Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Harum Liberika dari Tanah Gambut
Tanggal 31 Oktober 2020
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi IV
Isi Artikel

Menjadi transmigran di tanah Kalimantan sungguh tidak mudah. Transmigran harus berhadapan dengan alam yang keras. Tak seperti tanah di Jawa yang dengan mudahnya ditanami apa saja, di Kalimantan mereka harus berjibaku dengan gambut untuk bertahan hidup. Namun, Iin Darwati dan tujuh anggota kelompok taninya di pedalaman Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, menaklukkan gambut dengan berinovasi lewat kopi liberika.

Pada Senin (21/9/2020), Salimah (52) memanen kopi liberika (Coffea liberica) di kebunnya. Sambil memanen biji kopi merah itu, ingatannya terlempar ke tahun 1982, saat dirinya dan keluarga baru saja pindah dari Jawa Timur ke Desa Gandang Barat, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, tempat ia tinggal saat ini.

Baca juga : Nikmat Kopi Liberika Lahan Gambut

Ingatan yang paling melekat adalah hari ketika mereka gagal panen. Padi yang ditanam di lahan seluas 1,5 hektar atau hampir dua kali ukuran lapangan sepak bola itu tak berisi, gagal. Ia dan keluarga akhirnya meneruskan makan gaplek, makanan dari singkong.

”Ya mau menangis saja enggak bisa sebab kami bingung, tanah gambut maunya diapain. Akhirnya harus dibakar sampai habis gambutnya, tapi butuh 3-4 tahun sampai benar-benar bisa panen padi,” kata Salimah.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/G304Elys5zzunib0J_caKj7NFhk=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2F20200921IDO_Kopi_Liberika5_1600688953.jpgKOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Ibu-ibu dari Kelompok Usaha Perempuan Bersama Bisa  memilih biji kopi terbaik sebelum biji dipanggang, Senin (21/9/2020).

Salimah mengingat saat itu, setelah setahun tinggal di tanah gambut Borneo, para transmigran dibekali benih kopi liberika yang katanya tahan di beragam jenis tanah. Ayahnya pun mulai menanam semua benih.

Hasilnya, semua tumbuh dan berbuah dengan baik. Kopi kemudian menjadi komoditas andalan mereka, tak hanya untuk konsumsi sendiri, tetapi berhasil dijual di pasar sekadar untuk membeli beras 1 liter saat itu bisa didapat. Beberapa tanaman kopi itu hingga kini masih bertahan, tingginya hampir mencapai 4 meter. Lebih tinggi dari jenis kopi lainnya.

Selang 38 tahun kemudian, kopi liberika di tanah gambut mulai ditinggalkan. Sebagian besar warga transmigran beralih ke komoditas karet dan sawit. Namun, generasi pertama transmigran masih setia dengan kopi.

Baca juga : UKM di Kalteng Bersiasat untuk Bertahan Saat Pandemi

Budidaya kopi pun dilanjutkan ke generasi selanjutnya. Anak Salimah, Iin Darwati, kemudian membentuk Kelompok Usaha Perempuan Bersama Bisa yang didampingi oleh Lembaga Kemitraan dan didukung dalam program revitalisasi ekonomi dari Badan Restorasi Gambut RI. Kelompok itu hanya beranggotakan tujuh orang. Tak banyak, tetapi semuanya aktif dan sangat produktif.

Mereka mengubah bengkel tambal ban di depan rumah Iin menjadi rumah produksi mereka. Di bagian belakang terdapat beberapa kompor lengkap dengan alat panggang kopi. Lalu, terdapat beberapa kotak-kotak kemasan siap pakai. Di dinding yang terbuat dari setengah tembok semen itu ditempeli ”contekan” atau rumus menyangrai kopi, mulai dari ketentuan berat hingga besarnya suhu panas.

”Iya, tapi kami belum punya alat pengukur suhu, jadi pakai perasaan saja, dikira-kira panasnya. Makanya kalau dilihat, memang terkadang warna hitamnya tiap kemasan berbeda,” kata Iin sambil tersenyum.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/0JBGYv4_IwJXL9zvgwzYoY0Gayg=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2F20200921IDO_Kopi_Liberika7_1600688928.jpgKOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Biji kopi liberika seusai disangrai oleh Kelompok Usaha Perempuan Bersama Bisa di Desa Gandang Barat, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, Senin (21/9/2020).

Alhasil, sejak 2019, begitu banyak pesanan dari beberapa wilayah di Kabupaten Pulang Pisau, bahkan luar daerah. Ibu kota Provinsi Kalteng, Kota Palangkaraya, juga menjadi langganan dari kopi liberika milik kelompok tani perempuan tersebut yang merek kopinya bernama Kopi Petak Sahep. Petak Sahep merupakan bahasa Dayak Ngaju yang artinya tanah gambut.

Dalam sebulan, mereka mampu menjual 10-15 kilogram kopi liberika dan robusta yang sudah masuk dalam kemasan. Pembelinya dari kafe-kafe di ibu kota. Kemasan 200 gram dijual dengan harga Rp 30.000, sedangkan ukuran 250 gram dijual dengan harga Rp 35.000.

”Kalau ada acara kunjungan pejabat ke desa atau acara di kabupaten itu, banyak yang memesan kopi kami, katanya rasanya beda sama kopi lain,” ucap Iin.

Pukulan pandemi

Saat bisnis mereka mulai menggeliat, kemasan per kemasan terjual, pelanggan mulai mengantre, ujian pun datang menghampiri saat pandemi Covid-19 tiba. Beberapa kali, pemerintah melaksanakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), membuat para pelanggan berhenti memesan kopi.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/XsucHNI0NvNxwxTvxNP3pH7lsIA=/1024x1024/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F03%2FTransmigran_88486768_1585664650.jpgKOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Transmigran di Desa Gandang Baru, Kabupaten Pulang Pisau, mengolah kopi di tanah gambut sejak mereka datang pada 1982. Kopi liberika menjadi salah satu jenis yang paling banyak ditanam meski saat ini sebagian besar diganti dengan karet dan sawit oleh generasi penerus.

Kafe dan warung kopi pun mulai tutup. Sebagian besar malah bangkrut. Tak ada pengunjung, sebagian besar warga memilih berada di rumah saja dan mengurangi aktivitas di luar rumah.

Sejak Maret hingga Agustus pelanggan dari luar desa yang mayoritas dari warung kopi dan juga kafe tak lagi membeli kopi yang mereka buat. Penurunan produksi pun mencapai 60 persen. Biasanya mereka mampu menjual 10-15 kilogram dalam sebulan, tetapi kali ini hanya bisa menjual 5-6 kilogram.

Baca juga : Warga Kehilangan Pekerjaan di Palangkaraya Mulai Berani Berwirausaha

Iin mulai mencari ide mengatasi masalah itu. Mereka pun memutuskan untuk membuat kemasan yang lebih kecil setelah beberapa warung di sekitar desa masih berjualan. Kemasan itu dibuat dengan ukuran 80-90 gram per kemasan yang dijual dengan harga Rp 10.000 per kemasan.

”Ternyata banyak yang suka. Kami senang sekali karena ini bisa menyelamatkan usaha kami yang tadinya hampir hilang karena pandemi,” ujar Iin.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/v03Vr-7apKyanp5Gl0RjHlDpeWI=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2F20200921IDO_Kopi_Liberika6_1600688829.jpg

Menjaga gambut

Iin dan tujuh anggota kelompoknya didampingi oleh Lembaga Kemitraan yang didukung oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) RI. Mereka mendapatkan paket revitalisasi ekonomi sebagai bagian dari program Desa Peduli Gambut (DPG).

Potensi dari tiap desa dampingan dikembangkan sebagai bagian dari revitalisasi ekonomi. Tujuannya banyak, tetapi salah satunya untuk mencari alternatif lain para petani agar mengurangi kebiasaan membakar lahan gambut untuk bertani. Meski sulit, hal itu cukup efektif mengurangi kebiasaan membakar.

Direktur Program Sustainable Governance Lembaga Kemitraan Hasbi Berliani mengungkapkan, paket revitalisasi ekonomi menonjolkan potensi lahan gambut di desa-desa tempat lokasi restorasi gambut di Indonesia. Salah satu tujuannya adalah memberikan akternatif mata pencarian kepada masyarakat yang hidup di sekitar lahan gambut.

”Ini juga bagian dari mengurangi karhutla (kebakaran hutan dan lahan). Tak hanya itu, dalam program tersebut ada juga pelatihan pembukaan lahan tanpa bakar,” kata Hasbi.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/a5mWYhs7KoFg0O_LNvUiptoCtsY=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2FDSC04079_1601021975.jpgKOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO

Beberapa produk kopi liberika merek Petak Sahep dari Desa Gandang Barat, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng.

Sejak dilanda kebakaran hebat tahun 2015, pemerintah kemudian membentuk BRG RI untuk merestorasi gambut di tujuh provinsi, yakni Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Papua. BRG RI kemudian bermitra dengan Lembaga Kemitraan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di desa dalam menjaga lahan gambut.

Tahun 2018, di Kalteng, Lembaga Kemitraan kemudian membentuk fasilitator desa dengan total 46 fasilitator desa di enam kecamatan dan 46 desa/kelurahan. Setahun kemudian, ada penambahan satu desa di Kabupaten Kapuas. Tahun ini terdapat penambahan 29 desa/kelurahan di lima kabupaten.

Hidup di tengah ladang gambut tidak berarti sepenuhnya susah. Terutama bagi mereka yang mau berupaya untuk mengelolanya dengan tepat. Seperti Kelompok Usaha Perempuan Bersama Bisa yang menguarkan harum kopi liberika dengan ”Kopi Petak Sahep”. Gambut dengan keunikannya memberikan hasil yang unik pula pada mereka yang berusaha.

  Kembali ke sebelumnya