Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul ”Omnibus Law” Berpotensi Hancurkan Laut Indonesia
Tanggal 23 Juni 2020
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi IV
Isi Artikel

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/XadQSIFLI2cfKKLrXnwPZhb9498=/1024x1449/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F05%2F20200526-Opini-7_web_89450654_1590500626.jpg

Anggota Komisi IV DPR, Luluk Nur Hamidah, menilai, tujuan pembentukan undang-undang itu adalah memperbaiki ekosistem investasi, menjawab aturan tumpang-tindih, dan perizinan yang berbelit-belit. Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja sebagai omnibus law dinilai lebih mengakomodasi kepentingan investor dengan menghilangkan aturan-aturan yang dinilai menghambat, tetapi mengabaikan komitmen pembangunan kelautan dan perikanan berkelanjutan.

Di sisi lain, Indonesia tengah menghadapi sejumlah persoalan karena belum mampu memberantas praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUUF) dengan nilai kerugian ditaksir 20 miliar dollar AS per tahun. Selain itu, persoalan kerusakan terumbu karang dan ekspor terumbu karang. Laut Indonesia terancam hancur jika investasi dibuka tanpa kontrol.

”RUU ini tidak membahas keberlanjutan dan kedaulatan, tetapi bagaimana caranya investor senang untuk bisa berinvestasi. Bagaimana negara memberikan jaminan bahwa RUU ini bukan hanya semata-mata menyenangkan investor, melainkan memberikan perlindungan bagi para nelayan, petambak, dan ekosistem perikanan,” kata Luluk dalam web seminar ”RUU Omnibus Law Cipta Kerja dan Pembangunan Kelautan Berkelanjutan”, Senin (22/6/2020).

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/C3eZZBIwyI2eun5xWtFJzc3SAXo=/1024x977/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F02%2F20200220_ARJ_lapangan_kerja_mumed_1582198758.png

Luluk menambahkan, beberapa kejanggalan substansi RUU Cipta Kerja adalah tidak ada kejelasan kriteria nelayan kecil. Selain itu, pengenaan sanksi pidana ditiadakan dan digantikan dengan sanksi administrasi. Akibatnya, tidak ada lagi sanksi pelanggaran yang memberikan efek jera.

Persoalan lainnya, terjadi simplifikasi perizinan untuk usaha. Dari tiga jenis perizinan usaha penangkapan ikan, meliputi izin usaha perikanan, izin penangkapan ikan, dan izin kapal pengangkutan ikan, akan dihapuskan menjadi hanya satu izin berusaha.

Penyederhanaan izin demi menggenjot investasi dinilai tidak akan efektif dan akan menuai pelanggaran baru karena infrastruktur mengamankan laut terbatas dan aparat birokrasi masih korup.

Baca juga : Matinya Kedaulatan Petani dan Pangan

”Jangan sampai logika kita ingin menyederhanakan, masalah justru memanen masalah baru yang jauh lebih kompleks dan besar. Kalau kita enggak cukup mampu memberantas IUUF, dampaknya (penyederhanaan izin) akan lebih parah,” katanya.

Pihaknya berharap publik terus mengawal pembahasan substansi RUU tersebut agar tidak memihak kepentingan investor dan menabrak Pasal 33 UUD 1945 terkait penguasaan sumber daya oleh negara untuk kemakmuran rakyat.

”Masih terbuka kesempatan publik untuk memberi masukan dan sekaligus memberikan kontrol. Kita tidak ingin bangsa kita hanya menjadi pihak yang menyediakan karpet bagi para investor untuk melakukan penguasaan,” kata Luluk.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/9A-lb5mJsk3dK370Otw4c6ovolA=/1024x624/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F02%2F20200224-Opini-6_web_87583625_1582556767.jpg

Membuka celah 

Direktur Indonesia Ocean Justice Initiative Stephanie Juwana mengemukakan, RUU Cipta Kerja merevisi, mencabut, dan memberlakukan beberapa undang-undang dalam satu dokumen. Di beberapa negara, omnibus law digunakan karena menghemat waktu, menghemat biaya, memudahkan kesepakatan politik dan harmonisasi antaraturan.

Akan tetapi, dalam praktiknya terdapat sejumlah kelemahan, di antaranya membuka celah penyelundupan pasal-pasal yang condong pada kepentingan kelompok tertentu. Di sisi lain, sulit mengakomodasi kepentingan masyarakat luas karena topik dan kontennya sangat luas.

Ia mendesak RUU Cipta Kerja memasukkan konsep pembangunan keberlanjutan dan hanya fokus memuat pasal terkait tujuan cipta kerja. RUU yang bertujuan meningkatkan investasi melalui berbagai kemudahan harus didukung kesiapan kelembagaan dan sumber daya manusia. Di antaranya, akuntabilitas lembaga, kualitas pelayanan birokrasi, kontrol terhadap korupsi, dan efektivitas penegakan hukum.

”Tanpa kesiapan kelembagaan dan sumber daya manusia, justru akan menimbulkan permasalahn baru yang membuat investor enggan berinvestasi di Indonesia,” katanya.

Baca juga : Bahayakan Lingkungan dan Masyarakat, DPR Dimohon Tak Terburu-buru

Pihaknya juga mengusulkan pembahasan RUU melibatkan partisipasi masyarakat seluas-luasnya. Di samping itu, DPR mengidentifikasi pasal-pasal yang tidak berhubungan dengan tujuan menciptakan peluang kerja dan merugikan kepentingan masyarakat luas untuk dihapuskan dari RUU.

Pakar ekonomi kelautan dan perikanan The University of British Columbia Canada, Rashid Sumaila, menilai, fokus rancangan undang-undang tersebut adalah pembangunan ekonomi dan peluang kerja.

Akan tetapi, ada indikasi pelonggaran terhadap standar lingkungan yang mengkhawatirkan bagi pembangunan berkelanjutan. Salah satunya, dihapuskannya komite penilai amdal. Hal ini berpotensi menciptakan eksploitasi berlebih, polusi, dan perusakan yang menjadi bumerang bagi Indonesia, dan menciptakan masalah besar di masa depan.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/lB2zn3jpOOl2T0wBAP_8L6r7TSw=/1024x748/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F06%2F20200612-ANU-potensi-kelautan-mumed_1591977378.jpg

Ia menambahkan, banyak pelajaran yang bisa didapat dari negara-negara yang telah menerapkan omnibus law. Kanada memiliki sejarah panjang tentang praktik omnibus law yang digunakan sejak tahun 1888. Hingga saat ini, omnibus law di Kanada tetap menuai kontroversi, terutama karena ukurannya yang sangat besar menggabungkan segala hal dalam satu aturan dan kompleks. Pada tahun 1923, parlemen Kanada menolak omnibus law karena cakupannya kompleks.

Indonesia telah memiliki peran dalam memberantas IUUF. Upaya itu seharusnya diteruskan dan dijaga dengan mengelola stok perikanan secara berkelanjutan dan bukan merelaksasi aturan yang sudah ada. ”Penting bagi negara untuk memikirkan kepentingan jangka panjang,” katanya.

Baca juga : Pemerintah Izinkan Kembali Alat Tangkap Ikan yang Dilarang

Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Aryo Hanggono mengemukakan, Indonesia tengah melakukan transformasi ekonomi, tetapi ekonomi yang berkelanjutan. Seluruh instrumen aturan terkait pemberantasan IUUF dan keberlanjutan perikanan dan kelautan masih ada dan diatur di undang-undang.

”Tidak perlu ada kekhawatiran investasi yang sewenang-wenang. Omnibus law menyederhanakan perizinan dan bukan undang-undangnya. Bukan berarti undang-undang terkait menjadi tidak berlaku,” katanya,

Ia menambahkan, Indonesia sudah memiliki 27 peraturan daerah rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Seluruh perizinan berusaha diwajibkan memiliki izin lokasi perairan yang mengacu Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Daerah ikut berperan menentukan dalam izin berusaha.

  Kembali ke sebelumnya