Judul | Mengapa Pangan Lokal Masa Depan Kita |
Tanggal | 25 Mei 2021 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi IV |
Isi Artikel | KOMPAS/DEFRI WERDIONO Umbi talas merupakan salah satu jenis tanaman pangan lokal. Umbi ini dan juga beberapa jenis umbi lainnya yang mempunyai potensi tepung besar tengah dikembangkan oleh Balai Penelitian Aneka Tanaman Kacang dan Umbi Malang, Jawa Timur. Foto diambil pada 12 Agustus 2020. Menghadapi masalah pangan kita, diskursus berkembang ke dua alternatif, yaitu kawasan pangan dan pangan lokal. Keduanya memiliki implikasi sosial, ekonomi, dan ekologi luar biasa. Kawasan pangan cenderung membuka hutan. Sebaliknya, pangan lokal menjadi bagian penting bagi perhutanan sosial serta mendukung ekonomi lokal bahkan aksi tanggap iklim dunia. Benarkah dunia kekurangan produksi pangan? Asumsi tersebut telah diobrak-abrik analisis baru (J Latham, 2021, The myth of a food crisis. In Rethinking Food and Agriculture). Buktinya, antara lain, dalam pertanian global, harga produk pertanian cenderung rendah (mengindikasikan surplus). Berdasar bukti-bukti baru, berbagai model serta asumsi permintaan dan penawaran produk pertanian, yang diadvokasikan oleh Global Agriculture Perspectives System (GAPS) kini dipertanyakan. Pertama, minyak nabati sangat dipengaruhi upaya lobi (korporasi). Kedua, sistem pertanian dipengaruhi keuntungan dan subsidi (bukan berdasar nutrisi per satuan luas). Ketiga, GAPS cenderung memperkirakan potensi hasil pertanian terlalu rendah. Keempat, produksi tahunan global sering kali tertumpuk sehingga membusuk di gudang, tetapi ternyata tidak diperhitungkan. Baca juga: Manfaatkan Keberagaman Pangan Lokal Kebijakan kawasan pangan di kawasan hutan Indonesia diharapkan memenuhi kekurangan produksi pangan di Indonesia. Namun, itu bukanlah pandangan kritis. Walhi (2020) memberi peringatan bahwa pembukaan lahan cenderung meningkatkan laju deforestasi, mengancam hutan lindung, bahkan keberlanjutan wilayah kelola rakyat. Selanjutnya, sentralisasi pengelolaan pangan akan menimbulkan tantangan distribusi, kemudian meningkatkan biaya rantai pasok. Dalam situasi pandemik, distribusi lebih terkendala.
Monokultur melemahkan daya lenting pangan lokal. Contohnya, kelaparan berulang di Yahukimo. Kelaparan terjadi ketika masyarakat tidak lagi mengonsumsi umbi-umbian sebagai pangan lokal, yang digantikan beras. KOMPAS/RIZA FATHONI Pedagang umbi-umbian di Pasar Kramatjati, Jakarta Timur. Foto diambil pada 26 Februari 2018. Dahsyatnya pangan lokal Sagu, sorghum, dan umbi-umbian yang merupakan pangan lokal sangat penting pada tingkat tapak. Berpatokan data Flach (1997) yang mengungkapkan Indonesia memiliki 1.250.000 hektar lahan sagu atau separuh lahan sagu dunia, Yayasan Kehati bersama Climate Reality Project (2021) mengadvokasikan pentingnya sagu menjadi pangan Indonesia, bahkan dunia. Djoefrie (2014) bahkan memperkirakan Indonesia memiliki 5,5 juta hektar lahan sagu, atau 85 persen sagu dunia. Baca juga: Sagu Papua, Sumber Pangan Terabaikan Hutan tropis mampu menyediakan pangan berlimpah. Mangga, durian, dan buah-buahan bernutrisi tinggi, rebung bambu berserat, pakis memberikan karbohidrat kompleks ataupun minyak dasar. Laporan High Level Panel of Experts on Food Security and Nutrition pada 2017 memberikan panduan sangat bagus bagaimana pemerintah dan masyarakat dapat bekerja sama mewujudkan keamanan pangan dari hutan.
Hal yang sering tidak dilirik orang adalah mikroba (jasad renik), misalnya jamur dan khamir. Mikroba sangat berpotensi, baik sebagai sumber protein bersel tunggal (single cell protein) maupun dalam bentuk koloni berupa jamur yang dapat dimakan (macroscopic, edible mushroom). Di satu lokasi (kawah Kamojang) saja tidak kurang dari 35 spesies jamur dapat dimakan, dan baru 10 spesies dikonsumsi masyarakat setempat (PF Arko Dkk, 2017). Tak terbayangkan biaya kesempatan ini bila lahan diubah menjadi monokultur Mitigasi dan adaptasi kebencanaan Sampul cerita (cover story) majalah Time edisi 26 April 2021: bumi yang sedang terbakar oleh perubahan iklim. Mengingat gas rumah kaca seperti CO2 tidak akan terurai dalam kurun waktu 50–250 tahun, perubahan iklim adalah kebencanaan yang lebih besar dari Covid-19. Di belakang perubahan iklim akan menanti keruntuhan ekosistem, yang siap menghantam segenap lapisan kehidupan bumi (Jonsson dkk, 2015, Oikos) Bayangkan, apa yang terjadi bila berbagai burung dan lebah penyerbuk punah. Pembiakan tanaman termasuk yang bernilai ekonomi akan terhenti. Di dunia, jasa polinasi bagi tanaman ekonomi saja bernilai tidak kurang dari 195 miliar dollar AS (Bauer & Wing, 2016). KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA Lebah yang terbang dan berkerumun di sekitar sarang mereka di Desa Asinan, Kecamatan Bawen, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Senin (23/11/2020). Keberadaan koloni lebah ini membantu penyerbukan tanaman buah-buahan di sekitarnya. Kedahsyatan pangan lokal adalah mereka dapat mengerem (memitigasi) sekaligus menyesuaikan diri (beradaptasi) terhadap perubahan iklim. Contohnya, tumbuhan pangan lokal di bawah naungan (shade loving) memperkuat justifikasi bagi konservasi hutan alam. Sagu bahkan pada lahan gambut sekalipun mampu menyerap karbon 1–4 ton per hektar per tahun (Watanabe dkk, 2016).
Terkait adaptasi, berdasar penilaian Kehati (2020), sorghum, seperti halnya sagu, mampu menyesuaikan pertumbuhan pada cuaca dan iklim tidak menentu. Sementara itu, untuk monokultur tanaman pangan akan dibutuhkan plasma nutfah yang sangat intensif termasuk rekayasa biologi yang sangat mahal untuk mendapatkan kemampuan beradaptasi seperti itu. Baca juga: Ragam Pangan Lokal Dikaji Kebijakan perhutanan sosial sangat penting. Di dalamnya terdapat berbagai insentif membangun hutan-kebun (agroforest) yang lebih peka akan kearifan ekologis lokal bahkan ekonomi yang berkelanjutan serta berpihak pada masyarakat setempat. Betapa indah dan kuatnya keberagaman. Sementara bumi ini hanyalah pinjaman dari generasi mendatang, pangan lokal adalah masa depan kita. (Mochamad Indrawan, peneliti ekologi pada Pusat Riset Perubahan Iklim – FMIPA, Universitas Indonesia) |
Kembali ke sebelumnya |