Judul | Pahlawan Pangan |
Tanggal | 15 Oktober 2020 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi IV |
Isi Artikel | KOMPAS/IRMA TAMBUNAN Kebijakan pembukaan hutan selama 40 tahun terakhir telah mengabaikan keberadaan komunitas adat Orang Rimba, yang merupakan penghuni hutan penyangga Bukit Duabelas, Jambi. Untuk bertahan, sebagian warga membangun hunian darurat di perkebunan sawit swasta. Kehilangan sumber daya hutannya mengakibatkan banyak warga kelaparan dan rentan terserang penyakit. Salah satu kelompok Orang Rimba di Tabir Selatan, Merangin, Jambi, Senin (19/11/2018). Hari Pangan Sedunia 2020 diperingati dalam suasana suram yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebelum Covid-19 pun sebenarnya sudah banyak permasalahan yang dihadapi sistem pangan dunia. Saat penduduk dunia menuju 10 miliar orang pada 2050, lebih dari 2 miliar orang masih tak memiliki akses teratur pada pangan yang cukup, aman, dan bergizi. Padahal, dampak masalah pangan dan gizi, termasuk kurang pangan, kurang gizi-makro dan gizi-mikro, stunting, atau obesitas, telah menyebabkan kerugian ekonomi global dalam bentuk hilangnya produktivitas, biaya mengatasi penyakit, dan sebagainya; yang setara dengan 3,5 triliun dollar AS per tahun atau sekitar tiga kali PDB Indonesia. Covid-19 telah memperparah keadaan itu. Diperkirakan, jumlah orang lapar bertambah 83 juta-132 juta orang, padahal tanpa Covid-19 pun dunia sudah menghadapi sekitar 690 juta orang lapar karena berbagai sebab. Baca juga: Memastikan Petani Sejahtera Menyedihkannya, dari seluruh pangan yang diproduksi untuk makanan manusia, pangan yang hilang (loss) dalam perjalanan, dari pertanaman hingga pasar dan pangan yang sudah sampai di piring makan dan terbuang tak terkonsumsi (waste) mencapai 1,3 miliar ton atau senilai 750 miliar dollar AS per tahun.
Basis produksi pangan pun kian mendapat tekanan yang berat. Luas lahan yang dapat ditanami (arable land) diperkirakan hanya 0,186 hektar per kapita (2019), dengan laju penurunan 1,07 persen per tahun. Artinya, ketersediaan seluruh pangan yang dibutuhkan setiap orang di dunia hanya ditopang oleh ketersediaan lahan kurang dari 2.000 meter persegi. Di sisi lain, jenis pangan manusia juga kian seragam. Sembilan jenis tanaman pangan mencakup 66 persen dari total bahan makanan manusia. Padahal, terdapat 30.000 jenis tanaman yang dapat dimakan. Keseragaman itu mendorong monokulturisasi, membuat usaha tani cenderung berskala usaha luas untuk mengejar efisiensi, menggerus daya dukung alam, serta rentan terhadap gangguan dan bencana. Baca juga: Basis Pertahanan Berdaulat Pangan KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO Petani di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, menyiapkan benih padi sebelum ditanam di sawah mereka, Sabtu (10/10/2020). Setidaknya 30.000 hektar bakal ditanami padi sebagai tahap awal megaproyek food estate. Covid-19 mendorong aktivitas belanja pangan secara daring kian marak dan sangat instrumental. Padahal, masih sekitar 3 miliar orang di dunia, terutama di perdesaan yang sebagian besar adalah petani, tak memiliki akses internet memadai. Petani kecil menghadapi masalah baru lagi: diskriminasi akses karena keterbatasan internet, yang kemudian berarti keterbatasan akses informasi, pembiayaan, dan pasar. Tentu saja pemerintah memiliki tugas besar mengatasi masalah-masalah mendasar itu. Tak sedikit kebijakan dan kegiatan yang sudah dikembangkan untuk menjaga ketahanan serta keamanan pangan dan gizi. Namun, tak seharusnya dan tak tepat jika urusan pangan seolah hanya menjadi urusan pemerintah. Masyarakat juga telah berperan besar memberikan solusi, bertindak, dan berperan dalam menyediakan pangan.
Di antara anggota masyarakat ada beberapa yang sangat menonjol, yang berperan lebih sekadar untuk kepentingan dirinya, atau perusahaannya, atau keluarganya. Mereka memberikan nilai dan dampak bagi banyak orang, bagi masyarakat sekitarnya yang lebih luas. Mereka adalah para pahlawan pangan. Pahlawan pangan sebenarnya ada di mana-mana. Mereka yang membawa pangan dari ladang dan kebun hingga tersaji bagi yang akan memakannya. Mereka yang mengangkut, memperdagangkan, dan menjajakan pangan, para tukang sayur keliling dan pedagang kecil; serta para ibu (atau ayah) yang menyiapkan, memasak, dan menyediakan makanan bagi anak-anaknya adalah pahlawan. Merekalah penentu pangan yang cukup, aman, dan bergizi itu tersedia di meja makan. Baca juga: Bangun Ketahanan Pangan KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA Pedagang berada di antara berbagai jenis sayur hasil panen petani yang dijual di Pasar Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Minggu (4/10/2020). Sayuran tersebut mereka peroleh dari petani di sekitar lereng Gunung Merbabu dan Merapi. Inspirasi pahlawan pangan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) mengakui dengan hormat peran para pahlawan pangan itu. Tidak hanya kepada petani produsen pangan atau para orangtua penyedia pangan, tetapi juga beberapa individu warga dunia yang istimewa. Momen Hari Pangan Sedunia tahun ini juga digunakan untuk memberikan apresiasi yang diharapkan bisa memberikan inspirasi bagi yang lain. Sebagai contoh, FAO tahun ini mengangkat kisah seorang ibu, Keti Tomeishvili, petani timun dari Georgia di Asia Tengah, yang gigih menghadapi iklim yang dingin dan Covid-19, dengan mengembangkan tanaman herbal untuk makanan, yang juga memberdayakan perempuan lain di desanya. Atau kisah Muhamad Umer dari Pakistan yang menghadapi keterbatasan fisik tubuhnya dan kondisi alam tempatnya tinggal yang sangat berat, kering, berbatu, dan tanpa infrastruktur yang memadai, tetapi tetap berusaha menanam, memanen, dan menyediakan olahan buah. Motivasinya sederhana: menyediakan jus dan minuman yang sehat bagi masyarakat.
Kisah Chef Elijah Amoo Addo dari Ghana juga menarik. Chef Amoo Addo mendirikan Food for All Africa, tergerak karena melihat banyak orang kurang makan saat lockdown dan kemudian mendistribusikan ribuan boks makanan kepada yang membutuhkan. Hiromi Tabata, seorang penyelia makanan sekolah dari Jepang, mendapat apresiasi karena usahanya yang luar biasa memastikan makanan bergizi tetap tersedia bagi anak-anak, termasuk saat harus bersekolah dari rumah. Pada skala global, apresiasi kepada pahlawan pangan diberikan kepada tokoh seperti Norman Borlaug, agronomis, penerima Nobel Perdamaian 1970, karena perannya meningkatkan produksi pangan, terutama gandum, yang dianggap telah menyelamatkan ratusan juta orang dari kelaparan. Atau Simon Groot yang mendapat penghargaan World Food Prize 2019 karena memiliki kontribusi besar dalam memperbaiki nutrisi dan menciptakan peluang ekonomi berkelanjutan bagi petani kecil di berbagai belahan dunia dengan mengembangkan sistem perbenihan sayuran. Baca juga: Momentum Kemandirian Pangan KOMPAS/WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO Warga dan petani menggelar upacara bendera merayakan HUT Ke-75 Republik Indonesia di areal persawahan di Grumbul Kalibacin, Desa Mandirancan, Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Senin (17/8/2020). Indonesia juga tak kekurangan pahlawan yang telah berperan besar menyediakan pangan. Individu-individu luar biasa yang berjuang agar pangan ada di tengah berbagai keterbatasan, terutama para petani yang masih berjuang menghadapi masalah, seperti keterbatasan pupuk, irigasi yang rusak, atau tenaga kerja yang semakin sulit. Kementerian Pertanian benar ketika menjuluki para petani ”pahlawan pangan”. KOMPAS Bayu Krisnamurthi Petani tetap melakukan produksi pangan, menghadapi risiko dan ketidakpastian, bekerja keras dengan ketekunan meski kadang hampir putus asa. Fakta juga menunjukkan, hampir semua atau sebagian besar investasi cetak sawah adalah investasi petani. Demikian juga ladang jagung, kebun singkong, kebun sayur, kandang ayam, sapi, atau kambing adalah hasil investasi petani. Petani adalah penyedia pangan sebenarnya. Benarlah ungkapan yang populer: no farmer, no food, no future; tanpa petani tak ada pangan, tidak ada masa depan. Bayu Krisnamurthi, Dosen Departemen Agribisnis IPB University, Ketua Umum Asosiasi Agribisnis Indonesia. |
Kembali ke sebelumnya |