Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Pengesahan RUU Cipta Kerja Berpotensi Memperparah Perampasan Ruang Hidup Masyarakat
Tanggal 05 Oktober 2020
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi IV
Isi Artikel

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/srlC7QKzVn0fUw23eupjih4gy0k=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2F6e78df36-0c35-4de9-a10f-159eff0e5917_jpg.jpgKOMPAS/HERU SRI KUMORO

Orang-orangan sawah atau atau boneka sawah dipasang aktivis Komite Nasional Pembaruan Agraria di depan gerbang Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/9/2020). Orangan-orangan sawah ini mewakili petani dalam menyampaikan pendapat untuk memeringati Hari Tani Nasional.

JAKARTA, KOMPAS – Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Fraksi Rakyat Indonesia mendesak pemerintah dan DPR membatalkan pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja karena dinilai akan semakin menegaskan perampasan ruang hidup masyarakat. Rencana pengesahan tersebut menjadi ironi di tengah konflik ruang penghidupan yang masih banyak terjadi sampai saat ini.

Sejumlah organisasi yang tergabung dalam koalisi tersebut di antaranya Aliansi Masarakat Adat Nusantara (AMAN), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), dan sejumlah perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Koalisi juga menyerukan mosi tidak percaya kepada DPR dan pemerintah.

Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati dalam konferensi pers secara daring, Senin (5/10/2020) menilai, dalam RUU Cipta Kerja tidak ada kepentingan masyarakat dan kesejahteraan nelayan yang terakomodir. Sebaliknya, RUU hanya menguntungkan pengusaha karena substansi yang berkutat pada pemberian karpet merah terhadap investasi, termasuk di sektor perikanan.

Baca juga: "Omnibus Law" Berpotensi Hancurkan Laut Indonesia 

Omnibus law disusun di tengah konflik ruang penghidupan yang terjadi hingga hari ini baik di pesisir maupun pulau-pulau kecil tanpa ada upaya nyata dari negara untuk menyelesaikan konflik tersebut. Sebut saja konflik di Pulau Pari, Pulau Kodingareng Keke, termasuk kawan-kawan di Muara Angke,” tuturnya.

Salah satu aturan dalam RUU Cipta Kerja yang dinilai merugikan yaitu terkait pengurusan izin perikanan tangkap bagi nelayan kecil yang menggunakan perahu di bawah 10 gross tonnage (GT). Aturan ini membuat penyamaan perlakuan terhadap nelayan kecil dengan nelayan skala besar.

“Disamakannya posisi nelayan kecil dengan nelayan besar, maka kewajiban perlindungan yang harus diberikan oleh negara kepada nelayan menjadi hilang. Yang terpenting lainnya, kami melihat ada upaya menguatkan posisi tata  ruang laut yang di dalam prakteknya tidak menempatkan nelayan dan perempuan nelayan sebagai aktor utama pengelola sumber daya kelautan dan perikanan,” ungkapnya.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/5iA2ydd4eBHC2SeqnYrqIX1hBNU=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F08%2Fc45faf71-c758-45a4-bb9c-fcbab930303d_jpg.jpgKOMPAS/HERU SRI KUMORO

Anggota dan pimpinan Badan Legislasi DPR saat rapat Panitia Kerja Badan Legislasi DPR melanjutkan pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Cipta Kerja di Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/8/2020).

Abai pemenuhan hak

Direktur Advokasi AMAN, Tommy Indyan menyampaikan, pengesahan Omnibus Law diyakini tidak akan membuat kondisi perekonomian Indonesia ke depan menjadi lebih baik. Hal ini salah satunya disebabkan karena pemerintah dan DPR yang masih abai terhadap pemenuhan hak-hak sipil, termasuk masyarakat adat.

“DPR juga ada pembahasan tentang RUU Masyarakat Adat. Tetapi sampai sekarang pembahasan lanjutan RUU ini sama sekali belum diagendakan ke paripurna. Kita bisa melihat secara langsung keberpihakan negara yang tidak mendahulukan undang-undang untuk melindungi hak-hak masyarakat, melainkan mendahulukan undang-undang untuk kepentingan oligarki,” ujarnya.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/C3eZZBIwyI2eun5xWtFJzc3SAXo=/1024x977/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F02%2F20200220_ARJ_lapangan_kerja_mumed_1582198758.png

Hal senada juga diungkapkan Ketua YLBHI Asfinawati. Ia menegaskan, setiap pasal dalam RUU Cipta Kerja menunjukkan negara mengabaikan hak rakyat dan mempercepat kerusakan lingkungan. Meski pada akhirnya RUU disahkan dan investasi semakin meningkat, namun kualitas proyek pembangunan tersebut akan jauh dari harapan.

Kerusakan lingkungan dipandang akan cepat terjadi karena RUU ini melemahkan proses analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) serta perizinan lingkungan. Padahal, evektivitas amdal, UKL-UPL, dan perizinan lingkungan sangat ditentukan dan saling terkait dengan instrumen lingkungan hidup lainnya.

Selain itu, RUU juga hanya menguntungkan segelintir pihak terutama pengusaha yang dapat menikmati hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), dan hak pakai (HP) langsung selama 90 tahun yang tertuang dalam Pasal 127 ayat 3. Padahal, aturan sebelumnya dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) mengatur jangka waktu HGU diberikan secara kumulatif.

Baca juga: Rencana Pemberian Hak Guna Usaha 90 Tahun Dinilai Mengada-ada

Semisal pada badan hukum, diberikan hak guna usaha 35 tahun lalu dapat diperpanjang 25 tahun dan selanjutnya diperbarui selama 35 tahun. Bukan otomatis selama 90 tahun.

Selain itu, ada pula Putusan MK Nomor 21 dan 22 Tahun 2007, yang telah mengabulkan uji materi atas UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang memberikan masa berlaku HGB selama 95 tahun (diberikan dan diperpanjang sekaligus selama 60 tahun, dan selanjutnya diperbarui 35 tahun). Dalam penjelasan putusan MK itu, Hakim Konstitusi fokus pada jangka waktu, bukan melihat status tanah atau hak tersebut (Kompas, 15 Juni 2020).

“Ini akan semakin memperdalam dan memperluas konflik agraria, dimana perempuan seringkali mengalami intimidasi dan kekerasan berlapis. Omnibus law juga mendukung penindasan dan kecurangan bagi kaum buruh, jaminan pekerjaan lain dihilangkan karena outsourcing dan kontrak semakin merajalela,” kata Asfina.

  Kembali ke sebelumnya