Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Audit Keamanan Bangunan Sekolah dari Ancaman Gempa
Tanggal 24 Nopember 2022
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi V
Isi Artikel

Gempa bermagnitudo 5,6 di Cianjur, Jawa Barat, merusak ratusan sekolah. Kerusakan ini menunjukkan kerentanan bangunan sekolah menghadapi guncangan gempa sehingga mendesak untuk diaudit.

Oleh TATANG MULYANA SINAGA

JAKARTA, KOMPAS — Ratusan sekolah rusak akibat gempa bermagnitudo 5,6 di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Senin (21/11/2022). Lebih dari 30 siswa meninggal tertimpa reruntuhan bangunan. Audit bangunan sekolah mendesak dilakukan untuk memastikan keamanannya dari ancaman gempa.

Berdasarkan data Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana (Seknas SPAB) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), lebih dari 500 gedung satuan pendidikan, mulai dari tingkat PAUD (pendidikan anak usia dini) hingga perguruan tinggi, rusak diguncang gempa di Cianjur. Kerusakan bervariasi, mulai dari kerusakan ringan, sedang, hingga berat. Sebanyak 31 pelajar meninggal.

Kerusakan ini menunjukkan kerentanan bangunan sekolah menghadapi guncangan gempa. Kualitas konstruksi gedung menjadi salah satu faktor penting untuk meminimalkan dampak kerusakan dan korban akibat gempa.

Oleh sebab itu, pemerintah daerah didorong menguji kelaikan bangunan sekolah demi menjamin keamanan siswa dan warga pendidikan lainnya. ”Bagaimana agar gedung (sekolah) yang baru berdiri dibangun memenuhi kaidah keamanan dan keselamatan. Sementara sekolah yang sudah dibangun perlu diaudit untuk mengecek kekuatannya,” ujar Tenaga Ahli Seknas SPAB Kemendikbudristek Jamjam Muzaki, Kamis (24/11/2022).

Jamjam menuturkan, audit dibutuhkan untuk memetakan kualitas kekuatan gedung sekolah. Sebab, terdapat sekolah yang sudah berusia di atas 20 tahun sehingga ketahanan bangunannya menyusut.

Kekuatan konstruksi bangunan dapat mengurangi dampak kerusakan akibat guncangan gempa. Hal ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga pihak lain karena sejumlah sekolah dimiliki yayasan atau swasta.

”Ini sangat mendesak karena sampai saat ini belum ada metodologi yang bisa memprediksi kapan terjadi gempa. Jadi, kesiapsiagaan harus setiap saat, termasuk keamanan bangunan,” ujarnya.

Selain pendekatan infrastruktur, manajemen penanganan bencana perlu diintensifkan. Tujuannya, untuk memastikan kesiapan sarana pendukung dan pemahaman siswa saat terjadi gempa.

Oleh karena itu, setiap sekolah wajib memiliki prosedur standar operasi (SOP) penanganan bencana. SOP ini meliputi tindakan siswa saat gempa terjadi hingga menuju titik evakuasi.

”Agar terbiasa, terlatih, dan tidak panik, penting melakukan simulasi secara rutin, minimal sekali dalam satu semester. Jadi, ketika terjadi gempa tidak langsung lari, melainkan berlindung di bawah meja atau tempat lain untuk menghindari reruntuhan,” tuturnya.

Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Suharti menyampaikan, pada tahap awal tanggap darurat gempa di Cianjur, pihaknya telah menyalurkan 34 tenda kelas darurat, 20 tenda keluarga, 185 paket keluarga tanggap darurat, dan 1.321 paket perlengkapan belajar siswa. Ada juga 15 set alat permainan edukatif PAUD, 100 set meja lipat, sembako, pakaian, dan obat-obatan untuk warga sekolah serta donasi uang.

Hingga Kamis, gempa di Cianjur telah menyebabkan 271 orang tewas, 2.043 orang luka-luka, dan lebih dari 61.000 warga mengungsi. Sebanyak 40 orang belum ditemukan. Gempa juga merusak 56.000 rumah dengan 22.000 rumah di antaranya rusak berat.

Penyelidik bumi madya Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi, Supartoyo, mengatakan, audit bangunan sangat dibutuhkan untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak. Selain itu, memastikan faktor-faktor lain, seperti jalur evakuasi, tersedia sehingga memudahkan untuk menyelamatkan diri.

”Audit bangunan sekolah sangat perlu, terutama di kawasan rawan gempa. Untuk bangunan bertingkat, upayakan tangganya tidak hanya satu karena akan menyulitkan saat evakuasi,” katanya.

Supartoyo menambahkan, optimalisasi upaya mitigasi juga harus didukung oleh regulasi yang tegas. Dengan begitu, pembangunan di kawasan bencana dengan tingkat kerawanan tinggi bisa dicegah.

”Pemda harus lebih peduli agar pembangunan dilakukan di daerah dengan kerawanan bencana rendah. Tanpa regulasi mengikat, kejadian bencana yang memakan banyak korban jiwa akan terus berulang,” ujarnya.

  Kembali ke sebelumnya