Judul | Kerusakan Lingkungan di Daerah Tangkapan Air Mendesak Dibenahi |
Tanggal | 25 Januari 2021 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi IV |
Isi Artikel | MARTAPURA, KOMPAS – Kerusakan daerah tangkapan air di hulu menjadi pemicu banjir besar di Kota-kota di Kalimantan Selatan. Di kawasan hulu banyak ditemukan hutan-hutan yang gundul dan lubang-lubang bekas tambang yang menganga tanpa rehabilitasi. Dari pantauan Kompas selama beberapa hari terakhir, kondisi wilayah tangkapan air di hulu Sungai Martapura rusak berat. Lubang-lubang bekas galian masih terbuka lebar, bahkan setidaknya masih terdapat dua perusahaan tambang batu bara yang masih aktif bekerja wilayah hulu yang seharusnya menjadi daerah tangkapan air. Kerusakan hulu ini yang diperkirakan menjadi penyebab banjir di Banjarbaru, Kabupaten Banjar, dan Kota Banjarmasin, Kerusakan itu terlihat di sejumlah desa di kawasan hulu sungai Martapura sepanjang pantauan Kompas, di antaranya Desa Pengaron, Lubang Baru, Maniapun di Kecamatan Pengaron dan Desa Simpang Empat di Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Banjar. Dari daerah itu sungai Martapura mengalir melewati Kota Banjarbaru, dan berhilir di Banjarmasin. Baca juga: Mulut Tambang di Hulu Sungai Martapura Masih Menganga KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO Sisa-sisa batu bara yang belum diangkut masih tersisa di dekat lubang bekas tambang di Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Jumat (22/1/2021). Lubang-lubang tambang itu terletak tak jauh dari Sungai Pengaron yang bermuara di Martapura. Kompas mencoba menelusuri bagian daerah aliran sungai di hulu Sungai Martapura di Desa Pengaron, Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalsel. Di lokasi itu masih terdapat bekas lubang tambang yang belum ditutup. Untuk menuju lokasi tambang dari Kota Banjarbaru membutuhkan waktu normal 1,5 jam namun karena jembatan yang putus baru diperbaiki perjalanan bisa menjadi lebih lama dengan jarak mencapai 65 kilometer. Sampai di Kecamatan Pengaron, lubang tambang pertama bisa dilihat karena memang terdapat plang destinasi wisata di pinggir jalan dengan tulisan Wisata Alam Danau Biru Pengaron. Untuk masuk ke Danau Biru Pengaron itu harus melewati jalan bekas tambang yang berlumpur sepanjang 4 kilometer. Di musim hujan seperti ini, warga sekitar akan mengingatkan untuk tidak ke sana lantaran longsor dan jalan yang buruk. Sampai di lokasi setidaknya terdapat empat lubang tambang dengan ukuran sangat besar berbentuk oval. Di pinggirannya terdapat tebing curam yang pada Jumat siang saat dikunjungi Kompas sempat longsor di bagian ujung atas dan menimbulkan bunyi seperti letupan saat menghantam air biru di bawahnya. Jaelani (57), warga Desa Pengaron, Kabupaten Banjar, mengatakan ia ingat tahun 1979 sebuah perusahaan kayu datang dan menghabisi hutan di Bukti Hayuti yang merupakan daerah tangkapan di hulu Martapura. Usai hutan habis, pembabat pergi dan diganti dengan kegiatan tambang. Pertambangan di Kecamatan Pengaron sudah beroperasi belasan tahun. Ia pun tak mengingat pastinya kapan pertama kali tambang datang. Jaelani mengungkapkan, sebagian kawasan bekas tambang kini menjadi destinasi wisata. Destinasi ini memang mendatangkan keuntungan bagi warga sekitar karena banyak yang berjualan di sana di saat ramai. Namun, di musim hujan biasanya tidak ada pengunjung. Kini yang datang justru banjir. “Banjir di sini sebenarnya setiap tahun terjadi. Banjir bulan ini saja sudah dua kali, tetapi baru kali ini kami sampai terisolasi,” kata Jaelani. Di Desa Maniapun juga terdapat setidaknya dua bekas lubang tambang dan bahkan masih ada aktivitas pertambang. “Di desa kami juga masih ada perusahaan, jadi jembatan besar di depan itu jalan truk pengangkut batu bara,” kata Jaelani. KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO Sebuah batu runtuh dari ujung tebing di lubang bekas tambang sehingga menimbulkan riak dan bunyi seperti dentuman, di Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Jumat (22/1/2021). Lubang tambang di Kalsel yang penuh dengan izin pertambangan masih banyak yang belum direklamasi. Baca juga: Kerusakan Lingkungan Picu Banjir Besar di Kalsel Jatam mencatat, di seluruh Kalimantan Selatan jumlah lubang bekas tambang mencapai 814 lubang baik yang masih aktif digunakan maupun yang ditinggalkan tanpa ditutup. Selain itu, 700 hektar lahan tambang tumpang tindih dengan pemukiman warga, 251.000 hektar pertambangan berada di kawasan pertanian dan ladang, dan seluas 464.000 hektar pertambangan berada di kawasan hutan. Angka-angka itu juga dikuatkan oleh data dari Laporan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) yang mengeluarkan data spasial perluasan areal perkebunan sebesar 219.000 hektar sejak tahun 2010-2020 di Kalsel. Perubahan penutupan lahan dalam 10 tahun itu memberi gambaran kemungkinan terjadinya banjir di Daerah Aliran Sungai Barito yang mengalir di banyak kota di Kalimantan Selatan. Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menjelaskan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bertanggung jawab penuh terhadap terbitnya banyak izin penggunaan kawasan hutan kepada investor. “Harus ada evaluasi sunguh-sungguh. Pemerintah wajib membuat pemetaan wilayah rawan bencana dengan menyediakan data sumber bencana, itu perintah Undang-Undang yang tidak dijalankan,” kata Merah. Hal serupa juga disampaikan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan Kisworo Dwi Cahyono. Saat di hulu di hajar tambang, bagian hilir yang sebagian besar merupakan kawasan hidrologis gambut, perlahan diganti perkebunan sawit. Hal ini di antaranya terjadi di Kabupaten Tapin, Kalsel yang juga menjadi hulu sungai Barito dan Martapura. BASARNAS BANJARMASIN Anggota Basarnas Banjarmasin turut mengevakuasi warga terjebak banjir di Kecamatan Pengaron, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Selasa (12/1/2021). Tahun 2012, Walhi mencatat terjadi banjir bandang besar di wilayah Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST). Di kabupaten itu tutupan hutannya relatif masih baik, namun, tutupan hutan di wilayah sekitarnya seperti Kabupaten Balangan dan Tabalong, kondisinya sudah rusak. HST pun kena imbasnya.
Kini, wilayah tangkapan air yang rusak itu sekali lagi tak mampu menahan tingginya curah hujan. Menurut Kisworo, wilayah-wilayah tangkapan air di bagian hulu dari Sungai Barito maupun Sungai Martapura perlu rehabilitasi bahkan revitalisasi. Perlu ada evaluasi perizinan besar-besaran dengan dasar kelestarian lingkungan. Koreksi semua kebijakan pasca tambang dan semua perizinan. “Banjir dan bencana lainnya akan terus mengancam dan berulang jika pemerintah tidak sungguh-sungguh. Cukup sudah menyalahkan alam dan masyarakat,” ungkap Kisworo. Baca juga: Tak Hanya Hujan Rusaknya Hulu dan Hilir Sungai di Kalsel Juga jadi Penyebab Banjir Pemerintah daerah, melalui Penjabat Sekretaris Daerah Provinsi Kalsel Roy Rizali Anwar sebelumnya menjelaskan, pihaknya akan mengambil langkah-langkah dan membuat kajian terkait penyebab banjir. Pihaknya juga sedang membuat kajian tata ruang dan tata wilayah salah satu tujuannya untuk mengetahui potensi bencana. “Kami juga menunggu kebijakan pusat melalui peraturan presiden terkait langkah kebijakan pasca tambang, akan ada langkah-langkah lanjutan soal itu nanti,” katanya. Hingga Sabtu (24/1/2021), banjir masih melanda sejumlah wilayah di Kalimantan Selatan. Beberapa wilayah masih digenangi banjir seperti di wilayah Martapura, Kabupaten Banjar, Kota Banjarbaru dan Kota Banjarmasin bagian timur. Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kalimantan Selatan menunjukkan, totalnya banjir merendam setidaknya 122.166 rumah di 11 kabupaten/kota, 179.035 keluarga atau totalnya mencapai 712.129 jiwa. Total pengungsi selama banjir terjadi mencapai 113.420 orang. Kini, banjir perlahan surut. Namun, prediksi curah hujan sedang hingga tinggi masih mengancam karena luapan sungai-sungai besar di Kalimantan Selatan. |
Kembali ke sebelumnya |