Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Sistem Pangan Adaptif dan Resiliens
Tanggal 16 Oktober 2020
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi IV
Isi Artikel

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/p9XlzO_Uwk_jumii77sKD8nwoBw=/1024x684/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F20201012WEN6_1602478593.jpgKOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA

Buruh tani memanen padi di Kecamatan Kaliwungu, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, Senin (12/10/2020).

Dunia berulang kali didera pandemi dan resesi. Dalam siklus pandemi-normal-pandemi selalu ada yang menang dan kalah. Siklus ini berulang dan abadi. Siapa bakal menang? ”Bukan yang terkuat yang mampu bertahan, melainkan yang paling adaptif dalam merespons perubahan”, begitu teori survival of the fittest Charles Darwin (1809-1882). Teori klasik itu menemukan kebenarannya saat semua negara—kuat, lemah, kaya, miskin—lintang pukang oleh Covid-19.

Untuk Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober, FAO mengangkat tema ”Grow, Nourish, Sustain, Together”. Lewat tema ini, FAO hendak mengajak semua pihak merefleksikan ulang bagaimana makanan berpindah dari lahan pertanian ke garpu di meja makan kita. Selama ini, kita sering kali abai berapa ratus, bahkan ribuan, kilometer makanan ”jalan-jalan” dari tempat tumbuh hingga disantap. Kian jauh ”jalan-jalan”, kian tak berkelanjutan dan tak ramah lingkungan makanan yang kita santap.

Pola produksi, distribusi, dan konsumsi makanan kini telah bertransformasi luar biasa. Pengecer terus mengembangkan outlet dan sistem distribusi yang kian luas dan canggih. Namun, jarak tempuh yang amat jauh membuat makanan tidak efisien berdasarkan kalori dan tak berkelanjutan dalam jangka panjang. Ini karena jejak karbon (food miles) yang muncul akibat perjalanan yang kian jauh membuat aliran makanan (produksi-distribusi-konsumsi) kian tak ramah lingkungan.

Baca juga : Bangun Ketahanan Pangan

Lewat Hari Pangan, FAO mengajak menimbang ulang sistem pangan kita. Sekitar 7,7 miliar penghuni bumi kini bertumpu pada dua sistem pangan: jejaring pangan petani (the peasant food web) dan rantai pangan industri (the industrial food chain) (ETC Group, 2017).

Yang pertama mewakili deskripsi produsen skala kecil: petani, peternak, penggembala, pemburu, pengumpul, nelayan, serta produsen perkotaan dan pinggiran kota. Mereka bekerja tergantung musim dan kesempatan. Yang kedua mencakup rantai, dari gen, bibit, input agrokimia, produksi pangan-serat, trading dan pengolahan bahan mentah, pemrosesan dan manufaktur, hingga rak-rak di supermarket.

Baca juga : Perkuat Ketahanan Pangan, Petani Diminta Percepat Masa Tanam

Lewat riset intensif Who Will Feed Us?, ETC Group menaksir jejaring pangan petani menopang pangan 70 persen warga dan menghasilkan 70 persen makanan yang tersedia di bumi, dalam kalori dan berat.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/0w2ol6Krm5z2IYAaKd1XA1K8oK0=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2F85f5f068-8b64-4763-9065-889403db1b97_jpg.jpgKOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Ibu rumah tangga mengumpulkan daun jagung untuk pakan ternak di Desa Jogotirto, Berbah, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (29/9/2020). Hubungan kerja sama antara pemilik tanaman jagung dan pencari daun jagung bersifat saling menguntungkan karena dengan dikurangi daunnya, potensi perolehan hasil panen jagung bisa lebih maksimal. Pencari daun jagung pun dapat mencukupi kebutuhan pakan ternak mereka melalui pekerjaan itu.

Ini mencakup 3,5 miliar warga perdesaan (termasuk 2,7 miliar yang bergantung biomassa, terutama kayu bakar buat memasak), 1 miliar produsen pangan perkotaan, hingga ratusan juta warga yang bergantung pada penangkapan ikan. Padahal, mereka ini hanya menggunakan kurang dari 25 persen lahan pertanian, 10 persen energi fosil, dan 20 persen air.

Sebaliknya, rantai pangan industri yang dihela perusahaan transnasional raksasa, seperti Syngenta, Monsanto, dan Bayer, memanfaatkan lebih dari 75 persen lahan pertanian dunia, yang dalam prosesnya tiap tahun menghancurkan 75 miliar ton top soil dan menebang 7,5 juta hektar hutan.

Baca juga : Memastikan Petani Sejahtera

Rantai ini juga mengonsumsi 90 persen BBM fosil penyumbang emisi gas rumah kaca, mengonsumsi 80 persen air tawar. Lewat model pertanian berorientasi ekspor-industrial-monokultur yang mahal-ekstensif, korporasi global ini hanya menopang 30 persen pangan warga.

Riset ini tergolong provokatif sehingga memicu kontroversi. Salah satu kontroversi: kesimpulan 76 persen dari total kalori rantai pangan industri terbuang sebelum sampai ke piring kita. Hanya 24 persen yang dimakan. Sisanya tercecer di banyak tempat: transportasi, penyimpanan, dan pemrosesan.

Konsumen dan pemerintah juga terbebani biaya tak langsung supermahal untuk kesehatan dan pemulihan lingkungan, 12,37 triliun dollar AS. Belakangan, hasil riset ini tak hanya diterima akademikus dan lembaga di bawah PBB, tetapi juga diamini industri.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/qrZ9wlpQGMN1trEVBlRLQYhp1s0=/1024x731/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2F20200711_ARJ_industri_mamin_4_mumed_1594480935.png

Balikkan paradigma

Sebelumnya, kajian International Assessment of Agricultural Knowledge, Science and Technology for Development (IAASTD, 2008) menyimpulkan, model pertanian ekspor-industrial-monokultur bukan resep mujarab mengatasi kemiskinan dan kelaparan. Model tersebut menghancurkan lingkungan (air dan tanah), mengerosi keanekaragaman hayati dan kearifan lokal (pola tanam, waktu tanam, olah tanah, dan pengendalian hama), dan mengekspos warga pada kerentanan tak terperi.

Namun, menurut IAASTD, akar terdalam krisis pangan adalah pemerintah lupa mengurus sektor pertanian skala kecil, praktik aturan perdagangan yang tak adil, dan dumping negara maju.

Untuk mengikis kemiskinan, kelaparan, degradasi lingkungan, dan beradaptasi pada krisis, IAASTD menyarankan memperkuat pertanian skala kecil, meningkatkan investasi pertanian agroekologis, mengadopsi kerangka kerja perdagangan adil, memberi perhatian pada kearifan lokal, memberi peluang sama (kepada warga) agar berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, membalik akses dan kontrol sumber daya (air, tanah, modal) dari korporasi ke komunitas lokal, dan memperkuat organisasi tani—yang semua ini inti kedaulatan pangan.

Baca juga : Ketahanan Pangan Minus Kedaulatan

Mengapa pertanian skala kecil perlu perhatian khusus? Pertama, hingga kini 75 persen warga miskin ialah petani kecil. Porsi petani kecil di Asia 87 persen dan di Indonesia mencapai 58 persen. Menggenjot investasi pertanian skala kecil tak hanya memberi pangan dunia, tetapi juga menyelesaikan kemiskinan dan kelaparan.

Kedua, hasil riset ekstensif menunjukkan, pertanian keluarga/kecil jauh lebih produktif daripada pertanian industrial karena mengonsumsi sedikit BBM, terutama jika pangan diperdagangkan di tingkat lokal/ regional (Rosset, 1999).

Ketiga, pertanian skala kecil dan terdiversifikasi mudah beradaptasi dan pejal (resilience), sekaligus model keberlanjutan yang ramah kearifan lokal dan keanekaragaman hayati. Keempat, pertanian skala kecil lebih ramah terhadap perubahan iklim (Altieri, 2008, 2020).

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/YWTTSAPv8g7al-IjJyh_YjouwsQ=/1024x644/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2Fde94160f-0e1d-4082-8d8f-1995b962d097_jpg.jpgKOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Para buruh tani memanen singkong di kawasan Curug, Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Minggu (31/5/2020). Harga singkong di tingkat petani sekitar Rp 4.000 per kilogram. Singkong itu dijual kepada industri kecil pembuatan tape di Depok. Singkong memiliki manfaat besar dan berpotensi digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan yang semakin meningkat di masa depan. Saat ini, sejumlah penelitian telah mengungkap besarnya protein yang berasal dari singkong. Endang Sukara dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, singkong memiliki potensi untuk membantu memenuhi kebutuhan protein masa depan.

Sudah lama diingatkan Hardin (1968) bahwa sumber daya publik (common pool resources) rentan overeksploitasi. Overeksploitasi itulah yang kini terjadi pada sistem pangan yang digerakkan oleh korporasi pangan global dengan orientasi ekonomi linier yang growth greedy. Sistem ini punya kaitan kuat dengan aneka persoalan lingkungan, seperti deforestasi, erosi biodiversitas, perubahan iklim, dan pencemaran akibat overeksploitasi.

Agar adaptif-resiliens, harus diinjeksikan paradigma ekonomi sirkular. Dalam konteks pangan, paradigma ini meminikan penggunaan sumber daya, limbah, emisi, dan energi yang terbuang dengan menutup siklus produksi-konsumsi dengan memperpanjang umur produk pangan, inovasi, pemeliharaan, penggunaan kembali, remanufaktur, dan upcycling (Kirana Jaya, 2020).

Bagi Indonesia, pengarusutamaan ini amat relevan. Pandemi Covid-19 membuktikan, sistem pangan kita kurang adaptif-resiliens. Karena pangan hanya bertumpu pada segelintir komoditas, produksi terkonsentrasi di sedikit wilayah, hilangnya budaya menanam hingga ke desa, dan overeksploitasi sumber daya berlebihan. Ini ”penyakit lama”, jauh sebelum Covid-19.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/XkaQHqSDtn5g1ZZjmTinrKaADyk=/1024x1416/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F01%2Fkompas_tark_12208527_23_0.jpegDOK PRIBADI

Khudori

Agar sistem pangan adaptif-resiliens, perlu pembalikan paradigma secara revolusioner: bertumpu pada diversitas produsen/ekonomi/ distributor pangan lokal, memperluas wilayah produksi, membudayakan kembali kebanggaan makan hasil tanaman sendiri, dan memperluas praktik egroekologi. Ekonomi yang digerakkan moral, etika, dan sustainabilitas lingkungan ini berpeluang menghadirkan sistem pangan yang adaptif-resiliens. Semoga. Wallahualam.

Khudori, Pegiat Komite Pendayagunaan Petani (KPP) dan Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan (2010-Sekarang)

  Kembali ke sebelumnya