Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Mendaki Bukit Cinta Saat Senja
Tanggal 17 Juli 2022
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi VIII
Isi Artikel

Wartawan Kompas, Ilham Khoiri, berdoa di Jabal Ragmah, dekat Arafah, Arab Saudi, Jumat (8/7/2022).ISTIMEWA/MUHAMMAD IQBAL

Wartawan Kompas, Ilham Khoiri, berdoa di Jabal Ragmah, dekat Arafah, Arab Saudi, Jumat (8/7/2022).

Tak lengkap rasanya melakukan wukuf di Arafah, Arab Saudi, tanpa mengunjungi Jabal Rahmah. Gunung kecil ini merupakan situs bersejarah, titik pertemuan Adam dan Hawa di bumi. Tempat ini bahkan diriwayatkan termasuk sebagai wilayah mustajab alias doa mudah dikabulkan. Saya pun mencoba mendaki dan berdoa bukit itu.

”Yuk, kita naik Jabal Rahmah!” Saya mengajak seorang teman dari Media Center Haji (MCH) seusai wukuf di Arafah, Jumat (8/7/2022) sore. Tanpa pikir panjang, dia mengiyakan. Teman satu ini memang suka jalan.

Sebenarnya saat itu sudah sore, sekira pukul 17.00 waktu Arab Saudi. Menengok langit, agak mendung, matahari tertutup awan. Namun, masih ada harapan. Siapa tahu nanti cuaca berubah cerah sehingga kami akan dapat melihat momen matahari terbenam di atas Jabal Rahmah. Bukankah itu lebih menawan?

Membayangkan pemandangan indah itu, kami pun bergegas berjalan dengan tetap mengenakan dua kain ihram putih. Biar lebih leluasa bergerak, kain ihram bagian pinggang kami ketatkan, juga sedikit digulung ke atas sehingga dua kaki bebas melangkah. Kain atas sedikit dilonggarkan.

Dari tenda Misi Haji Indonesia di Arafah, kami beranjak keluar. Sejumlah jemaah haji sedang duduk reriungan sambil menyeruput kopi. Tiba-tiba, seorang teman dari bagian bimbingan ibadah menyapa, ”Mau ke mana, mas?” Kami bilang, mau ke Jabal Rahmah. Dia awalnya tertarik untuk ikut serta, tetapi entah kenapa kemudian batal. Kami kembali jalan berdua saja.

Melewati pintu utama kompleks perkemahan haji Indonesia, kami menyeberang jalan besar, lantas masuk jalan di samping bukit kecil. Setelah itu, jalan lurus saja, sesuai petunjuk teman yang baru saja turun berziarah dari sana.

Kami terus melangkah sambil melihat-lihat kanan-kiri. Di kanan, banyak jemaah masih terus berdoa di depan tenda atau di bawah pepohonan. Di sebelah kiri, sejumlah jemaah bersantai di atas perbukitan, menikmati sore. Suasana cukup nyaman untuk jalan-jalan karena sudah tidak panas seperti siang tadi.

Musim haji tahun 1443 Hijriah atau 2022 Masehi berlangsung saat musim panas. Kami perlu menyiasati cuaca. Sebisa mungkin kami menghindari atau meminimalkan berjalan di area terbuka saat tengah hari karena terik demikian menyengat. Suhu udara di Mekkah bisa mencapai 43 derajat celsius. Panas yang terasa ekstrem bagi orang Indonesia yang terbiasa dengan suhu siang sekitar 32 derajat celsius. Suhu itu kira-kira sama dengan suhu saat kami berjalan sore hari menuju Jabal Rahmah.

Di tengah jalan, kami agak ragu, apakah jalur ini jalan yang benar. Kebetulan ada dua orang askar, petugas keamanan Arab Saudi yang berbaju lorong, di pinggir jalan. Kami pun bertanya, apakah ini jalan yang benar menuju Jabal Rahmah. ”Hal hadza al-thorik ila jabal rahmah?” Dengan sigap, askar brewokan itu mengiyakan sambil tangannya menunjuk jalur lurus, ”Shohih, istamir.”

Kami lanjutkan langkah. Jabal Rahmah belum terlihat. Tetapi, wajar karena dari tenda Misi Haji Indonesia, jarak ke situ sekitar satu kilometer. Dari layanan peta di gawai, bukit itu berada sekitar 25 kilometer arah tenggara Makkah. Masuk area pinggiran bagian selatan Padang Arafah.

Kami semakin yakin setelah melihat banyak jemaah pulang ziarah. Mereka berasal dari banyak negara yang kami tandai dari postur, wajah, dan bahasanya. Sebagian besar dari Iran dan Turki. Ada juga beberapa dari negara-negara Afrika. Wajah mereka semringah.

Tiba-tiba langit berubah menjadi agak cerah. Mendung yang tadi menghalangi matahari mulai bergeser. Matahari kini sedikit terlihat. Dari kejauhan, tampak kerumunan banyak orang. Kami pun mempercepat langkah.

Sambil berjalan, saya mengais ingatan pada pelajaran di madrasah dan pesantren dulu. Jabal Rahmah secara bahasa terdiri atas dua kata. ”Jabal” berarti gunung. ”Rahmah” berarti kasih sayang. Jika digabungkan, maka artinya gunung kasih sayang.

Dinamakan demikian karena di situlah dulu Nabi Adam dan Hawa bertemu di bumi setelah sekian lama terpisah sejak diturunkan dari surga. Anggota Tim Pembimbing Ibadah Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Daerah Kerja Mekkah, Jadul Maula, mengungkapkan, berdasarkan penuturan para ulama, Jabal Rahmah sering dihubungkan dengan kisah pertemuan Adam dan Hawa di muka bumi setelah sekian ratus tahun terpisah sejak diturunkan dari surga.

Jabal Rahmah semakin penting dalam sejarah Islam karena di sinilah Nabi Muhammad SAW menerima wahyu terakhir. Saat itu bersamaan dengan beliau menunaikan Haji Wada (perpisahan) pada tahun ke-10 Hijriah (abad ke-7 Masehi). Dengan nilai sejarah itu, wajar jika Jabal Rahmah dimuliakan.

Banyak umat Islam yang berusaha naik ke bukit itu untuk mengambil pelajaran, hikmah, dan berdoa. ”Kita sering mendengar, para ulama kita ketika melepas jemaah haji sering menyarankan jemaah untuk ke sana dengan menyebutnya sebagai salah satu tempat yang mustajab. Insya Allah, itu benar,” kata Jadul.

Baca juga: Indonesia Itu seperti Sepotong Surga

Pemandangan Jabal Rahmah di dekat Arafah, tempat wukuf di Arab Saudi, saat musim haji selalu dipenuhi para jemaah seperti terlhat pada Jumat (8/7/2022).KOMPAS/ILHAM KHOIRI

Pemandangan Jabal Rahmah di dekat Arafah, tempat wukuf di Arab Saudi, saat musim haji selalu dipenuhi para jemaah seperti terlhat pada Jumat (8/7/2022).

Senja yang indah

Langit semakin cerah. Awan pergi entah ke mana. Matahari senja muncul bulat utuh, memendarkan warna jingga di langit. Langkah kaki kami semakin gesit. Di kejauhan, bukit itu kelihatan jelas. Penuh dengan jemaah. Sebagian mendaki, duduk atau berdiri di batu di puncak, atau berdiri di kaki bukit.

Semakin dekat, semakin padat jemaah. Setelah berjalan kurang dari satu jam, tiba kami di kaki Jabal Rahmah. Air lembut serupa embun menyembur dari shower-shower yang dipasang di ujung tiang-tiang di pelataran bukit. Kepala agak basah, sejuk rasanya.

Bukit itu setinggi 70-an meter. Permukaannya berbatu dengan bentuk tak beraturan. Pada puncak, berdiri tegak tugu, ujungnya agak lancip. Mirip menhir dari zaman purba.

Semua sisi di Jabal Rahmah penuh manusia. Karena saat musim haji, pengunjungnya adalah para jemaah berkain ihram. Lelaki mengenakan dua kain putih-putih, tanpa jahitan. Perempuan memakai baju tertutup, mayoritas putih. Ada juga yang berwarna hitam. Semua menengadahkan tangan, khusyuk berdoa. Beberapa doa terdengar cukup keras.

Saya bersama kawan jurnalis juga memanjat bukit itu dengan menapaki batu-batu tak beraturan bentuk dan tingginya. Tak terlalu sulit karena memang tersedia tapak-tapak panjatan. Sebagian tapak itu dipapras atau ditambahi semen agar lebih mudah ditapaki kaki. Tiba di puncak, pemandangan sungguh menawan.

Saat itu sekitar pukul 18.00 waktu Arab Saudi. Saat itu, cuaca masih cerah, langit bersih. Matahari sore terlihat jelas, bulat, berwarna keemasan. Warna itu memendar ke langit dan ke awan di sekelilingnya.

Para peziarah duduk atau berdiri di atas bukit. Mulut mereka terus berkomat-kamit. Dari puncak, terlihat gugusan pegunungan di kawasan Arafah. Tampak juga hamparan tenda-tenda jemaah haji di kejauhan. Selebihnya adalah lampu-lampu yang mulai menyala gemerlapan, menerabas langit yang beranjak berubah warna menjadi agak abu-abu.

Pemandangan sunset yang sempurna di Jabal Rahmah. Matahari tenggelam di Bukit Cinta. Para jemaah betah saja berlama-lama di sini menikmati momen langka. Angin sesekali berembus pelan. Segerombolan burung merpati terbang rendah.

Baca juga: Pagi yang Gembira di Mina

Para jemaah haji berdoa di atas Jabal Rahmah di dekat Arafah, tempat wukuf di Arab Saudi, Jumat (8/7/2022) sore.KOMPAS/ILHAM KHOIRI

Para jemaah haji berdoa di atas Jabal Rahmah di dekat Arafah, tempat wukuf di Arab Saudi, Jumat (8/7/2022) sore.

Memanjatkan doa

Kami pun memanjatkan doa. Doa khusus untuk keluarga di rumah, para sahabat yang menitipkan doa sebelum berangkat, handai tolan, juga teman-teman di tempat kerja. Semoga semua sehat, makmur sejahtera, penuh berkah. Tak lupa, kami berdoa untuk bangsa Indonesia.

Dari Bukit Cinta ini, kami memohon agar Indonesia, negeri kami, benar-benar menjadi ”baldatun tayibatun wa rabbun ghafur”, negara yang sehat dan penuh ampunan Tuhan. Kalaulah ada kebencian atau pertikaian akibat perbedaan politik, biarlah itu menjadi bumbu yang membuat kehidupan di negeri kami lebih berwarna. Fondasi dasarnya tetaplah rasa cinta pada bangsa, ”hubbul wathan”.

Semoga spirit cinta dari kisah Adam dan Hawa yang berjumpa di Bukit Cinta ini juga merembes ke Indonesia. Semoga seluruh elemen bangsa di Tanah Air senantiasa mengingat dan merawat kesepakatan untuk membangun kehidupan bersama yang saling menghargai satu sama lain, apa pun perbedaannya.

Tetiba teringat khotbah wukuf yang disampaikan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung Moh Mukri Wiryosumarto di tenda Misi Haji Indonesia, Jumat (8/7/2022) siang. Dia mengajak umat untuk meneladani Nabi Muhammad SAW saat mendamaikan pertikaian kaum Aus dan Khazraj. Dari bermusuhan, kedua suku itu akhirnya menjadi bersaudara dan saling mencintai.

Semua perbedaan antarmanusia bukanlah untuk dipertentangkan, melainkan untuk saling mengenal, berkomunikasi, sehingga terbangun harmoni di tengah kehidupan. ”Terlebih di negara kita Indonesia yang sangat bineka dalam kebudayaan dan agama, perlu untuk dirawat sehingga senantiasa damai dan rukun dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara,” katanya.

Tak lupa kami abadikan momen senja di Jabal Rahmah itu dengan gawai dan beberapa di antaranya lantas saya kirim ke Redaksi Kompas di Palmerah, Jakarta. Seiring matahari tenggelam, kami beranjak turun. Sebagian jemaah masih tetap bertahan.

Saat turun, kami baru menyadari adanya sedikit gangguan. Sampah plastik botol air berserakan di mana-mana, mengotori situs bersejarah ini. Apa mau dikata, kekhusyukan jemaah dalam berdoa ternyata tidak sejalan dengan kesadaran untuk menjaga kebersihan. Padahal, banyak petugas berdiri di pelataran bukit ini dengan membawa kantong terbuka untuk menampung berbagai macam sampah.

Di tengah perjalanan kembali ke perkemahan haji Indonesia, kami ditawari serenteng botol jus buah yang diturunkan dari truk besar. Saat ditanya, apakah ini halal, petugas menukas, semua yang dibagikan ini halal untuk diminum jemaah haji. ”Haj haji, halal halal,” katanya dengan suara lantang.

Tiba di tempat nongkrong Media Center Haji di bawah pohon di dekat tenda Misi Haji Indonesia, kami bagikan dua renteng botol jus tadi. Teman-teman senang. Saat itu, hari benar-benar gelap. Namun, hati kami masih menyala oleh kisah cinta yang kami bawa dari Jabal Rahmah.

Sembari rehat, saya teringat lagu ”Jabal Rahmah” oleh Bimbo, yang populer beberapa tahun silam.

"Ada padang pasir arafah/ Terbentang amat luasnya/ Ada gunung kecil bernama jabal rahmah /Berdiri dengan kukuhnya.

Ada tugas berat selesai/ Dua puluh tiga tahun/ Terdengar dalam amanatnya/ Di jabal rahmah.

Lelaki agung itu shalawat dan salam baginya/ Dia sampaikan firman dari Tuhan. Hari ini telah ku sempurnakan agamamu/ Dan telah ku cukupkan nikmatku bagimu/ Dan telah ku relakan islam jadi agamamu.

Alangkah mulia tugasnya, rahmat bagi alam semesta/ Alangkah besar syukur kita, shalawat dan salam baginya."

Baca juga: Diaspora Nusantara di Tanah Mekkah

Pemandangan dari atas Jabal Rahmah di dekat Arafah, tempat wukuf di Arab Saudi, saat senja, Jumat (8/7/2022).KOMPAS/ILHAM KHOIRI

Pemandangan dari atas Jabal Rahmah di dekat Arafah, tempat wukuf di Arab Saudi, saat senja, Jumat (8/7/2022).

  Kembali ke sebelumnya