Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Inspirasi dari Para Pejuang Lingkungan Hidup
Tanggal 08 Nopember 2020
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi IV
Isi Artikel

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/PhxrbvLO9yUi4todBaJWTGvgO74=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F03%2F76650892_1552756498.jpgKOMPAS/AMBROSIUS HARTO (BRO) 04-03-2019

Mahasiswa yang menjadi volunter Garda Pangan, organisasi wirausaha sosial, menyalurkan pastri yang merupakan produk berlebih patiseri yang masih aman dan amat layak dikonsumsi kepada anak-anak Taman Bacaan Masyarakat Anggrek Bulan di Keputih Tegal Timur Baru, Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur, 4 Maret 2019.

Gaung anak muda pejuang lingkungan hidup terus bergema dari Indonesia dan penjuru dunia. Aksi sederhana dari para pejuang lingkungan dilakukan secara konsisten. Harapannya, bisa membuahkan kesadaran masyarakat pada isu lingkungan yang penting untuk kehidupan manusia.

Kampanye dan aksi terkait lingkungan hidup tak lagi sekadar mengelola sampah atau ajakan gaya hidup hijau. Banyak aksi yang tak biasa dari aspirasi anak muda para jawara lingkungan ini. Muncul ajakan makan tanpa sisa supaya tidak meninggalkan sampah makanan, peduli sampah elektronik yang tanpa sadar tertimbun di rumah, dan mencintai hutan dalam kota. Adapula inspirasi untuk mengajak masyarakat memahami tentang isu energi bersih, memanfaatkan tanaman lokal di sekitarnya, serta peduli nasib petani.

Di acara virtual bertajuk ”Countdown by TEDxJakarta”, Sabtu (10/10/2020), kiprah nyata para anak muda Indonesia yang berjuang untuk mengatasi krisis iklim demi masa depan dan bumi yang lebih baik memberi inspirasi. Acara Countdown ini merupakan inisiatif global untuk memperjuangkan dan mempercepat solusi dalam mengatasi krisis iklim, mengubah ide menjadi aksi. Tujuannya, untuk membangun masa depan bumi yang lebih baik dengan berkurangnya emisi gas rumah kaca menjadi setengahnya pada tahun 2030. Membangun kehidupan di dunia yang lebih aman, lebih bersih, dan lebih adil bagi semua orang.

Ajakan untuk mengurangi sampah makanan jadi fokus Garda Pangan. Latar belakangnya, Indonesia jadi negara nomor dua di dunia yang pembuangan sampah makanannya tinggi. Tiap orang bisa menyumbang 300 kilogram sampah makan/tahun.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/WrGSyKR0P_HlETjkY9PuZyYJP38=/1024x642/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F11%2F20201106_183039_1604662892.jpgDOLUMENTASI TEDX JAKARTA

Eva Bachtiar, Co-Founder Garda Pangan

”Kita sebagai individu sering merasa enggak ada dampak dari yang kita lakukan. Kalau makin banyak individu yang peduli, kita bisa mengurangi masalah sampah makanan. Kami mau mengajak semua orang untuk mulai sadar, jangan sampai ada makanan terbuang,” ujar Eva Bachtiar, Co-Founder Garda Pangan.

Garda Pangan digandeng Bank DBS untuk meningkatkan kesadaran dan edukasi kepada masyarakat lewat kampanye #makantanpasisa. Pasalnya, masih banyak orang yang belum melihat korelasi sampah makanan dengan lingkungan.

Menurut Eva, Garda Pangan mengajak masyarakat untuk makan secukupnya. Memasak di dalam keluarga dilakukan sesuai kebutuhan sehingga menghasilkan nol sampah makanan.

Jika tak terhindarkan, ujar Eva, urutan prioritas untuk mencegah sampah makanan dimulai dari belanja dan makan dengan berkesadaran. Penting, untuk memperhatikan waktu kadaluwarsa makanan, lalu menyimpan makanan secara optimal agar tahan lama. Prioritas kedua, dengan mengurangi sampah makanan.

”Jika tetap ada makanan berlebih, kalau layak, ya, didonasikan ke tetangga, keluarga, atau orang yang membutuhkan. Atau kalau skala besar, bisa cari food bank,” jelas Eva.

Selain itu, sisa makanan yang tak bisa dimanfaatkan kembali dapat digunakan untuk pakan ternak atau dijadikan kompos sehingga menghasilkan pupuk. ”Yang terakhir, baru dibuang ke tempat penampungan sampah,” kata Eva.

Garda Pangan memiliki layanan untuk mengelola sampah makanan skala industri, dari bisnis katering, restoran, hingga hotel. Makanan yang layak diberikan kepada kalangan masyarakat tidak mampu. Selain itu, ada juga kerja sama dengan petani untuk menjual hasil panen yang jelek, tetapi masih layak konsumsi, dengan harga jual miring.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/hLHtc2mSijRjz0oRBu0KDbZRhWk=/1024x1536/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F03%2F20200226RIAN06_1583161328.jpgRIAN SEPTIANDI

Muhamad Nanda Putra, Founder dan Ceo Tanijoy, saat ditemui harian Kompas di kantor Tanijoy, Jakarta, Selasa (25/02/2020). Tanijoy adalah perusahaan start up yang menghubungkan petani-petani desa dengan para investor.

Upaya mengurangi sampah makanan dari pertanian akibat rantai pasok dari hasil pertanian ke konsumen yang panjang jadi perhatian Muhammad Nanda Putra, CEO dan Co-Founder Tanijoy. Dengan semakin dekatnya akses petani kepada pembeli, berarti semakin baik untuk mengurangi emisi gas karbon yang merusak lingkungan.

Menurut Nanda, sekitar 24 persen gas rumah kaca diproduksi sektor pertanian, terutama dari pupuk pestisida. Kehadiran Tanijoy untuk membantu meningkatkan kesejahteraan petani sekaligus memperbaiki kondisi lingkungan hidup akibat efek samping pertanian.

Para petani mendapatkan akses modal dengan menjalankan sistem pertanian bekerlanjutan. Tanijoy membuat kalender dan pola tanam serentak serta penggunaan pestisida secara bijak.

”Untuk konsumen, kami ajak mengutamakan membeli produk pertanian lokal yang terdekat dulu. Cara ini akan memperpendek jejak karbon guna menyelamatkan bumi,” kata Nanda.

Sementara itu, Helianti Hilman, pendiri Javara dan Sekolah Seniman Pangan, mengatakan, Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati melimpah memiliki kekayaan sumber pangan bermutu tinggi dari bahan-bahan lokal. Sayangnya, kearifan lokal pangan di daerah belum teridentifikasi secara baik sehingga belum banyak diketahui dan dimanfaatkan.

”Kita bisa memilih untuk memunculkan makanan yang ada di meja makan kita yang berdampak pada lingkungan. Di makanan ada isu perubahan iklim, dengan jejak karbon. Semakin dekat, sumber makanan semakin baik,” kata Helianti.

Helianti menyebutkan Indonesia memliki keragaman sumber pangan bermutu tinggi lokal. Ada daun kelor yang kaya kalsium dan protein dan daun pegagan untuk memori otak, hingga tanaman krokot yang kaya asam lemak omega. Umbi-umbian dengan beragam warna yang punya peran gizi berbeda.

Demikian pula sumber minyak goreng. Minyak goreng dari kelapa, kemiri, atau ulat sagu. ”Pemberdayaan petani lokal jadi perhatian kami. Ada ilmu kearifan lokal dan tanaman endemik yang perlu dikembangkan. Untuk itu, gairah anak muda untuk melihat potensi pertanian juga kami dukung,” kata Helianti.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/qw_3Dno626ZFbIw7lZ5yx8kqmQA=/1024x575/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2F050ce4b5-52e0-4090-b693-82f7d6ec1e1e_jpg.jpgKOMPAS/FAJAR RAMADHAN

Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah Adhityani Putri

Energi bersih

Selain anak muda yang memiliki perhatian pada sumber pangan, ada juga yang peduli dengan energi bersih. Adhityani Putri, pendiri dan Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah, mengatakan, ketergantungan pada energi fosil mengkhawatirkan karena energi ini memiliki dampak yang buruk pada lingkungan. Emisi gas rumah kaca dari energi fosil akan meningkatkan suhu bumi dan perubahan iklim.

”Kami terus mendukung transisi energi Indonesia dari fosil mengandalkan enegri terbarukan, bersih, dan cerdas,” kata Adhityani.

Dari suvei Yayasan Indonesia Cerah dan Change.org, lebih dari 90 persen anak muda khawatir akan dampak krisis iklim. Generasi muda diajak untuk melihat peluang transisi ke energi terbarukan ini. Mereka bisa memilih bisnis energi terbarukan atau mendirikan usaha energi terbarukan.

”Tinggalkan industri mapan, coba rintis yang baru dengan energi terbarukan. Ada peluang sekitar 11,5 juta lapangan kerja baru dari sektor energi terbarukan.” kata Adhityani.

Sementara itu, Rafa Jafar (17) berjuang untuk mengatasi sampah elektronik yang semakin meningkat dengan mendirikan komunitas E-Waste. Kesadaran itu muncul saat Rafa berumur 11 tahun dan menyenggol lemari di rumahnya, lalu berjatuhanlah banyak gawai zaman dulu yang sudah rusak.

”Sekarang tiap orang memegang berapa gadget (gawai) dan alat elektronik? Dari televisi, komputer, laptop, setrika, mesin cuci, dan banyak lagi. Lalu, berapa kali diganti? Kalau sudah rusak dikemanain? Yang ada banyak sampah elektronik dibuang sembarangan,” kata Jafar.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/NatkZu51_QDzjqYFbksumWk-9wE=/1024x680/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F11%2F20201106_182920_1604663109.jpgDOKUMENTASI TEDX JAKARTA

Rafa Jafar mengagas komunitas E-Waste untuk mengatasi sampah elektronik.

Jafar menaruh perhatian pada isu limbah bahan berbahaya beracun (B3) yang berdampak butuk pada lingkungan dan kesehatan. Gerakannya berbentuk kampanya bahaya sampah elektronik, mengumpulkan sampah elektronik di 20 titik di 22 kota dan mendaur ulang sampah elektronik, bekerja sama dengan perusahaan pendaur ulang sampah elektronik tersertifiaksi secara legal.

”Dari 2016, kami sudah mengumpulkan 3 ton sampah elektornik. Kesadaran masyarakat mulai muncul,” kata Jafar.

Kepedulian anak muda lainnya berfokus untuk melindungi hutan-hutan di Indonesia. Kita tentu tak ingin hutan rusak sehingga mengancam keberlangsungan makhluk hidup di dalamnya.

Andre Christian, Ketua Umum Hutan Itu Indonesia, mengajak masyarakat untuk mencintai hutan. Masyarakat kota sering lupa bahwa hutan jadi perlindungan untuk mendapatkan sumber oksigen dan air bersih.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/o-QXiJ_SVXaig9epeDJbh06Xb4M=/1024x498/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F11%2FIMG-20201103-WA0007_1604413617.jpgTANGKAPAN LAYAR KOMPAS/SOELASTRI SOEKIRNO

Co-founder dan Ketua Umum Hutan Itu Indonesia Andre Christian (kiri) berbicara di Konser Musika Foresta 2020 pada Sabtu (31/10/2020).

Kegiatan di hutan kota, seperti lari bersama di dalam hutan kota, bermusik, jadi salah satu cara untuk memberikan rasa jatuh cinta pada hutan. Lalu, masyarakat kota diajak untuk mengadopsi hutan sebanyak-banyaknya guna pengumpulan dana.

”Dana yang terkumpul dipakai untuk menjaga hutan Indonesia, untuk patroli lapangan dan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan agar hutan selalu terjaga,” kata Andre.

Sementara itu, Octavia Yesi Rungkat dari Komunitas Dayak Iban mengatakan, masyarakat adat di tepi Sungai Utik merasakan dampak krisis iklim. Cuaca yang berubah tak menentu memengaruhi musim panen yang juga berubah. Masyarakat adat bertekad untuk menjaga kelestarian hutan. Generasi muda berkomitmen untuk hidup dengan menjaga alam dan budaya.

”Kami menghargai hutan karena memberi kehidupan. Hutan adalah bapak kami karena menyediakan segala keperluan atau kepala keluarga. Tanah ibu kami karena melahirkan tumbuhan dan air sebagai darah, apabila tidak mengalir, akan mati,” kata Oktavia.

  Kembali ke sebelumnya