. Mereka harus menjalani karantina di Pulau Rubiah (Sabang), Onrust (Kepulauan Seribu). Selain untuk tujuan kesehatan, Pemerintah Hindia Belanda juga mencatat nama dan asal wilayah jemaah haji. Jika di suatu wilayah terjadi pemberontakan, dengan mudah pemerintah menemukan mereka yang dianggap bertanggung jawab, yaitu mereka yang bergelar haji.

Sebuah foto koleksi Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen Amsterdam memperlihatkan jemaah haji bersiap-siap turun dari kapal untuk dikarantina di Pulau Onrust. Foto itu tidak diketahui fotografernya dan diperkirakan dibuat pada tahun 1930-an. Jemaah yang sebagian duduk dan berdiri tampak mengenakan pakaian dan serban berwarna terang. Terlihat petugas berseragam di bagian kiri foto sedang mengatur jemaah. Di bagian kiri bawah foto juga tampak seorang anak buah kapal (ABK) bertopi.

Jemaah haji bersiap turun dari kapal menuju karantina di Pulau Onrust, sekitar tahun 1930-an. (Sumber: Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen Amsterdam)ARSIP ACHMAD SUNJAYADI

Jemaah haji bersiap turun dari kapal menuju karantina di Pulau Onrust, sekitar tahun 1930-an. (Sumber: Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen Amsterdam)

Pada foto lain yang diperkirakan dibuat pada tahun 1930-an tampak jemaah turun dari kapal menuju tempat karantina di Pulau Onrust. Posisi fotografer ada di depan mereka. Dengan latar kapal terlihat, jemaah yang turun kebanyakan adalah perempuan. Mereka mengenakan kain dan kebaya serta selendang dan kain batik yang dijadikan kerudung. Bahkan ada juga yang menggendong anak. Di bagian kiri di antara rombongan tampak seorang pria mengenakan kemeja tanpa kerah berwarna terang dan berkain sarung. Pada sisi paling kiri foto terlihat seorang perempuan berkerudung yang digendong oleh seorang pria.

Suasana di tempat karantina direkam dalam sebuah foto yang diperkirakan dibuat tahun 1915. Dalam foto yang tidak diketahui fotografernya tampak jemaah sedang bersantai di bawah pohon besar di depan sebuah bangunan yang mirip gudang. Mereka mengenakan pakaian berwarna terang dan sarung berwarna gelap. Foto diambil dari jarak jauh. Terlihat ada yang berdiri, berjongkok, tengkurap bertumpu dengan siku, dan duduk. Beberapa orang terlihat memandang ke arah kamera.

Jemaah haji turun dari kapal menuju karantina di Pulau Onrust sekitar tahun 1930-an. (Sumber: Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen Amsterdam)ARSIP ACHMAD SUNJAYADI

Jemaah haji turun dari kapal menuju karantina di Pulau Onrust sekitar tahun 1930-an. (Sumber: Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen Amsterdam)

Suasana karantina jemaah haji di Pulau Onrust sekitar tahun 1930-an. (Sumber: Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen Amsterdam)ARSIP ACHMAD SUNJAYADI

Suasana karantina jemaah haji di Pulau Onrust sekitar tahun 1930-an. (Sumber: Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen Amsterdam)

Dari foto-foto karya Hurgronje dapat diketahui suku bangsa dari barat sampai timur Nusantara yang pergi menunaikan ibadah haji di Mekkah. Dalam kumpulan foto tersebut, wilayah timur diwakili oleh kepulauan Maluku. Ternyata ada juga warga masyarakat Papua yang pergi haji. Sebuah foto yang tidak diketahui fotografernya dan diperkirakan dibuat pada akhir hingga awal abad ke-20 memperlihatkan sesosok pria berjanggut, berpakaian khas haji beserban, dan bersepatu. Pria itu adalah Haji Oea Saraka, salah seorang pedagang penting di Skroë, kota pesisir di Semenanjung Onin, Distrik Fakfak Barat (Papua Barat).

Pakaian haji yang dikenakannya memperlihatkan bahwa ia berhasil menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan lulus ”ujian”. Dalam foto itu, Haji Saraka berpose dengan penduduk desa dengan latar rumah kayu beratap rumbia. Foto tersebut adalah foto satu-satunya dari masa itu yang menunjukkan keberadaan masyarakat Muslim Papua.

Pada 1928, George Krugers, seorang indo, membuat film dokumenter mengenai perjalanan haji penduduk Hindia ke Mekkah, mulai dari persiapan hingga kembali ke Tanah Air. George Eduard Albert Krugers (1890-1964) adalah juru kamera, sutradara, dan Direktur Java Film Company. Film dokumenter tanpa suara itu berjudul Het Groote Mekka-feest.

Pemutaran perdana dilakukan di Leiden pada 8 November 1928, yang juga dihadiri oleh Putri Juliana yang ketika itu berusia 19 tahun, JC Koningsberger (menteri urusan jajahan), Idenburg (mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda), konsul Belanda di Jeddah, dan para guru besar Universitas Leiden. Snouck Hurgronje memberikan pengantar sebelum film diputar (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 9/11/1928; De Telegraaf, 9/11/1928; Het Vaderland, 9/11/1928). Film tersebut merupakan film dokumenter perjalanan haji pertama.

Haji Oea Saraka bersama penduduk Skroë, kota pesisir di Semenanjung Onin, Distrik Fakfak Barat, sekitar akhir hingga awal abad ke-20. (Sumber: Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen Amsterdam)ARSIP ACHMAD SUNJAYADI

Haji Oea Saraka bersama penduduk Skroë, kota pesisir di Semenanjung Onin, Distrik Fakfak Barat, sekitar akhir hingga awal abad ke-20. (Sumber: Stichting Nationaal Museum van Wereldculturen Amsterdam)

Foto-foto dan film orang-orang serta kegiatan menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci pada masa Hindia Belanda memperlihatkan jejak rekaman visual kegiatan ibadah ini. Pada masa kini, berbeda dengan masa Snouck Hurgronje, kita dapat dengan mudah mengambil foto ketika berhaji.

Namun, kita perlu merenungi kritik dari Guru Besar Fakultas Syariah Universitas Islam Madinah Syekh Profesor Sulaiman Ar Ruhailli terhadap kebiasaan jemaah haji dan umrah asal Indonesia yang gemar berswafoto daripada berdoa atau beribadah. Bahkan di Masjid Nabawi ketika khatib sedang berceramah, jemaah Indonesia malah asyik berswafoto.

Biasanya setelah banyak mengambil foto, mereka membagikannya atau diperlihatkan kepada orang lain, ungkap Syekh Sulaiman. Padahal, momen beribadah haji atau umrah seharusnya digunakan sebaik-baiknya supaya diterima oleh Allah SWT, bukan untuk pamer atau pencitraan. Semoga jemaah haji kita menjadi haji yang mabrur.

Dr Achmad Sunjayadi, Dosen di Program Studi Belanda dan Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia; Penikmat Fotografi

  Kembali ke sebelumnya