Judul | Janji Usang Lumbung Pangan |
Tanggal | 25 Oktober 2020 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi IV |
Isi Artikel | KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO Setelah Presiden Joko Widodo mengunjungi desanya, warga Desa Belanti Siam di Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, mulai bersiap untuk kembali menanam dengan menyemai benih padi, Sabtu (10/10/2020). Setidaknya 30.000 hektar sawah ekstensifikasi bakal ditanami padi sebagai tahap awal megaproyek food estate. Kalimantan Tengah yang luasnya 1,3 kali Pulau Jawa itu selalu menjadi pilihan pemerintah untuk menjadi lumbung pangan nasional sejak era Presiden Soeharto. Namun, ujung program itu selalu gagal. Program serupa kembali dibuat tahun ini di era Presiden Joko Widodo. Optimisme yang sama dibangun, tetapi masih penuh tanda tanya. Amin Arifin (45) mengingat kembali momen-momen 25 tahun lalu saat dirinya masih remaja. Tahun 1996, ia sudah tinggal di desa itu sebagai transmigran dari Jawa Timur. Bersama orangtua dan kerabatnya, ia menghuni tempat yang belum pernah ia pikirkan menjadi tempatnya hidup. Ia masih mengingat bagaimana alat-alat berat hilir mudik di depan rumahnya. Saat itu, di bagian belakang rumahnya hutan lebat. KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO Salah satu traktor yang digunakan anggota TNI untuk membajak sawah sempat tersendat lumpur dan harus ditarik traktor lain di Desa Gadabung, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Sabtu (10/10/2020). TNI Korem 102/Panju Panjung membantu persiapan sawah di lokasi food estate. Namun, tak sampai sebulan pohon-pohon perkasa itu tumbang, tongkang-tongkang pengangkut kayu hilir mudik di Sungai Kahayan, sekitar 500 meter dari desanya. Kanal-kanal dibuat. Manusia hilir mudik, dari yang ia kenal sehari-hari hingga orang asing. ”Hampir persis seperti ini. Tentara di mana-mana, menjaga sana-sini. Lalu, orang-orang yang katanya dari pusat juga tinggal di sini di rumah-rumah penduduk,” kata Amin sambil menyesap kopi di depan rumahnya, Selasa (20/10/2020) sore. Baca juga: ”Food Estate” Ancam Kawasan Kubah Gambut di Kalteng Sore itu ramai. Sama seperti sore-sore sebelumnya, setidaknya sebulan belakangan. Sejak kedatangan Presiden Jokowi pada 8 Oktober 2020, sebagian besar rumah di desa itu menjadi penginapan mendadak. Mereka berasal dari berbagai kementerian. ”Kami hampir setiap hari diajari dan disuruh ikut pelatihan, lalu para tentara membantu kami membajak sawah. Isi pelatihannya bertani, padahal, kan, itu pekerjaan kami dari lahir, ya,” ungkapnya sambil terkikih. KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO Warga Desa Sanggang, Kabupaten Pulang Pisau, menjual gabah kering giling mereka ke pembeli dari luar desa, Jumat (4/9/2020). Dalam 1 hektar mereka menghasilkan 4-5 ton padi jenis Inpari-42. Kawasan desa itu merupakan lokasi food estate yang pernah dikunjungi Jokowi. Petani di sekitar lokasi masih bergantung kepada tengkulak. Setidaknya tiga kelompok tani dari desa itu mengikuti pelatihan yang hampir seminggu lamanya berlangsung. Pelatihan itu mengajari para petani menanam singkong dengan memanfaatkan pematang sawah atau lahan sisa, lalu ada juga pelatihan budidaya ikan di kanal atau saluran irigasi, hingga menanam padi. ”Kami, sih, senang saja, wong dapat uang duduk, dapat baju, dapat makan, kok,” ujar Suryanto (43), salah seorang peserta pelatihan yang juga Ketua Kelompok Tani Sido Mulyo. Baca juga: Infrastruktur Pertanian di Lokasi ”Food Estate” Perlu Perbaikan Suryanto juga mengenang masa remajanya yang ikut membantu ayahnya membajak sawah dari rawa gambut yang dibuka di zaman Presiden Soeharto. Namun, tiga tahun lamanya sawah itu tak bisa panen. Masalahnya beragam, mulai dari tingkat keasaman tanah yang tinggi, hama, hingga varietas padi yang tidak cocok. KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO Warga Sanggang melintas di jembatan di atas kanal atau saluran irigasi, Jumat (4/9/2020). Kanal besar itu merupakan sisa dari proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) tahun 1995 yang baru-baru ini diperbaiki oleh pemerintah dalam rangka food estate. Suryanto mengungkapkan, hampir tiga tahun itu mereka hanya makan gaplek, makanan khas Jawa dari bahan dasar singkong. Satu tahun pertama mereka masih mendapatkan beras bantuan dari pemerintah, tahun-tahun berikutnya mereka mulai kebingungan. Kopi liberika kadang menjadi penyelamat karena masih bisa dijual di pasar, singkong yang mereka makan juga kadang dijual di pasar. ”Sekadar beli beras bisalah untuk makan,” ungkap Suyanto. Suryanto mengenang, sejak 1997, banyak sekali kerabatnya yang tak tahan tinggal di lahan gambut dan memilih pulang kampung. Rumah dan tanah dari program transmigrasi dijual, bahkan ada yang ditinggal begitu saja. Baca juga: Pemerintah Perlu Antisipasi Dampak Lingkungan dari ”Food Estate” di Kalteng Tahun ini, dengan alasan krisis pangan karena pandemi Covid-19, program serupa dibuat dengan luas tahap awal 30.160 hektar. Rinciannya, 10.160 hektar di Kabupaten Pulang Pisau dan 20.000 hektar di Kapuas, yang meliputi 13 kecamatan. Dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Food Estate dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan rapat terbatas Presiden Jokowi bersama para menteri pada 23 September lalu menunjukkan luas kawasan yang berbeda. Dari KLHS itu, kawasan irigasi yang digunakan untuk persawahan luas lahannya mencapai 148.267,88 hektar, sedangkan kawasan tanpa irigasi luasnya mencapai 622.332,60 hektar. Dengan demikian, total luas lahan sesuai komoditas pertanian di lahan eks PLG 770.800, 48 hektar atau lebih dari 10 kali luas Provinsi DKI Jakarta. Menurut rencana, kedua kawasan itu akan menjadi lokasi lumbung pangan, baik padi maupun komoditas pertanian lain. KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO Kabut asap menyelimuti Jalan Trans-Kalimantan dari Kota Palangkaraya ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kamis (7/11/2019). Kebakaran masih berlanjut meski status tanggap bencana sudah dicabut. Bencana alam Program lumbung pangan sudah pernah dibuat, bahkan di lahan yang sama, 25 tahun lalu dengan nama proyek Pengembangan Lahan Gamut (PLG) tahun 1995. Proyek PLG memanfaatkan satu hamparan dengan luas mencapai 1,4 juta hektar atau setengah luas Provinsi Jawa Barat. Kawasan satu hamparan itu dibagi menjadi lima blok, yakni Blok A, B, C, D, dan Blok E. Gubernur Kalteng tahun 1995 Warsito Rasman menyebutkan, Presiden Soeharto menginstruksikan kepada delapan menteri, di antaranya Mentan, Menhut, Men-PU, Mentrans, Meneg Agraria/BPN, Meninves/BKPM, dan Mendagri, untuk menyiapkan lahan 1 juta hektar untuk sawah. Persyaratannya, lahan itu dalam bentuk satu hamparan (Kompas, 14 Agustus 1995). KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Doni Monardo menjenguk Kezia Refiga (9), anak sekolah asal Tumbang Tahai, Kalteng, yang menggunakan ruang oksigen di Puskesmas Bukit Batu, Jumat (20/9/2019). Kezia menggunakan oksigen karena merasa pusing akibat tebalnya kabut asap di sekitar rumahnya. Saat itu, Presiden Soeharto juga menginginkan hamparan rawa gambut dan hutan itu direkayasa dengan teknologi pasang surut dengan mengandalkan teknologi kanalisasi agar terdapat keseimbangan air di dalam dan luar tanah gambut. Kompas mencatat, tahun 1996, setahun setelah pencanangan Kalteng sebagai calon lumbung pangan lewat PLG, demplot yang disiapkan gagal panen. Baca juga: Beberapa Desa di Kalteng Masih Diselimuti Asap Desa yang menjadi pilihan percobaan awal adalah Desa Mampai, Kecamatan Kapuas Murung, Kabupaten Kapuas. Di desa itu, lahan 1.000 hektar disiapkan, hutan dibuka, benih pun ditanam sekitar November 1995. Lalu, yang terjadi, kawasan yang sudah ditanami padi jenis Impari-66 direndam banjir. Panen pun gagal total (Kompas, 1 Februari 1996). Tahun itu, kanal-kanal dibuat dengan maksud menjadi saluran irigasi. Totalnya mencapai 1.200 kilometer. Dampaknya, hamparan gambut yang basah pun mengering. Kebakaran hutan dan lahan pun tak terhindar. Dua tahun berselang, yakni tahun 1997, kebakaran hebat melanda yang sumbernya dari lokasi PLG yang baru dibuka, baik di Kabupaten Pulang Pisau, Kapuas, maupun Palangkaraya. Tahun 1997-1998 disebut-sebut sebagai kebakaran dan bencana asap terburuk. Luca Tacconi dalam Kebakaran Hutan di Indonesia: penyebab, biaya, dan implikasi kebijakan menyebutkan jika saat itu Indonesia dilanda fenomena El Nino, persis seperti 2015. Total luas wilayah yang rusak di Indonesia akibat karhutla mencapai 9,75 juta hektar. Sedangkan total kerugian finansial yang ditanggung Indonesia hingga Februari 1998 mencapai 4,4 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 44 triliun (Kompas, 30 Mei 1998). Pengamat lingkungan di Kalimantan Tengah, Fatkhurohman, mengatakan, kawasan hutan di Kalteng saat ini tersisa 48 persen saja. Blok pada PLG yang masuk dalam KLHS proyek food estate tahun ini menyumbang 22 persen dari total kawasan hutan yang masih baik. Ia juga menyebut kawasan tersebut bahkan menjadi habitat orangutan. Pada kejadian kebakaran hutan dan lahan 2015 hingga 2019, lanjut Fatkhurohman, Kalimantan Tengah menyumbang 50 persen total kebakaran di Pulau Kalimantan. Sebanyak 22 persen dari total itu disumbang oleh lahan eks PLG. Fatkhurohman menjelaskan, jika Blok E dirusak, bukan tidak mungkin bencana yang jauh lebih besar akan datang lagi. Tak hanya itu, di Blok E tidak ada permukiman sehingga memunculkan banyak pertanyaan terkait orang-orang yang akan mengerjakan proyek tersebut di sana. Menurut Fatkhurohman, perencanaan food estate sudah gagal dilihat dari begitu cepatnya pemerintah membuat kajian lingkungan hidup. ”Perencanaan yang gagal sama dengan merencanakan kegagalan,” kata Fatkhurohman. Sebelumnya, Pelaksana Tugas Gubernur Kalteng Habib Said Ismail menyebutkan jika program itu nantinya akan membawa kesejahteraan untuk masyarakat Kalteng. Ia pun optimistis Kalteng bisa menjadi lumbung pangan nasional. ”Jadi, program food estate ini yang pertama adalah intensifikasi, mekanisasi pertanian. Nanti tetap akan dibantu itu juga untuk meningkatkan produktivitas. Apabila sebelumnya bisa menghasilkan 5 ton (beras), setelah program food estate diluncurkan, 1 hektar yakin bisa menghasilkan 7 sampai 10 ton,” kata Habib. BIRO PERS ISTANA Presiden Jokowi melihat itik di area food estate, Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, Kamis (8/10/2020). Selain menanam padi, penduduk di kawasan itu juga membudidayakan berbagai komoditas lain. Sebuah optimisme yang sama yang coba dibangun kembali setelah 25 tahun lamanya tertidur. Optimisme untuk membangun kesejahteraan di tengah beragam bencana yang selama ini bertubi menimpa warga karena salah urus tanah gambut. Sebelumnya, bencana asap tahun 1997, 2015, hingga 2019 selalu meminta korban dari para petani dan masyarakat sekitar, korban jiwa juga materi. Kini, para petani tak punya pilihan selain setia menunggu janji kesejahteraan. Meski ada keraguan, asa tetap dipupuk, digantungkan pada program pemerintah yang bertekad dalam waktu yang singkat membangun lumbung pangan. Semoga, tidak lantas berulang menjadi kenangan seperti program di masa lalu. |
Kembali ke sebelumnya |