Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Banjir dan Pandemi
Tanggal 05 Maret 2021
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi IV
Isi Artikel

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/6xJBoYgUKs4yT6OqDXfiWM4fy3M=/1024x576/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2021%2F02%2Ff4c5cbb3-25e3-4c1d-b00c-2114360c3b6b_jpg.jpgKOMPAS/ADITYA PUTRA PERDANA

Banjir masih menggenang di salah satu jalan dekat Jalan Kaligawe, Kecamatan Gayamsari, Kota Semarang, Jawa Tengah, Jumat (26/2/2021). Banjir yang dipicu hujan lebat pada Selasa (23/2/2021) sore kian meninggi pada Kamis (25/2/2021). Pada Jumat siang hingga sore, meski cuaca cerah, genangan di wilayah tersebut belum surut signifikan.

Tanpa pandemi, banjir sudah menimbulkan penderitaan, apalagi sekarang. Banjir terjadi saat pandemi Covid-19 sehingga penanganan harus sangat hati-hati.

Pandemi tidak bisa diprediksi, terjadi begitu saja langsung menyerang kehidupan. Namun, banjir sangat bisa diprediksi dan dimitigasi. Membuang sampah sembarangan, penumpukan lumpur di selokan, dan penutupan selokan dengan cor semen permanen membuat air tidak mengalir. Intinya, banjir bisa diantisipasi sejak dini.

Pada musim kemarau justru mudah membersihkan selokan. Harusnya ini diwajibkan pada setiap orang, di depan rumah masing-masing. Instansi terkait bekerja bakti pada selokan jalan umum/jalan milik negara. Ibarat pepatah, upaya ini sedia payung sebelum hujan.

Perilaku besar pemicu banjir, termasuk eksploitasi hutan, baik legal maupun ilegal. Pohon sebagai habitat alam ditebang tanpa reboisasi, tanah diratakan, dan tanpa sistem drainase. Padahal, setiap perusahaan hak pemegang usaha hutan mestinya dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Tanpa kelengkapan dokumentasi dan tanpa pelaksanaan sesuai dokumentasi, perusahaan tidak boleh beroperasi.

Aktivitas pengembang juga menyumbang bencana banjir. Banyak pengembang membangun perumahan di daerah resapan atau penyangga air atau spesifikasi rumah tidak memenuhi syarat namun dipaksakan. Untuk kasus ini terkait dengan birokrasi. Kalau instansi yang berwenang memeriksa dengan rinci dan penerbitan izin sampai pengawasan pelaksanaan pembangunan sesuai prosedur, kasus perumahan terendam banjir minimal.

Dampak banjir signifikan bagi yang terkena. Korban bisa kehilangan tempat tinggal, barang berharga, rusak atau hanyut, aktivitas terbengkalai, dan mobilitas terganggu. Kerugian non-material lebih berat karena produktivitas menurun, memicu sumber penyakit, waktu terbuang percuma, dan beban psikologis jika ada korban jiwa.

Karena banjir sebagai peristiwa alam bisa diprediksi dan dicegah, berbagai upaya preventif perlu dilakukan. Dampak negatif bisa diantisipasi atau diminimalkan. Jika sikap terhadap gejala alam yang kasatmata sulit, bagaimana sikap terhadap hal tidak kasatmata.

Yes Sugimo

Jalan Melati Raya, Melatiwangi Cilengkrang, Bandung

 

Banjir dan Refleksi

 

Banjir yang terjadi di banyak provinsi Indonesia menjadi bukti berkurangnya wilayah hutan sebagai daerah tangkapan air.

Meskipun banyak ahli berpendapat bahwa sebab banjir adalah faktor anomali cuaca dalam bentuk curah hujan yang ekstrem, akar masalah banjir tetap terkait dengan kerusakan hutan yang masif.

Peter Boomgard (1999) menulis, pada dekade 1840 para ilmuwan Hindia Belanda telah meningkatkan adanya ancaman deforestasi, yang dapat mengurangi jumlah pasokan air untuk irigasi dan menyebabkan terjadinya banjir. Peringatan itu terkait kekhawatiran gagal panen dan bisa menimbulkan kerugian besar.

Sayangnya, sampai hari ini penyusutan luasan hutan terus terjadi. Akibatnya, alam yang rusak terus membawa petaka bagi kehidupan. Yang terjadi tidak hanya banjir, tetapi juga banjir bandang, bahkan tanah longsor.

Sepanjang Januari hingga awal Februari 2021, setidaknya telah terjadi 232 bencana banjir dan 62 tanah longsor. Pekan kedua Februari, banjir dan tanah longsor kembali terjadi di pelbagai wilayah, terparah di Nganjuk, Jawa Timur.

Banjir menjadi muara dari lingkaran krisis ekologis yang akan terus berlangsung kalau tidak ada upaya memutusnya. Kebijakan ekologis (eco-justice policy) harus menjadi fokus untuk merekonstruksi pembangunan Indonesia ke depan.

Jika keseimbangan ekosistem terjaga, rakyat akan terbebas dari bencana. Realisasi kesejahteraan hidup masyarakat juga terwujudkan.

Haris Zaky Mubarak, MA

Jaringan Studi Indonesia, Cokrokusuman, Yogyakarta

  Kembali ke sebelumnya