Judul | Kabut Lumbung Pangan di Lahan Gambut |
Tanggal | 23 Oktober 2020 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi IV |
Isi Artikel | KOMPAS/ANGGER PUTRANTO Riyan (24) menjemur jagung hasil panen keluarganya di halaman rumahnya di Banyuwangi, Jawa Timur, 7 Mei 2020. FAO menyebutkan, pandemi dapat menambah 83 juta-132 juta penduduk yang rentan pangan di dunia akibat kekurangan gizi pada 2020. Ketahanan pangan menjadi isu yang menguat sejak pandemi Covid-19, tetapi belum menunjukkan gambaran terang dalam solusinya. Hal ini tak lepas dari keraguan terhadap keberhasilan mewujudkan lumbung pangan di lahan gambut. Pada Oktober ini, pemerintah menghidupkan kembali lumbung pangan di atas Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah. Persiapan pembukaan lumbung pangan yang dilakukan cepat sejak April lalu merupakan respons dari sinyal yang disampaikan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Lembaga ini memproyeksi, dunia akan mengalami krisis pangan akibat pandemi Covid-19. Kendati belum terjadi, gejala krisis pangan mulai terlihat dari pergerakan logistik pangan yang terhambat akibat pembatasan mobilitas penduduk dan karantina kesehatan sejak pandemi. Laporan terbaru ”The State of Food Security and Nutrition in the World 2020” dari FAO menyebutkan, pandemi dapat menambah 83 juta-132 juta penduduk yang rentan pangan di dunia akibat kekurangan gizi pada 2020. Kondisi kerentanan pangan di Indonesia tergambar dalam Global Hunger Index 2020, yang menempatkan Indonesia di urutan ke-70 dari 107 negara. Indonesia dikategorikan dalam tingkat kelaparan sedang dengan skor 19,1. Pada tahap awal, program ”Food Estate” akan menggarap lahan 30.160 hektar atau setengah luas Provinsi DKI Jakarta di dua kabupaten. Rinciannya, 10.160 hektar berada di Kabupaten Pulang Pisau berupa sawah dan 20.000 hektar di Kabupaten Kapuas masih berupa rawa. Ada 13 kecamatan di dua kabupaten tersebut. Adapun lahan yang disediakan kedua kabupaten ialah 164.598 hektar. Seluas 85.456 hektar merupakan lahan intensifikasi atau lahan yang sudah dikelola masyarakat, sementara 79.142 hektar merupakan lahan potensial terbengkalai. Setelah tahap awal, pemerintah mengembangkan lagi sedikitnya 148.000 hektar dalam dua tahun ke depan. Harapannya, lumbung pangan (food estate) mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional, bahkan Indonesia dapat mengekspor produk pangan. Namun, pengalaman menunjukkan. pada masa Orde Baru, proyek semacam itu berjalan tanpa memenuhi harapan. Selain itu, dari sisi pasokan, Indonesia diperkirakan masih mengalami surplus pangan padi hingga Februari 2021. KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO Anggota TNI menggunakan traktor besar untuk membajak sawah di Desa Gadabung, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, 10 Oktober 2020. Setidaknya 30.000 hektar lahan disiapkan untuk ditanami padi dan komoditas lainnya dalam rangka program "Food Estate". Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, realisasi luas panen padi sepanjang Januari-September 2020 mencapai 9,01 juta hektar. Luasan produksi padi memang turun 2,97 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang tercatat 9,28 juta hektar. Namun, luas panen periode Oktober-Desember 2020 mencapai 1,78 juta hektar, naik 27,54 persen dibandingkan periode yang sama pada 2019 yang tercatat 1,4 juta hektar. Dengan proyeksi itu, luas panen padi secara total tahun ini mencapai 10,79 juta hektar atau naik 1,02 persen. Dengan capaian luas panen tersebut, BPS memproyeksikan, produksi beras sepanjang 2020 bisa mencapai 31,67 juta ton atau naik 1,1 persen dibandingkan produksi tahun 2019. Sementara itu, konsumsi beras nasional diperkirakan 29,37 juta ton sehingga potensi surplus beras berkisar 2,3 juta ton (Kompas, 16 Oktober 2020). Potensi besar Dari sisi ketersediaan, lahan gambut mempunyai potensi besar sebagai penghasil sumber pangan dunia. Hal ini dimungkinkan karena Indonesia merupakan salah satu negara dengan lahan gambut yang luas, yaitu 21 juta hektar. Luas lahan gambut di Indonesia mencapai 36 persen dari luas lahan gambut tropis dunia (Wetlands International, 2006). Lahan gambut memiliki peranan yang sangat penting baik dalam lingkup lokal, regional, maupun global. Lahan ini juga memiliki fungsi ekologis dengan menjaga keanekaragaman hayati, penyimpan karbon, penghasil oksigen, dan pengelolaan air. Sebagai suatu ekosistem spesifik yang selalu basah, lahan gambut mempunyai peran ekonomi dengan dikembangkan menjadi lahan pertanian. Berdasarkan data Kementerian Pertanian (2018), sekitar 9,3 juta hektar lahan gambut memiliki potensi sebagai basis budidaya padi. Lahan ini berpotensi ditanami berbagai tumbuhan bernilai ekonomi tinggi guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Komoditas tanaman pangan yang dapat dikembangkan yaitu padi dan palawija; tanaman hortikultura seperti jeruk, lidah buaya, dan berbagai sayuran; serta tanaman perkebunan seperti karet, kelapa, kopi, dan kelapa sawit. BIRO PERS ISTANA Presiden Joko Widodo berbincang dengan pengendara traktor di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng, Kamis (8/10/2020). Presiden datang ke wilayah itu dalam rangka pelaksanaan program "Food Estate". Baca juga: ”Food Estate”, Pertanian Kecil dan Ketahanan Nasional Namun, pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian selalu menimbulkan perdebatan, mengingat gambut termasuk sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui (renewable). Selain itu, ada kekhawatiran terjadi kegagalan seperti sebelumnya jika tak dikaji dan dipersiapkan secara matang. Dalam diskusi daring, Eli Nur Nirmala Sari, peneliti dan ahli Restorasi Gambut, World Resources Institute (WRI) Indonesia, mengemukakan, lahan gambut memiliki peluang untuk menambah nilai ekonomi jika dimanfaatkan untuk budidaya pertanian sekaligus melindungi gambut dari kerusakan asal memenuhi syarat dan ketentuan. Syarat itu antara lain praktik budidaya tanaman harus memenuhi kaidah ramah gambut, yaitu tidak merusak ekologi dengan tak mengeringkannya, tidak membakar lahan gambut, dan tak mencemari lingkungan. Selain itu, budidaya sebaiknya dilakukan di zona gambut dangkal (kurang dari 1 meter) dengan memanfaatkan lahan yang sudah diolah sebelumnya dan tak melakukan konversi dari hutan gambut menjadi lahan pertanian. Pemilihan varietas padi agar tumbuh baik dalam kondisi gambut basah sangat penting karena lahan itu harus selalu terjaga tingkat kebasahannya. Selain itu, penggunaan mekanisasi pertanian modern yang akan digunakan dalam proyek lumbung pangan harus aman sehingga tak merusak ekosistem gambut. Perlu diingat, tanah gambut bersifat rentan perubahan (mudah rusak), relatif kurang subur, dan jika kering tidak dapat balik (irreversible drying). Keberlanjutan Mengingat lahan gambut mudah rusak, pemanfaatannya perlu hati-hati agar dapat digunakan secara berkelanjutan. Jika ekosistemnya terganggu, kemampuan serapan air gambut akan menurun dan bisa menyebabkan banjir serta memunculkan gambut kering yang mudah terbakar. Tantangan pengembangan gambut tergolong besar. Hal ini muncul mengingat kondisi lahan rawa memiliki tingkat kesuburan rendah, infrastrukturnya belum berfungsi optimal, serta ancaman serangan hama dan penyakit tanaman masih tinggi. Baca juga: Meski Tuai Banyak Kritik, Program Lumbung Pangan Dimulai Seluruh kebijakan yang diusung pemerintah lewat proyek lumbung pangan harus memenuhi aspek keberlanjutan bagi rakyat. Kebijakan itu tak boleh semata investasi pangan yang hanya fokus pada luasan target. Untuk itu, pemanfaatan teknologi dan sinergi berbagai pihak perlu dioptimalkan. Keterpaduan aspek biofisik lahan, sosial ekonomi dan lingkungan serta kolaborasi semua pihak dibutuhkan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat lewat lumbung pangan yang berkelanjutan. Sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional, pemerintah perlu menyampaikan ke publik kajian program Lumbung Pangan di Kalteng. Hal ini penting dilakukan untuk menjawab kekhawatiran terulangnya proyek serupa di masa lalu yang kandas dan hanya menyisakan kerusakan gambut serta masalah sosial. |
Kembali ke sebelumnya |