Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Amarah Petani Kala Padi Kurang Gizi
Tanggal 14 Januari 2021
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi IV
Isi Artikel

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/JI4cFkIpigsj23yVtRmIql6vtBA=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2Fdd53ca2f-d191-476c-9a08-932303e62e2e_jpg.jpgKOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Petani mengangkut pupuk bersubsidi di sebuah kios di Kecamatan Panguragan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Rabu (6/1/2021). Petani mengeluh kesulitan pupuk bersubsidi meski usia padinya telah lebih dari 20 hari.

Di zaman yang tidak mudah ini, pupuk bersubsidi semakin dicari petani. Ketika  sulit didapat, mereka rentan berkelahi dan padi pun kurang gizi.

Pagi baru saja datang saat H Amrin (45), pemilik kios pupuk, didatangi belasan petani di rumahnya di Panguragan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Rabu (6/1/2021). Mereka menggegarkan pagar sambil berteriak mencari pupuk bersubsidi. Amrin yakin, hari itu bakalan terasa panjang dan tidak mudah baginya.

Pengumuman di depan rumah bertuliskan ”Maaf!!! Kios pupuk tutup sementara. Mohon maaf atas ketidaknyamanannya” tidak dihiraukan. ”Saya dimaki-maki. Kios diancam mau dibakar. Kalau ada provokator, kami bisa hancur,” ucapnya.

Tidak jauh dari rumahnya, Kuwu (Kepala Desa) Gujeg, Kecamatan Panguragan, Susmaya sedang menyesap wedang panas ketika sejumlah petani menggebrak mejanya. ”Saya dilempari kartu tani. Kata mereka, kartunya enggak berguna,” katanya.

Susmaya tidak melawan. Ia mafhum, warganya marah karena kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi saat tanaman padinya sudah berusia lebih dari 20 hari. Artinya, padi telat diberi ”makan” lebih dari sepekan. Bisa dibayangkan kalau manusia jadi padi. Kurang gizi.

Susmaya pun mendatangi kios Amrin. Beruntung, polisi dan TNI telah berjaga. Para petani, sejumlah kepala desa, petugas Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon, dan Amrin pun duduk bersama.

Amrin mengatakan, 9 ton pupuk urea di kiosnya tidak cukup dengan kebutuhan petani dari tiga desa, yakni Gujeg, Panguragan Kulon, dan Panguragan Wetan. Luas sawah di daerah itu mencapai 479 hektar.

Jatah pupuk bersubsidi untuk setiap hektar sebanyak 1 kuintal. Artinya, dalam setahun, kebutuhan pupuk di daerah itu mencapai 47,9 ton. Untuk musim tanam rendeng atau pertama, kebutuhan pupuknya adalah 23,9 ton.

Ia tak tahu mengapa kiosnya baru menerima 9 ton. Kiosnya hanya mendapatkan pupuk dari distributor. Jumlahnya pun disesuaikan dengan rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK).

Baca juga: Alokasi Berkurang, Petani di Cirebon Berebut Pupuk Bersubsidi

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/TQ1Ba1Q_uekIqJID3FgghjK4gC0=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2Fbe1037c2-0429-46f6-96fa-77ea7d86f822_jpg.jpgKOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Petani menunjukkan kartu tani di sebuah kios di Kecamatan Panguragan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Rabu (6/1/2021). Meskipun telah memiliki kartu tani, petani mengeluh belum bisa membeli pupuk bersubsidi karena jumlahnya sedikit.

Selain itu, Amrin juga belum memiliki mesin electronic data capture (EDC) sebagai alat transaksi pembayaran pupuk bersubsidi dengan kartu tani. Digitalisasi layu sebelum berkembang. Berbagai persoalan itu pun diselesaikan dengan solusi instan.

Untuk meredam marah, setiap petani akhirnya boleh membeli satu karung berisi 50 kilogram urea. Pembayarannya manual, tanpa menggesek kartu tani. Syaratnya, ada kartu tani, kartu tanda penduduk, dan terdaftar dalam RDKK.

Seketika petani berdesak-desakan membeli pupuk. Imbauan menjaga jarak dan mencuci tangan di masa pandemi ditinggalkan. Beberapa petani bahkan tidak mengenakan masker. Tidak kebagian pupuk sepertinya lebih menyeramkan ketimbang penyebaran Covid-19.

Petani langsung mengangkut pupuk dengan sepeda motor dan sepeda tua. Setua petaninya. Beberapa mulai tersenyum, tetapi tidak sedikit pula yang masih cemberut. Mereka kesal karena hanya mendapat sedikit dibandingkan dengan kebutuhannya.

”Saya cuma dapat 1 kuintal pupuk. Butuhnya 1,5 ton,” ucap Jahari (55) dengan nada suara tinggi. Bapak tiga anak ini tidak dapat menyembunyikan amarahnya. Padinya yang berusia 18 hari belum juga dipupuk. Tanpa pupuk, padinya tak tumbuh.

Padahal, modalnya lebih dari Rp 20 juta sudah habis untuk menyewa 5 hektar sawah. Ini belum termasuk biaya traktor Rp 800.000 per hektar. Kesulitan pupuk bersubsidi ini adalah yang terparah selama ia bertani.

Faijin (48), petani lainnya, mengatakan tidak mampu membeli pupuk nonsubsidi yang harganya jauh lebih mahal. Sebagai contoh, pupuk urea bersubsidi Rp 225.000 per kuintal. Sedangkan nonsubsidi berkisar Rp 600.000 per kuintal.

Dengan lahan garapan 1,5 hektar, ia membutuhkan pupuk urea 4,5 kuintal. Jika membeli pupuk nonsubsidi, ia menghabiskan Rp 2,7 juta. ”Saya enggak sanggup. Anak saya saja kemarin butuh Rp 1,5 juta untuk masuk ke pondok pesantren. Uang saya semua dari sawah,” kata bapak dua anak dan tiga cucu ini.

Digitalisasi layu sebelum berkembang. Berbagai persoalan itu pun diselesaikan dengan solusi instan.

Ironi

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/tr9eGbwq4MKMd8snr3rlZelmKPI=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2F2adaf09f-4892-4a6c-86d4-9e601b42cf49_jpg.jpgKOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI

Baria (depan) dan Kasan, petani, menunjukkan padi berusia 10 hari setelah tanam yang belum dipupuk, di Desa Getasan, Kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Selasa (29/9/2020). Petani setempat sulit mendapatkan pupuk bersubsidi. Penyebabnya, alokasi pupuk bersubsidi dari pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Pupuk urea bersubsidi, misalnya, dialokasikan 23.011 ton. Padahal, kebutuhan petani mencapai 25.021 ton.

Kesulitan pupuk bersubsidi seperti ironi saat pemerintah mendorong petani mempercepat musim tanam. ”Biasanya, kami mulai tanam akhir Januari. Tetapi, sekarang akhir Desember. Harapannya bisa mengejar musim tanam kedua pada April. Kalau terlambat, kami tidak kebagian air,” kata Susmaya.

Kini, masalah pupuk bisa mengancam produksi petani. Setiap tahun, Cirebon mampu menghasilkan sekitar 350.000 ton beras dan dikirim ke beberapa daerah. Susmaya meminta tata kelola pupuk bersubsidi dibenahi.

Di daerahnya, misalnya, sebagian besar petani merupakan penggarap dan berpindah lahan. Sebab, pemilik lahan akan memilih petani yang mau menyewa dengan harga tinggi. Petani yang sebelumnya menggarap lahan itu pun menganggur bersama kartu taninya.

Sementara petani yang baru menggarap harus mengurus kartu tani lagi. Petani yang tadinya sibuk di sawah harus berhadapan dengan berbagai hal administratif. Belum lagi kalau kartu taninya rusak dan harus diurus ke bank.

Kesulitan juga dihadapi petani di Karawang, lumbung padi nasional lainnya di Jabar. Asep (40), Ketua Kelompok Tani Tirta Berkah Desa Ciranggon, Karawang, mengatakan, petani tidak hanya sulit mendapatkan pupuk di kios, tetapi juga cara pembeliannya ribet. ”Kartu tani belum berfungsi. Jadi, kami beli pupuk pakai fotokopi KTP dan kartu keluarga serta bawa uang tunai,” katanya.

Kesulitan pupuk bersubsidi yang berlangsung sejak Agustus lalu, lanjutnya, bakal menambah beban produksi petani. Apalagi, tanaman padi rentan rebah saat musim hujan seperti sekarang. Akhirnya, petani rentan merugi karena harga jual gabah kerap jatuh saat panen raya. Belum lagi kualitasnya menurun karena lama diguyur air hujan.

Menurut Asep, program pupuk bersubsidi dari pemerintah sebaiknya dialihkan pada peningkatan harga gabah. ”Dengan demikian, beban ongkos yang dikeluarkan sebelumnya bisa ditutup dengan harga gabah yang tinggi,” katanya.

Kartu tani belum berfungsi. Jadi, kami beli pupuk pakai fotokopi KTP dan kartu keluarga serta bawa uang tunai.

Alokasi berkurang

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/XWRF2jYn9LcjMe6MHvpjY3QCbhk=/1024x768/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F01%2FWhatsApp-Image-2021-01-13-at-11.41.18-AM_1610513653.jpegARSIP POLRES INDRAMAYU

Kepala Polres Indramayu Ajun Komisaris Besar Hafidh S Herlambang (kiri) menunjukkan barang bukti dugaan penyalahgunaan pupuk bersubsidi di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, Selasa (12/1/2021). Sebanyak 200 karung pupuk bersubsidi jenis NPK diduga dijual di atas harga eceran tertinggi.

Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon Wasman menilai, kelangkaan pupuk subsidi karena alokasinya berkruang. ”Tahun ini saja, alokasi untuk urea hanya 20.000 ton. Padahal, kebutuhannya 25.000 ton,” katanya.

Pihaknya masih akan mengkaji kemungkinan mengajukan tambahan alokasi pupuk bersubsidi. Ia juga meminta petani mengurangi penggunaan pupuk bersubsidi yang bisa mencapai dua kali lipat dari seharusnya.

Kepala Dinas Pertanian Karawang Hanafi Chaniago mengatakan, pihaknya mengajukan 50.000 ton pupuk urea tahun ini. Namun, pihaknya baru mendapatkan sekitar 39.000 ton. Dengan luas sawah 95.287 hektar, pihaknya menargetkan memproduksi 1,33 juta ton gabah.

Sekretaris Perusahaan PT Pupuk Kujang Cikampek Ade Cahya K mengatakan, pihaknya selalu memastikan ketersediaan stok pupuk bersubsidi. Di Jabar, alokasi pupuk bersubsidi tahun ini 964.429 ton. Angka tersebut meningkat 167.086 ton dari alokasi tahun sebelumnya.

Saat ini, stok pupuk urea bersubsidi di Jabar 60.684 ton. Disusul dengan stok pupuk NPK sekitar 18.108 ton. Stok ini bisa bertahan hingga tiga pekan ke depan. ”Stok ini terus bertambah dengan kemampuan produksi Pupuk Kujang sebesar 3.500 ton per hari,” kata Ade.

Akan tetapi, berbagai angka itu ternyata belum dinikmati petani. Di kios pupuk milik Amrin, petani harus berseteru karena pupuk bersubsidi seharusnya membantu mereka. Apabila tidak dibenahi, bisa jadi perseteruan antarpetani kian panas di antara padi mereka yang kurang gizi.

Baca juga: Kelangkaan Bisa Picu Penyalahgunaan Pupuk Bersubsidi

  Kembali ke sebelumnya