Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Mau Menjadi Petani Muda, Tampan, dan Terkenal?
Tanggal 14 Oktober 2020
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi IV
Isi Artikel

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/I75wVo7f9-pTIYExBn-QfqC0W7k=/1024x768/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F07%2FIMG-20200603-WA0056_1594558605.jpgARSIP PRIBADI

Rayndra Syahdan Mahmudin merintis menjadi petani muda sejak duduk di bangku SMKN Ngablak Magelang, Jawa Tengah.

Wajah dunia pertanian  menjadi segar dengan masuknya anak-anak muda  sebagai petani dan peternak. Mereka bergelut dengan tanah dan kandang. Pada saat bersamaan mereka memanfaatkan internet untuk membuat  terobosan bisnis. Inilah kisah petani muda Indonesia era digital.

Salah seorang di antara mereka adalah Rayndra Syahdan Mahmudin (24), petani muda lulusan Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang yang kini sedang menempuh pendidikan S-2 di Yogyakarta. Ia bangga dengan identitasnya sebagai petani. Kebanggaan itu tecermin dari tulisan-tulisan di kausnya. Ada kaus bertuliskan ”Peternak, Pemuda Terkenal dan Kece”, ”Petani, Pemuda Idaman Masa Kini”, ”Yo Ngarit, Yo Ngopi”, ”Bangga Jadi Peternak Indonesia”, dan ”Ayo Beternak”. Di bagian belakang kaus khas Rayndra selalu tertera Cipta Visi Group PWMP Kementan, nama usaha yang didirikan Rayndra.

”Aku punya 22 kaus dengan beragam slogan. Ini supaya percaya diri jadi peternak dan petani milenial. Sekalian mengajak anak muda lain melirik usaha pertanian dan peternakan di desa yang potensi  ekonominya besar,” ujar Rayndra, Minggu (11/10/2020).

Sebagai petani, penampilan Rayndra tergolong keren. Kausnya cenderung melekat di tubuh, pakai jam tangan modis, dan celana panjang yang tidak lusuh. Kadang ia mengenakan sepatu but selutut ketika bekerja di kandang, kadang memakan sneaker. Ia  jauh dari citra petani yang kotor dengan tanah dan kulitnya terbakar matahari.

Begitulah Rayndra sehari-hari, apalagi saat menerima tamu yang berkunjung ke kandang ternaknya atau ketika berbicara di webinar. Intinya, ia jauh dari citra petani yang kotor dengan tanah dan kulitnya terbakar matahari.

Usaha peternakan ini dirikan Rayndra bersama temannya semasa kuliah diploma IV/setara S-1 di Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian Magelang, di bawah Kementerian Pertanian pada  2016. Ia terjun ke bidang ini karena melihat potensi penjualan sapi, domba, dan kambing yang tak pernah putus. Ada permintaan untuk akikah, hari raya kurban, dan untuk kebutuhan konsumsi daging.

Sebagai anak muda yang hidup di era internet, ia memanfaatkan teknologi itu untuk menjajakan ternaknya. Dengan begitu, pasar usahanya lintas daerah. Lewat internet pula ia bisa berjumpa investor nun jauh di sana dan pihak pemerintah. Ia bercerita, ada investor dari Papua yang tidak pernah bertemu secara fisik, tapi bersedia memercayakan modal Rp 100 juta kepadanya.

”Kami menawarkan peternakan yang sederhana dan murah, tapi tetap memenuhi standar atau SOP. Nah, itu ada ilmunya. Kami bawa inovasi yang membumi kepada petani atau peternak,” ujar Rayndra.

Kini, peternakannya maju pesat. Jumlah ternaknya mencapai  700 kambing dan 20 sapi yang tersebar di beberapa kandang di  Desa Sidorejo, Desa Ngadirejo, Desa Pangarengan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Ia juga memiliki usaha lain, yakni penggilingan pencacah sampah plastik dengan kapasitas 5 ton per minggu. Aset perusahaan kini mencapai sekitar Rp 3 miliar.

Rayndra yang terasah jiwa wirausaha semasa SMK terbiasa turun langsung. Dia terbiasa bangun subuh dan berkegiatan di kandang. Rayndra rutin  membuat pakan fermentasi dengan memanfaatkan hasil panen tanaman jagung, kulit kedelai, dan singkong.

”Biaya pakan termasuk besar untuk peternakan. Saya dapat ilmu untuk membuat pakan fermentasi dari limbah pertanian,” katanya.

Budidaya ”magot”

Di Desa Penggung, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, ada peternak muda yang tak kalah keren. Dialah Muhammad Jafar Khoerudin (26), lulusan Ilmu Pangan dan Teknologi Pangan Universitas Sebelas Maret. Dua tahun terakhir, ia membudidayakan magot atau black soldier fly/BSF (Hermetia illucens) dengan skala industri lewat perusahaan BSF Boyolali.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/mq86gZQ7XVGjmyQ9WsyfqRJmkCU=/1024x610/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2FIMG-20201013-WA0002_1602571381.jpgDOKUMENTASI PRIBADI

Muhammad Jafar Khoerudin (26) merintis budidaya magot BSF berskala industri di Boyolali, Jawa Tengah.

Setelah lulus dari UNS pada 2017, Jafar sempat mengikuti program magang kerja di Jepang sekitar delapan bulan. Setelah kembali ke desa ia merasa galau. Ia bingung memilih bekerja di kantor atau  berwirausaha. Namun, suara hatinya mengajak ia merintis usaha di bidang pertanian.

Setelah membaca beberapa jurnal ilmiah, ia menemukan inspirasi untuk terjun sebagai pembudidaya magot. Ia berpikir, magot tidak hanya menghasilkan uang, tetapi juga  sekaligus menyelesaikan masalah sampah.

Budidaya magot—semacam lalat—-terasa aneh karena belum pernah ada di Boyolali. Keluarga Jafar bahkan ikut mempertanyakan  pilihan usaha itu. Terlebih mereka ingin Jafar bekerja PNS. Keluarga melihat usaha itu terasa tak sepadan dengan gelar sarjana dan pengalaman kerja di Jepang yang dibawa pulang Jafar ke desa.

Jafar bergeming. Ia tetap terjun sebagai peternak magot. Sejak saat itu, setiap hari ia berkutat dengan bak-bak plastik yang diisi telur magot dan cacahan sampah organik, lalu disusun di rak. Seorang diri dia merawat lalat magot supaya bertelur, lalu ia pindahkan ke sampah organik yang sudah dicacah halus.

Tumpukan sampah organik datang ke kandang sekitar pukul 07.00. Jafar sudah mulai siap-siap menggiling sampah untuk pakan magot. Untuk tiap 100 kilogram magot, dibutuhkan 300 kilogram sampah. Seharian Jafar memastikan magot terawat dengan baik supaya menghasilkan telur. Terkadang dia gagal.

Aku harus membuktikan kalau pilihanku berhasil. Aku belajar otodidak.

”Aku harus membuktikan kalau pilihanku berhasil. Aku belajar otodidak,” ujar Jafar yang melangkah dengan modal awal berupa uang hasil magang di Jepang sekitar Rp 100 juta dan lahan 100 meter persegi sebagai kandang budidaya magot.

Setelah empat bulan, magot berhasil dipanen. Hasil panen magot yang tampak seperti belatung itu ada yang dijual segar atau kering, dikenalkan sebagai pakan untuk peternak ikan lele, ayam, dan bebek. Dari situ ia mencetak rupiah. Setelah delapan bulan, usahanya berkembang hingga ia memiliki 10 karyawan. Kini, usahanya tersebar di lima titik desanya.

Hasil panen magot meningkat hingga 500 kilogram hingga 1 ton. Magot diolah untuk pakan ternak, dan pupuk pertanian organik. Kini ada lahan 1 hektar  yang dikembangkan sebagai integrated farming atau pertanian organik terintegrasi di Boyolali dengan memakai pupuk organik magot. Bahkan, Jafar mulai melirik pasar ekspor karena ada permintaan magot untuk bahan makanan hingga kosmetik.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/Ced7RfXRpgl7sjp1dkpMz0O-9go=/1024x868/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2FIMG-20201013-WA0001_1602571521.jpgDOKUMENTASI PRIBADI

Muhammad Jafar Khoerudin (26) membudidayakan magot BSF yang dikembangkan menjadi berbagai produk untuk mendukung pertanian dan peternakan organik.

Sementara itu, pilihan hidup sebagai petani diambil tiga anak muda dari  Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, yakni Handoko (23), Dani Zaki Fauzan (20), dan Andra Hasan Asrofi (20). Awalnya, mereka mengumpulkan kotoran luwak pada 2016. Dengan panduan teman dan beberapa akun Youtube, ia mengolah 1 kilogram kotoran itu jadi kopi luwak seberat Rp 800 gram. Ketika dijual laku Rp 200.000. Pembeli mengatakan, kopi luwak mereka enak.

Dari situlah, mereka terlecut menjadi petani kopi.  Pada 2017, mereka benar-benar terjun sebagai petani dengan memanfaatkan 50 batang tanaman kopi peninggalan kakek Dani dan seorang petani lain. Setahun kemudian, mereka mengembangkan kemampuan bertani melalui pelatihan dan pengembangan program petani binaan. Kini, di areal masing-masing, mereka membudidayakan  200 tanaman kopi Arabika dan menjadi pembeli kopi hasil panen lima petani binaan.

Bagi ilmu

Kesuksesan petani dan peternak muda itu membuktikan bahwa pertanian di desa punya potensi ekonomi besar yang bisa digali. Rayndra mengatakan, anak muda membawa semangat inovasi yang membumi sehingga pertanian bisa menghasilkan secara ekonomi dan mengemasnya secara menarik.

Banyak peluang kerja yang terbuka dari hulu ke hilir. Mereka membangun Rumah kreatif untuk wadah anak muda belajar pertanian dan peternakan, baik yang mau bergelut sebagai petnai/peternak, maupun yang mau pemasaran daring, hingga desain untuk produk pertanian yang cozzy menembus pasar yang lebih luas.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/SlyJr4zu9eZEF9HgHCgy53B20ik=/1024x685/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F20201012egiC-petanikopi_1602498673.jpgKOMPAS/REGINA RUKMORINI

Aktivitas meracik kopi di Omah Kopi, Desa Gondangsari, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Senin (12/10/2020).

Jafar memiliki pandangan serupa. Bagi dia,  petani adalah  ujung tombak negara. Kalau bisa berinovasi tidak habis produk pertanian yang bisa dihasilkan dengan nilai jual bagus. Anak muda tentunya bisa melirik potensi yang ada di pertanian dengan rasa bangga karena ada ilmu dan inovasi yang ditawarkan.

Pemahaman itulah yang coba ditularkan oleh Rayndra, Jafar, Andra, Dani, dan Handoko lewat aneka kegiatan dan pelatihan. Rayndra, misalnya, rajin membagi pengetahuan dan pengalaman beternak lewat akun Youtube miliknya yang kini memiliki 72.000-an subcribers. Ia juga mengajak anak-anak muda di desanya dan di mana saja untuk terjun sebagai peternak.

Guna memotivasi pemula, baik anak muda maupun masyarakat desa, untuk beternak, Rayndra juga menularkan ilmu membuat kandang yang murah dengan memanfaatkan bahan-bahan bekas. Ia memberi  tips mendapatkan bibit ternak yang murah, tetapi dengan pemeliharaan yang baik, bibit itu  bisa sehat dan terjual dengan harga pasar yang baik.

Di sela-sela kesibukan beternak magot, Jafar rajin memberikan pelatihan bagi mahasiswa, kalangan industri, dan pemerintah daerah terkait potensi magot. Pesertanya tidak hanya datang dari Boyolali, tapi juga Yogyakarta, Tangerang, Klaten, dan daerah lain.

”(Kini) Anak muda mulai tertarik  dengan magot. Aku masuk dengan keilmuan. Magot ini punya potensi untuk bahan kosmetik dan makanan bergizi. Ini butuh riset dan bisnisnya menjanjikan,” ujar Jafar meyakinkan.

Sementara itu, Andra, Dani, dan Handoko berusaha melibatkan lebih banyak orang  untuk menanam dan merintis usaha kopi. Sejak  2018, mereka  mengembangkan bibit kopi dan membagikan bibit itu secara gratis kepada siapa pun yang ingin membudidayakan kopi, terutama  warga sekitar yang mayoritas petani sayur.

Mereka juga membuat kafe kecil bernama  Omah Kopi di kampung halaman mereka di Desa Gondangsari, Kecamatan Pakis, sejak September lalu. Mereka berharap warung itu bisa jadi pemantik semangat bagi siapa pun yang melihat, terutama kalangan pemuda setempat.

Omah Kopi yang baru berusia 15 hari ini, dibangun dengan memanfaatkan sepetak tanah pekarangan kosong di bagian samping rumah Dani. Selain untuk membuktikan keseriusan, totalitas mereka dalam menggeluti kopi, warung ini diharapkan juga dapat menjadi pemantik semangat bagi siapa pun yang melihat, terutama kalangan pemuda setempat.

”Dengan membuka kafe ini, kami sekaligus membuka kesempatan bagi siapa saja untuk bergabung, dan bekerja sama. Omah Kopi siap untuk sekaligus difungsikan sebagai taman bacaan, ruang pamer barang-barang kerajinan, dan siap pula membantu mempromosikan produk makanan olahan dari warga,” ujar Handoko.

Hei anak muda siapa yang mau bertani dan beternak? Kalian bisa kok jadi petani muda yang trendi, tampan, dan terkenal.

  Kembali ke sebelumnya