Judul | Peraturan Lingkungan Hidup Belum Tunjukkan Keterbukaan Informasi |
Tanggal | 29 Maret 2021 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi IV |
Isi Artikel | KOMPAS/RHAMA PURNA JATI Kebakaran lahan di wilayah Kabupaten Bungo terpantau dari helikopter Bolkow 105 milik tim Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Jambi, Minggu (27/8/2018). Meski sudah ada aturan larang bakar yang tertuang lewat peraturan daerah, pembukaan lahan dengan cara bakar masih kerap terjadi. JAKARTA, KOMPAS — Semangat keterbukaan informasi pada badan publik belum terlihat dalam berbagai peraturan menteri pada sektor lingkungan hidup. Bahkan, beberapa pasal di sejumlah peraturan hanya sebagian kecil saja yang mengatur terkait keterbukaan informasi secara tegas dan eksplisit. Hal tersebut terangkum dalam laporan hasil penelitian bertajuk ”Potret Implementasi Keterbukaan Informasi Publik pada Sektor Lingkungan Hidup” yang disusun Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers. Penelitian ini menganalisis dan memetakan adopsi keterbukaan informasi dalam peraturan yang diterbitkan tiga kementerian. Tiga kementerian itu adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Adapun jumlah peraturan dan keputusan menteri yang dianalisis dari tiga kementerian tersebut mencapai 1.563 produk hukum.
Pengacara publik LBH Pers sekaligus penulis laporan Rizki Yudha mengemukakan, dari 1.563 produk hukum yang dianalisis, terdapat 18 peraturan atau hanya 1,2 persen yang mengatur secara eksplisit mengenai ketentuan informasi publik. Sementara produk hukum yang di dalamnya memuat pasal-pasal terkait pengaturan secara eksplisit mengenai informasi yang harus dipublikasikan jumlahnya juga masih sangat kecil, yakni 32 peraturan atau hanya 2 persen dari total aturan yang dianalisis. ”Terkait informasi yang harus disediakan badan publik, hanya ada 73 peraturan atau 4,7 persen. Kami juga menemukan 113 peraturan atau 7,2 persen di antaranya mengatur secara eksplisit mengenai ketentuan tanggung jawab badan publik untuk menyimpan dan mengelola informasi,” ujarnya dalam peluncuran laporan tersebut secara daring, Senin (29/3/2021). KOMPAS/HERU SRI KUMORO Orang-orangan sawah atau atau boneka sawah dipasang aktivis Komite Nasional Pembaruan Agraria di depan gerbang Kompleks Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/9/2020). Orangan-orangan sawah ini mewakili petani dalam menyampaikan pendapat untuk memeringati Hari Tani Nasional. Selain itu, jumlah peraturan/keputusan menteri yang mengatur mengenai informasi yang dikecualikan atau bersifat rahasia hanya ada enam peraturan atau 0,4 persen. Dari enam peraturan tersebut, hanya satu peraturan yang telah dirumuskan secara jelas dan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). ”Dari segi regulasi, persentase ini menurut kami belum cukup baik untuk menyatakan bahwa semangat keterbukaan informasi sudah diadopsi dalam aturan di level peraturan atau keputusan menteri. Memang sudah ada ketentuan uji konsekuensi untuk mengualifikasikan suatu informasi, tetapi akan lebih baik jika dikualifikasikan lebih jelas dalam peraturan tersebut mana saja yang dikecualikan dan dipublikasikan,” katanya. Direktur LBH Pers Ade Wahyudin menyatakan, kajian potret implementasi keterbukaan informasi publik pada sektor lingkungan dilakukan karena tiga kementerian terkait memiliki hubungan erat dengan kebijakan yang sangat berdampak pada masyarakat. Masih tingginya konflik agraria atau yang berkaitan dengan lingkungan dan sumber daya alam juga menjadi pendorong dilakukannya riset tersebut. Baca juga: Lemahnya Pengawasan Turut Memicu Kerusakan Lingkungan Ia menyayangkan semangat keterbukaan informasi belum tampak terhadap peraturan atau keputusan yang dikeluarkan KLHK, Kementerian ATR/BPN, maupun KESDM. Padahal, landasan hal ini telah tertuang dalam UU KIP yang sekaligus menjadi aturan pelaksana konstitusi untuk memenuhi hak setiap warga negara atas informasi. KOMPAS Aparat penegak hukum gabungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, dan Bareskrim Polri, Selasa (8/9), mendatangi lokasi kebakaran di lahan konsesi perkebunan sawit di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Ade menegaskan, keterbukaan informasi publik sangat penting untuk memperkuat akuntabilitas badan publik yang bisa digunakan sebagai instrumen pemberantasan korupsi. Selain sebagai salah satu upaya menjalankan aspek-aspek pemerintahan yang baik, keterbukaan informasi juga harus dipandang sebagai sebuah hak asasi manusia. Upaya sistemik Ketua Bidang Penyelesaian Sengketa Informasi Komisi Informasi Publik (KIP) Arif Adi Kuswardono mengatakan, upaya untuk membangun keterbukaan informasi publik terutama terkait substansi dan struktur hukum perlu upaya yang sistemik. Badan publik juga perlu didorong untuk semakin terbuka dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik melalui peraturan/keputusan yang dibuat. ”Badan publik perlu membangun kompetensi dan kapabilitas dalam melakukan uji konsekuensi karena ini menjadi permasalahan penting. Memang budaya pelayanan dan informasi publik saat ini perlu terus dibangun. Format pelayanan publik ke depan sudah harus berubah bentuknya mungkin dengan melibatkan teknologi informasi agar ada kecepatan, akurasi, maupun kemudahan,” katanya. Baca juga: Evaluasi Perizinan Tambang Belum Transparan Kepala Bagian Penyajian dan Pelayanan Informasi Publik Biro Humas KLHK Nuke Mutkania menyatakan, keterbukaan informasi publik telah menjadi salah satu aspek reformasi birokrasi di KLHK. Hal ini juga telah dituangkan dalam Peraturan Menteri LHK 18/2018 tentang Pelayanan Informasi Publik di KLHK. KOMPAS Sebuah kendaraan melintasi lahan yang telah ditutup garis larangan melintas oleh penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Kementerian Kehutanan di lahan yang diduga sengaja dibakar di Gambut Jaya, Muaro Jambi, Selasa (15/9/2015). Menurut BNPB, pihak kepolisian telah menetapkan 55 tersangka dalam kasus kebakaran hutan di Riau dan Jambi serta masih melakukan penyelidikan terhadap 13 perusahaan di Sumatera Selatan. ”Sejak beberapa tahun ini, kami selalu mencoba memasukan unsur keterbukaan informasi publik dalam pasal-pasal di peraturan menteri yang disusun. Salah satu yang masih dalam prose penyusunan yaitu peraturan menteri pengganti yang mengatur satu data,” ucapnya. Nuke menambahkan, tahun ini KLHK juga tengah melakukan pembaruan daftar informasi publik (DIP) terkait daftar informasi yang dikecualikan. Kategori informasi yang dikecualikan antara lain memiliki klasifikasi yang bersifat pribadi, menghambat proses hukum, hak intelektual dan persaingan usaha, mengancam pertahanan keamanan, serta mengungkap kekayaan alam. Putusan hukum terbaru juga menyatakan informasi geospasial dalam format shapefile serta informasi silvikultur dan perusahaan dalam dokumen rencana kerja usaha (RKU) dan tahunan (RKT) merupakan dokumen yang dikecualikan. |
Kembali ke sebelumnya |