Judul | Menjumpai Dewi Sri pada Hari Tani |
Tanggal | 26 September 2021 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi IV |
Isi Artikel | KOMPAS Didie SW Sekitar 50 tahun silam masyarakat Indonesia memperingati Hari Tani Nasional, 24 September, dengan perhelatan kebudayaan dan pentas kesenian. Tradisi itu kini hanya menjadi kenangan. Pada 24 September masyarakat Indonesia selayaknya merayakan Hari Tani Nasional dengan kegembiraan khusus. Tapi entah kenapa tradisi yang memuliakan para petani ini tidak memperoleh tempat dalam keramaian perhelatan. Sehingga apabila dibandingkan, akan kalah belaka dengan perayaan Hari Anak Nasional atau Hari Tentara Nasional, misalnya, yang selalu diisi dengan kemeriahan. Hari Tani Nasional pertama kali diumumkan pada 1963, ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Keppres No.169/1963. Keppres ini ditetapkan untuk menegaskan terbitnya UU No.5/1960 yang berisi pokok-pokok aturan Agraria, yang mengamanatkan pelaksanaan reforma agraria. Sungguhpun Hari Tani Nasional bermuatan aspirasi konseptual hukum agraria negara, masyarakat Indonesia pernah menerjemahkannya sebagai “hari kebudayaan”. Sehingga seremoni yang diselenggarakan pada sekitar hari itu diisi dengan perhelatan kebudayaan. KOMPAS/MEGANDIKA WICAKSONO Sebanyak 60 anak-anak dan remaja menari dalam Sendratari Dewi Sri yang digelar di Desa Wlahar Wetan, Banyumas, Jawa Tengah, Minggu (19/8/2018). Dewi Sri merupakan sosok dewi kemakmuran dan kesuburan. Keramaian itu terjadi pada 1964 sampai tahun 1970-an. Meski sesungguhnya sebagian besar materi budaya yang dihelatkan itu sudah sangat lama ada. Sehingga keberadaannya di Hari Tani Nasional merupakan penggeseran dari momentum pementasan saja. Yang menarik, perhelatan budaya itu hampir semua mengangkat Dewi Sri - figur jelita penghibah tanaman padi bagi para petani Nusantara - sebagai ikon. Dan Dewi Sri diunggah dalam berbagai lakon! Di daerah Banyuwangi, Jawa Timur, umpamanya, penghormatan atas Dewi Sri dipresentasikan lewat tarian “Ratu Sabrang”. Dalam pentas itu penjoged (penari seblang) yang sudah kejiman atau kerasukan ruh Dewi Sri turun panggung untuk mendekati penonton. Dan penonton yang tersentuh ujung selendang Dewi Sri diharuskan naik ke panggung untuk menari. Pada saat inilah musik “Ratu Sabrang” riuh dimainkan, dengan tetabuhan yang (konon) menebarkan bibit-bibit unggul pepadian. Pada perkembangannya, tari ini dikorelasikan dengan “Tari Gandrung”, yang hampir selalu dipentaskan pada saat pasca panen. GALNAS FOR KOMPAS Lukisan Soedibio berjudul "Dewi Sri" Masyarakat Kasepuhan di Jawa Barat melakukan dengan cara yang berbeda. Pada masa itu mereka menggelar upacara pupuhunan : pembuatan sebuah gubuk kecil di tengah sawah untuk Nyi Pohaci Sanghyang Sri atau Dewi Sri. Pupuhunan adalah simbol rumah penjaga sawah dari awal penanaman dan akhir pemanenan. Ucapan terimakasih kepada Nyi Pohaci diungkapkan lewat perhelatan musik alu-lesung (alat penumbuk padi) yang dimainkan para perempuan di halaman kediaman Kepala Desa, pada 24 September. Bunyi dung dang ding ding dung, dung dang ding ding dung tersusun manis dalam komposisi. Konon, ketika mendengar musik alu-lesung ini Nyi Pohaci alias Dewi Sri tersenyum dan bahkan menari-nari di langit tinggi! Masyarakat Bali di sejumlah desa dulu juga merayakan itu dengan melakukan doa untuk Dewi Sri di persawahan. Sementara perhelatan spesial yang berkonteks dengan Hari Tani Nasional diungkap lewat upacara Galungan dan Kuningan, tradisi berabad yang datangnya (bisa) tidak pada 24 September. Penghormatan kepada jagad pertanian itu terlihat dalam berbagai ragam hias yang digubah, seperti penjor yang disemati berbagai hiasan berbentuk lambang hasil pertanian, seperti bebanten dan cili-cili. Sementara pada persiapan Galungan, masyarakat membuat hiasan yang digubah dari beras dan nasi. Sejajaran hiasan yang semata untuk menjunjung Dewi Sri. KOMPAS/ANGGER PUTRANTO Patung gandrung berbahan gerabah (terakota) ditata di tengah sawah di dalam kawasan Taman Gandrung Terakota, Banyuwangi. Patung Gandrung tersebut sengaja ditata di tengah sawah karena kedekatan bahan tanah liat dan makna filosofis tarian Gandrung yang merupakan pujian bagi Dewi Sri sebagai dewi kesuburan. (22/9/2019) Entah kenapa, semua perhelatan kebudayaan yang pernah terhubung erat dengan Hari Tani Nasional itu lenyap dari pergunjingan masyarakat Indonesia. Yang ada kini akhirnya hanyalah upacara formal, yang bermuara dengan laporan pencapaian dan pemaparan program. Zaman memang telah berubah, sehingga keanggunan Dewi Sri bisa saja tertumpuk lembar-lembar aturan menteri. Tetapi mitos agung Dewi Sri yang tak henti menghadiahkan padi, dan setiap hari menawarkan nasi, selayaknya terus disimpan dalam ingatan. Apalagi legenda kelahiran dan kemuliaan Dewi Sri, seperti yang terkisah di dibawah ini, tak kurang-kurangnya menarik perhatian. Antaboga dan Telur Mustika Alkisah pada suatu kali Batara Guru mendadak memerintahkan para dewa untuk membangun istana megah di kahyangan. Di antara para dewa yang sibuk itu terbilanglah Antaboga. Dewa berbentuk ular ini mengadukan nasibnya kepada Batara Narada : “Bagaimana saya bisa memenuhi perintah Batara Guru, kalau tangan dan kaki saja saya tidak punya?!” Narada lalu menyadarkan Antaboga bahwa takdir sekali waktu memang menemukan nasib buruknya, namun di kali lain akan menjumpai nasib baiknya. Jadi, apapun yang bisa dilakukan, lakukanlah. Dan apa yang akan terjadi, terjadilah. Que sera sera! Mendengar nasehat Narada yang menyentuh, Antaboga terharu dan airmatanya menetes ke tanah. Tetesan-tetesan itu menyatu jadi sebuah bulatan indah sebesar telur onta. Karena berkilau bagai mustika, Antaboga ingin memberikan telur airmata itu kepada Batara Guru. Sekalian sebagai permintaan maaf atas ketidakmampuannya bekerja. KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO Warga mengarak hasil panen dalam acara gelar budaya tani Mbok Sri Mulih di Desa Delanggu, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Sabtu (29/9/2018). Selain menjadi wujud penghormatan terhadap Dewi Sri sebagai dewi kesuburan, acara tersebut juga untuk mengobarkan semangat petani setempat dalam mempertahankan kawasan itu sebagai daerah penghasil beras. Batara Guru terpesona melihat telur itu. Ia meyakini pasti di dalam telur ada bibit yang istimewa. Ia pun menyuruh Antaboga untuk mengeraminya. Telur itu akhirnya menetas dan memunculkan sesosok bayi perempuan. Bayi itu dibesarkan oleh Antaboga, sampai akhirnya tumbuh sebagai puteri nan cantik jelita. Puteri itu dinamai Dewi Sri. Menatap kecantikan Dewi Sri, eh, Batara Guru terpana, dan memaksa Dewi Sri jadi isterinya. Pada arena lain para dewa ternyata juga ingin menyunting Dewi Sri. Lalu berebutlah mereka. Seperti halnya prinsip rebutan layangan putus di Indonesia : agar tak ada satu pun yang memiliki Sri, maka puteri jelita ini diracuni sampai mati. Jasad Sri lantas dikubur di sehampar padang luas. Beberapa waktu setelah itu jagat kahyangan menyaksikan keajaiban. Seusai musim penghujan, padang yang semula kering kerontang itu menjadi hijau, dengan ditumbuhi 999 varietas padi. Dari Intani, Rokan, Bernas Prima, Inpari sampai Batutegi. Lalu pada suatu siang nan terik terdengar suara merdu di langit raya. “Sesungguhnya para dewa telah tuntas membuat diriku tiada dan jadi moksa. Tapi kebaikan belaka yang akan aku berikan, kepada siapa saja! Aku Dewi Sri, Dewi Padi. Dewi para petani!” Dewi Sri pun menyatakan kehadirannya. Dewi Sri Menyamar di India Maka sejak itu padi berusaha ditanam di mana-mana, sambil nama Dewi Sri, Dewi Kesuburan, Dewi Pangan, digumamkan di semua kala. Lalu kita pun difahamkan bahwa sang padi (Orysa sativa) akhirnya jadi bahan makanan pokok bagi hampir seluruh masyarakat Indonesia. Di negeri ini terdapat sekitar 8.000 jenis padi. Itu lantarannya hampir setiap hamparan yang subur di Nusantara ini selalu ditanami padi. Dan setiap daerah, sesuai dengan tanahnya, memiliki jenis padi sendiri. Kapan persisnya penduduk Nusantara menanam padi dengan tujuan membudidayakan, tak diketahui dengan persis. Namun diketahui bahwa pada abad ke-8 orang-orang Jawa baru menanam padi di sawah, yang menghasilkan panen berlimpah. Sebelumnya padi ditanam di ladang. KOMPAS Dewi Sri dan Dewa Sadhono menjadi tokoh sentral dalam Pagelaran Wayang Kontemporer Tengah Sawah oleh dalang Ki Ompong Soedharsono, Jumat (27/11/2020) di Desa Terung Wetan, Kabupaten Sidoarjo. Pagelaran ini mengambil tema Matur Sujud Syukur Dumating Gusti Kang Moho Agung. Rasa syukur itu disampaikan karena berkah panen padi yang berlimpah. Kemurahan Dewi Sri ini pula yang kemudian mengubah Jawa menjadi pulau padi ternama. Menurut catatan Jonathan Rigg, ahli geografi dari University of Durham, Jawa pada abad ke-10 telah menjadi eksportir beras dalam jumlah besar ke berbagai negara. Pada abad ke-15 dilaporkan bahwa Ma Huan, sekretaris Laksamana Cheng Ho dari Dinasti Ming, menulis dengan takjub bahwa di Jawa “orang memasak beras dua kali setahun”. Ini anugerah pertanian yang bukan main mengingat di negerinya padi hanya bisa dituai sekali dalam setahun. Pada masa itu, lewat pelabuhan Jepara, Jawa dikabarkan mampu mengapalkan ratusan ton beras ke negara-negara Asia Tenggara. Sebelum akhirnya ekspor ini terganggu oleh bangsa Portugis dan Belanda yang datang ke Nusantara. Dikabarkan, di kapal pengangkut beras itu berdiri patung Dewi Sri. Perayaan syukuran atas hasil panen padi ternyata bukan milik masyarakat Indonesia saja. Di India ada perayaan Hari Divali yang jatuh pada pertengahan Oktober, atau akhir musim gugur. Pada hari-hari itu mereka membuat pesta lampu. Seluruh gedung dan rumah dibikin gemerlap di bagian luarnya, sehingga ketika malam tiba terciptalah pemandangan swargaloka. ARSIP PRIBADI Agus Dermawan T Perayaan itu untuk memuja Dewi Laksmi, Dewi Kemakmuran yang pada hari-hari itu turun ke bumi dengan mengendarai Angsa Langit. Banyak yang menduga Dewi Laksmi itu adalah Dewi Sri yang menyamar di India. Soalnya, konon kecantikannya mirip!* Agus Dermawan T. Penulis Buku-buku Budaya dan Seni. |
Kembali ke sebelumnya |