Isi Artikel |
Jusuf Kalla Mengakui Amnesti Pajak Bermasalah
JAKARTA - Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan pelaksanaan program pengampunan pajak alias tax amnesty bermasalah. Salah satu masalah berkaitan dengan sosialisasi yang belum jelas kepada masyarakat. "Sosialisasi tentu harus lebih jelas," kata Kalla saat ditemui di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, kemarin.
Program amnesti pajak banyak dikeluhkan karena dianggap menyasar pensiunan, petani, dan rakyat kecil lainnya. Warga yang selama ini taat membayar pajak namun keliru ketika mengisi surat pemberitahuan tahunan juga terkena aturan tebusan tax amnesty. Padahal, kata Kalla, sasaran utama program ini adalah pengusaha dan pemilik aset besar yang tidak membayar pajak. "Ini pengampunan dosa. Jadi, kalau tak dipakai silakan, tapi akibatnya di belakang hari besar," ujarnya.
Mulai 2018, menurut Kalla, Indonesia dan sejumlah negara lain memberlakukan kesepakatan pertukaran informasi pajak. Dengan cara ini, siapa pun yang menyembunyikan aset di luar negeri bakal terlacak dan bisa ditagih pajaknya. Ini berbeda dengan program tax amnesty, yang memungut tebusan 2 persen, 3 persen, dan 5 persen untuk repatriasi aset mulai Juli 2016 hingga Maret 2017. Pada 2018, para wajib pajak yang kedapatan menyembunyikan aset akan diwajibkan membayar tebusan hingga 200 persen dari nilai hartanya.
Komisi Keuangan DPR meminta Kementerian Keuangan memperbaiki implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Amnesti Pajak. Perlu ada upaya persuasif, termasuk membuat instrumen investasi yang menarik. "Harus ada contoh dari pejabat mengikuti program ini," kata Ketua Komisi Keuangan DPR Melchias Markus Mekeng.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Ken Dwijugiasteadi menuturkan, rendahnya pencapaian target juga disebabkan adanya wajib pajak peserta tax amnesty yang belum membayar tunggakan. Jumlah tunggakan dalam amnesti pajak mencapai sepertiga dari target total penerimaan. "Yang menunggak ini masih besar, hampir Rp 57 triliun,” ucap Ken.
Kemarin, Kementerian Keuangan menerbitkan peraturan untuk memfasilitasi wajib pajak yang memiliki saham di perusahaan cangkang di luar negeri (special purpose vehicle/ SPV) untuk mendapat pengampunan pajak. Dalam peraturan ini disebutkan, wajib pajak harus melepaskan hak kepemilikan pada SPV-nya. Proses pengalihan harta dilakukan menggunakan acuan nilai buku. "Ini jalan keluar bagi wajib pajak besar,” kata Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo.
Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sofjan Wanandi, mengklaim ada 120 anggota asosiasinya yang mengikuti program ini. "Sekitar 70 persen dari target repatriasi Rp 1.000 triliun akan tercapai di bulan September," ujarnya.
Pengusaha lambat memulangkan aset, menurut Sofjan, karena mereka harus mengurus administrasi yang rumit, melunasi utang di bank luar negeri, dan membayar tunggakan pajak. Ia khawatir akan kinerja petugas pajak. "Melayani satu wajib pajak bisa satu jam, bagaimana kalau mereka berbondong-bondong.” AMIRULLAH | ANGELINA ANJAR | PUTRI ADITYOWATI | ANDI IBNU
|