Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Kebangkitan Neo-pertanian
Tanggal 28 September 2020
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi IV
Isi Artikel

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/4Sn0-Tva3xtUKNYOUUczvm7rI4s=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2F32fd8c0a-6965-4f8b-be67-751ca0fea001_jpg.jpgKOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Personel SAR membagikan sayuran gratis kepada warga di kawasan pusat Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Selasa (15/9/2020). Selain untuk membantu masyarakat memenuhi kebutuhan gizi selama pandemi, kegiatan tersebut juga untuk membantu perekonomian petani sayur yang berbagai harga jual hasil panennya saat ini sedang rendah.

Krisis dan keterpurukan acap kali mendorong kebangkitan. Kalimat itu mungkin terlintas di pikiran banyak orang hari ini. Di saat pandemi membuat banyak hal menjadi tak mudah untuk didapatkan, setidaknya pangan masih tersedia. Seburuk-buruknya kondisi yang kita hadapi, masih ada yang bisa kita makan. Semua itu karena perjuangan petani.

Hari Tani Nasional yang diperingati setiap 24 September membuat kita mengenang sejarah perjuangan petani untuk mendapatkan kebebasan dari penderitaan. Perjuangan melawan kolonialisme yang telah merampas hak asasi rakyat hampir seabad lamanya akibat Agrariche Wet 1870.

Baca juga: 150 Tahun Belenggu atas Hak Tanah

Melalui Keppres Nomor 169 Tahun 1963 tentang Hari Tani, kepedulian negara terhadap kehidupan petani mulai diwujudkan. Namun, selama bertahun-tahun pula pemerintah memilih jalan termudah untuk meredam masalah pangan. Solusi impor pangan menunjukkan bahwa pemerintah semakin tidak peduli terhadap nasib petani.

Krisis dan keterpurukan acap kali mendorong kebangkitan.

Harga pangan tinggi yang seharusnya bisa dinikmati petani diikuti dengan kebijakan untuk segera melakukan operasi pasar sehingga harganya anjlok. Dan ini berlangsung selama puluhan tahun sejak Indonesia merdeka. Jadi, sejatinya para petani belum pernah merasakan kemerdekaannya.

Kesenjangan terlihat begitu besar, antara kesejahteraan petani dan tenaga kerja industri. Akhirnya sektor pertanian menjadi penyumbang kemiskinan yang signifikan. Padahal, kita sebagai bangsa Indonesia selalu bangga dengan klaim negara agraris meskipun berdasarkan Global Food Security Index 2019, indeks ketahanan pangan Indonesia di bawah 50 (skor 0-100) dan berada pada urutan ke-62 dari 113 negara.

Baru-baru ini, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) memperingatkan, pandemi Covid-19 berpotensi memicu kelangkaan dan darurat pangan. Menjawab tantangan ini Indonesia tiba-tiba tampil membuktikan keandalan sektor pertanian sebagai penopang ekonomi nasional selama pandemi.

Baca juga: Tantangan 60 Tahun Hari Tani

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/qJYMWl_KjQVP6cFavxfVNQJXXFk=/1024x683/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2F20200810183726_IMG_0916_1599568396.jpgKOMPAS/NIKSON SINAGA

Petani bekerja di ladang sayur-sayuran di Kabupaten Karo, Sumatera Utara, Senin (10/8/2020). Sektor pertanian menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Sumut di tengah pandemi Covid-19.

Memuliakan petani

BPS merilis data ekspor hasil pertanian sebagai satu-satunya yang positif menurut sektor, meningkat 9,92 persen selama Januari-Juli 2020. Fakta ini menunjukkan optimisme pelaku bidang pertanian di masa pandemi. Namun, lonjakan data ekspor tanpa kemampuan petani berdiri di atas kaki sendiri menjadikan kemerdekaan petani masih jauh panggang dari api.

Tentu kita tidak ingin semua ini terjadi. Fakta di lapangan, banyak kendala yang dialami petani untuk menyalurkan hasil panennya. Pasar tradisional yang singkat waktu operasionalnya. Bahkan, sejumlah pasar ditutup karena pedagangnya positif Covid-19. Akibatnya, petani terpaksa menjual hasil panennya kepada tengkulak.

Harga murah kemudian tak menjadi persoalan karena yang penting hasil panen terjual. Rantai panjang distribusi ini semestinya diputus supaya angan petani untuk mendapatkan laba yang pantas tidak serta-merta pupus.

Harga murah kemudian tak menjadi persoalan karena yang penting hasil panen terjual.

Di sisi lain, implementasi normal  baru yang secara eksplisit banyak mengubah pola masyarakat dalam memenuhi dan mengakses pangannya harus dijadikan momentum untuk mengambil alih pasar yang selama ini dikuasai tengkulak beserta rantai panjang distribusinya. Sebab, tak dimungkiri selama ini petani selalu dipermainkan tengkulak dan hanya bisa menerima dengan pasrah.

Distribusi pangan dari petani hingga ke konsumen secara langsung, secara swadaya, dan masif mulai menggeliat di saat pandemi. Kecanggihan teknologi informasi telah menggeser budaya masyarakat, dunia dalam genggaman menjadi keniscayaan, menjadikan semua urusan menjadi mudah. Semuanya tinggal klik.

Baca juga: Pertanian Tanpa Petani

Media sosial saat ini menjadikan petani lebih mudah menjual hasil panennya. Bahkan, saat ini telah banyak aplikasi yang menghubungkan antara petani dan konsumen urban, seperti Agromaret, TaniHub, RegoPantes, Tortora, Talad, Paktani Digital, LimaKilo, TukangSayur.co, Tuku Sayur, Sayur Rumahan, Kecipir, dan masih banyak lainnya.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/NmPhsDK1xRgtqim7xZx8-4XCTds=/1024x575/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2Ffresh-food_1599355838.jpgKOMPAS

Aplikasi FreshFood ID tidak hanya membantu mempertemukan antara petani dan konsumen tetapi memberikan pengetahuan bagi petani terkait komoditas yang berpotensi meningkatkan nilai jual.

Online shop, marketplace, dan e-commerce berkembang pesat. Namun, yang paling penting adalah menjaga harga pangan, mulai dari petani hingga konsumen. Ketahanan petani harus diperkokoh sehingga harga yang diperoleh petani tidak jauh berbeda dengan harga pasaran.

Negara perlu serius turun tangan memberikan perhatian dan fasilitas bagi para petani, peneliti dan industri, serta menjadi titik temu sehingga semuanya memiliki program kerja yang terintegrasi.

Kita tidak bisa memungkiri perkembangan pertanian 4.0 tidak bisa dicegah, bagaimana sekarang petani di berbagai belahan dunia bisa memanfaatkan robot, drone yang lengkap dengan sensor untuk memantau kondisi sawah, mengatur irigasi, serta menjaga tanaman dari hama dan penyakit. Bahkan, semuanya bisa dilakukan dengan mudah dari rumah.

Baca juga : Basis Pertahanan Berdaulat Pangan

Meskipun begitu, era neo-pertanian masih menyisakan banyak pertanyaan. Mengingat mayoritas petani kita berumur tua dengan tingkat pendidikan yang rendah.

Tan Malaka pernah berkata, ”Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan terlalu pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali.”

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/D9Wazq9Smf561Kni0EWwMY2djyk=/1024x1024/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F09%2Fdownload_1601248275.jpgRESEARCHGATE.NET

Bagus Herwibawa

Mari kita bersinergi untuk menghormati dan memuliakan profesi petani sehingga tidak lagi terkesan sebagai profesi yang suram, miskin dan tidak punya masa depan. Supaya anak muda tidak berpikir berulang kali untuk menjadi petani.

Bagus Herwibawa, Dosen Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro.

  Kembali ke sebelumnya