Judul | Lumbung Pangan di Papua Berisiko Sosial dan Lingkungan |
Tanggal | 23 Desember 2020 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi IV |
Isi Artikel | KOMPAS/AGUS SUSANTO Foto udara Kampung Zanegi di Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua, Selasa (10/3/2020). Perkampungan yang makin terdesak ke pinggiran ini dihuni oleh Suku Malind Anim. Kampung Zanegi menjadi salah satu kampung yang terdampak pembangunan proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). JAKARTA, KOMPAS — Tiga kabupaten di Papua ditetapkan pemerintah sebagai lokasi untuk program lumbung pangan atau food estate selain Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara. Penapisan area tanam lumbung pangan perlu memperhatikan kondisi daya dukung dan daya tampung serta karakter sosial budaya di tiga wilayah tersebut. Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada San Afri Awang menyampaikan, berdasarkan laporan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Papua, batas fungsional program lumbung pangan di Papua tercatat seluas 10 juta hektar. Pengembangan mencakup tiga kabupaten, yakni Boven Digoel, Mappi, dan Merauke. ”Namun, batas AOI (area of interest) yang berpotensi ditanami hanya seluas 3,2 juta hektar dan luas tersebut masih akan dilakukan penapisan kembali,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Episode Baru Food Estate di Papua”, Rabu (23/12/2020). Baca juga: Lumbung Pangan Nasional Awang menjelaskan, mengetahui kondisi eksisting fungsi lingkungan hidup atau daya dukung dan daya tampung di Boven Digoel, Mappi, serta Merauke sangat penting sebelum menetapkan lokasi tersebut sebagai lumbung pangan. Hasil kajian pengaman pembangunan Papua pada 2019 menunjukkan bahwa ketiga kabupaten tersebut memiliki persentase fungsi lingkungan hidup yang berbeda-beda. KOMPAS/AGUS SUSANTO Anak-anak mandi di sumur di Kampung Zanegi, Distrik Animha, Kabupaten Merauke, Papua, Selasa (10/3/2020). Perkampungan yang makin terdesak ke pinggiran ini dihuni oleh Suku Malind Anim. Kampung Zanegi menjadi salah satu kampung yang terdampak pembangunan proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Menurut hasil kajian itu, wilayah Boven Digoel memiliki persentase yang rendah sebesar 31,32 persen untuk produksi tanaman serealia dan non-serealia. Sementara persentase Mappi dan Merauke cenderung tinggi, yakni 94,98 persen dan 73,86 persen. Adapun pada kategori konservasi dan penyimpanan stok karbon, persentase Boven Digoel cukup tinggi mencapai 87,48 persen. Sebaliknya, dua kabupaten lainnya memiliki persentase lebih kecil, yakni Mappi 46,68 persen dan Merauke 46,15 persen. Awang menegaskan, berdasarkan kondisi daya dukung dan daya tampung serta karakter sosial budaya di tiga wilayah tersebut, penetapan lokasi lumbung pangan harus mempertimbangkan daya dukung air, pangan, dan tekanan penduduk. Selain itu, pertimbangan lainnya yang juga harus dilihat, yaitu kecenderungan perubahan jenis lingkungan, status perizinan, permukiman orang asli Papua, dan status program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Baca juga: Pemerintah Andalkan Papua sebagai Wilayah Penyerap Karbon ”Komoditas juga harus jelas sejak awal karena di food estate itu ada pangan, tanaman perkebunan, tanaman kehutanan, palawija, hortikultura, dan ternak. Kemudian masterplan food estate harus segera diselesaikan yang mendapatkan persetujuan masyarakat dan pemerintah daerah,” ujarnya. Menimbulkan masalah Ketua Dewan Nasional Foodfirst Information and Action Network (FIAN) Indonesia Laksmi Savitri menyatakan, dari evaluasi dan refleksi program terdahulu di Papua, pengelolaan lumbung pangan oleh korporasi tidak memiliki ruang untuk proses integrasi sosial budaya warga setempat pada ekonomi baru. Sebaliknya, perubahan lanskap yang masif menimbulkan persoalan ekologis yang berimplikasi pada kesehatan masyarakat sekitar dan kesulitan bahan pangan. KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO Salah satu kanal primer di lahan bekas PLG tahun 1995 di wilayah Dadahup, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Kamis (9/7/2020). Kanal itu, menurut rencana, bakal direhabilitasi untuk keperluan program lumbung pangan. Selain itu, lumbung pangan juga memunculkan ruang bagi brokering (perantara) yang merugikan posisi masyarakat, tetapi menguntungkan lapisan elit esosial. Pada akhirnya, hal ini akan memperbesar ketimpangan sosial, memicu potensi konflik, dan menghasilkan skema pengelolaan pangan yang merugikan negara. Menurut Laksmi, adanya berbagai masalah dari lumbung pangan menyimpulkan bahwa sistem pangan lokal tetapi menjadi pilihan terbaik untuk kedaulatan pangan. ”Jadi, gerakan masyarakat untuk kembali ke pangan lokal itu sudah terjadi. Sudah jelas dengan menanam sendiri atau bersama, kita tahu pasti makanan itu berasal darimana,” ujarnya. Kepala Bidang Rencana Kehutanan Dinas Kehutanan Provinsi Papua Estiko Tri Wiradyo mengatakan, rencana lokasi terbaru program lumbung pangan di Papua mencapai 2,68 juta hektar dan berada di kawasan hutan. Rencana ini juga akan mengurangi hutan lindung seluas 243.000 hektar. Baca juga: Menjaga Pangan Lokal Papua dari Halaman Rumah Menurut Estiko, kajian lumbung pangan yang dilakukan tetap memperhatikan aspek ekologi, ekonomi, teknis, dan sosial. Aspek ekologi tetap menjadi hal utama agar fungsi hidrologi tetap terjaga sekaligus melindungi kawasan konservasi berserta tumbuhan satwa liar. KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO Setelah Jokowi kunjungi desanya, warga Desa Belanti Siam di Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, mulai bersiap untuk kembali menanam dengan menyemai benih padi, pada Sabtu (10/10/2020). Setidaknya 30.000 hektar sawah ekstensifikasi bakal ditanami padi sebagai tahap awal megaproyek lumbung pangan. ”Pemetaan wilayah adat juga perlu dilakukan karena ketika lahan dibuka, masyarakat akan bingung dan saat kembali ke lokasi mereka tidak tahu batasnya. Ruang berburu dan meramu juga harus tetap terjaga sehingga tidak semua lahan itu dibuka,” katanya. Program lumbung pangan nasional mulai ditetapkan pemerintah sejak Juni 2020 yang berlokasi di Kalimantan Tengah seluas 770.601 hektar pada kawasan eks-Pengembangan Lahan Gambut (PLG). Dalam rapat terbatas (ratas) Juli 2020, pemerintah kemudian menetapkan dua lokasi lainnya, yakni Sumatera Selatan dan Papua. Dalam pidato kenegaraan pada 14 Agustus 2020, Presiden Joko Widodo menyebut pengembangan lumbung pangan dilakukan di Kalteng dan Sumatera Utara. Kedua wilayah tersebut kemudian ditetapkan sebagai lokasi awal program lumbung pangan pada ratas September 2020. Sementara lokasi lumbung pangan selanjutnya ditetapkan di Nusa Tenggara Timur, Sumsel, dan Papua. |
Kembali ke sebelumnya |