Judul | Transportasi Publik Masa Depan Pasca Pandemi |
Tanggal | 13 Desember 2022 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 6 |
Kata Kunci | Pengangkutan |
AKD |
- Komisi V |
Isi Artikel | Merespons tantangan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, terutama di sektor transportasi, kendaraan listrik muncul sebagai pilihan pertama untuk dikembangkan dan diproduksi secara masif, terutama menjelang 2030. Oleh BUDI KARYA SUMADI ”Enam puluh persen kendaraan listrik di dunia akan bergantung pada ekosistem baterai yang sedang dibangun secara terintegrasi di Indonesia.” Demikian Presiden Joko Widodo pada Kompas100 CEO Forum di Istana Negara baru-baru ini. Di sektor transportasi, penggunaan baterai kendaraan listrik menjadi alternatif utama dalam transisi menuju energi bersih. Secara umum perkembangan teknologi transportasi mengikuti perkembangan teknologi industri sejak revolusi industri pertama hingga saat ini, yakni revolusi industri 4.0. Perkembangan pesat teknologi digital dan dorongan kuat pengembangan teknologi rendah karbon atau berbasis energi bersih secara bersama-sama tengah memberi warna terhadap perkembangan transportasi. Transportasi berbasis rel, misalnya, telah mengalami evolusi yang panjang sejak tahap awal hingga tahap yang jauh lebih maju saat ini. Kereta api bermesin uap pertama berjalan di atas rel dengan kecepatan relatif lambat pada era revolusi industri pertama dengan rute Liver- pool-Manchester (Inggris) pada 1830. Kini muncul kereta api maglev (magnetic levitation) atau transrapid yang supercepat dan supercanggih berbentuk peluru (bullet train), seperti di Jerman, China, dan Jepang (Shinkansen) yang berkecepatan hingga 600 kilometer/jam, serta merupakan representasi teknologi revolusi industri 4.0. Baca juga : Ekosistem Kendaraan Listrik Perlu Dibangun Secara Holistik
Demikian pula teknologi otomotif berkembang mengikuti jalur revolusi industri, dari bentuk mobil bermesin gas yang amat sederhana temuan Karl Benz pada 1886 hingga mobil berteknologi tinggi di era revolusi industri 4.0, seperti BMW 5 Series, Rolls Royce Wraith, Volvo S90, Corvette Stingray, Honda Odyssey, Ford Mustang, dan Tesla Model S. Di antaranya merupakan mobil-mobil listrik yang dilengkapi dengan fitur-fitur keselamatan, seperti sistem deteksi pinggir jalan, pejalan kaki, pesepeda, dan binatang, serta sistem rem otomatis (auto braking) yang terus aktif hingga kecepatan 130 kilometer/jam. Kendaraan listrik Merespons tantangan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca, terutama di sektor transportasi, kendaraan listrik muncul sebagai pilihan pertama untuk dikembangkan dan diproduksi secara masif, terutama menjelang 2030. Hal ini sejalan dengan agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Dalam hal ini, bus-bus listrik memperoleh momentum awal untuk dikembangkan sebagai sarana transportasi publik, menggantikan bus-bus umum yang berbahan bakar fosil, termasuk BBM dan gas. BRT Transjakarta dan Perum Damri, misalnya, telah mulai menggunakan bus-bus listrik. Meski masih dalam skala amat kecil, kita telah mampu menunjukkan diri sebagai negara produsen bus listrik dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) cukup tinggi. Puluhan bus listrik Merah Putih karya putra bangsa telah dibuat di PT INKA Madiun sebelum penyelenggaraan KTT G20 di Bali. Bus listrik Merah Putih ini merupakan hasil kolaborasi antara industri (PT INKA) dengan konsorsium perguruan tinggi, seperti UGM, ITS, ISI Denpasar, dan lainnya serta dipergunakan sebagai shuttle bus untuk melayani para delegasi dan peserta KTT. Beberapa tahun ke depan menuju 2030 kita membutuhkan bus listrik dalam jumlah besar guna menggantikan bus-bus umum yang masih berbasis pada BBM konvensional. Pertanyaannya adalah apakah kita akan impor atau mampu memenuhi kebutuhan itu dengan produksi dalam negeri sendiri. Kita belum memiliki pabrik bus listrik nasional dengan kapasitas hingga puluhan ribu unit per tahun. Oleh karena itu, perlu dikaji kelayakan pembangunan pabrik ini, baik oleh BUMN maupun swasta nasional, dengan mempertimbangkan potensi bahan baku yang cukup besar, termasuk nikel dan bauksit, serta peluang yang juga besar. Raja bus listrik global saat ini dipegang oleh China. Pabrikan dari China paling siap memasok kebutuhan bus listrik di banyak negara, termasuk Indonesia. Selain bus listrik, sarana transportasi publik yang hijau adalah transportasi massal berbasis rel dengan lokomotif baterai listrik. Hal ini berbeda dengan kereta rel listrik (KRL) yang dipasok listrik dari jaringan listrik di atasnya melalui pantograf. Kelemahannya, KRL kurang cocok untuk perjalanan jarak jauh karena membutuhkan jaringan listrik amat panjang yang sulit pengontrolannya. Selain itu, ketika pasokan listrik masih banyak bergantung pada PLTU batubara, KRL belum bisa dikatakan ”hijau”. Artinya, kapan KRL akan menjadi ”hijau” tergantung kecepatan transisi energi dari basis energi fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia. Kereta bertenaga baterai telah mulai dikembangkan di sejumlah negara. Kereta berbaterai untuk angkutan barang yang pertama di dunia muncul di Pittsburgh, AS, pada September 2021. Pada September 2022, kereta penumpang listrik hibrida yang pertama di dunia dari Italia telah dipamerkan di pameran transportasi InnoTrans di Berlin, Jerman. Kereta listrik hibrida (bertenaga diesel-baterai) telah mulai dioperasikan Chiltern Railways di Inggris tahun ini. Pada 2017, sebuah perusahaan kereta api di Australia, Byron Bay Railroad Company, mengumumkan kereta listrik tenaga surya 100 persen yang pertama di dunia dengan merehabilitasi rel sepanjang tiga kilometer di Byron Bay. Panel surya berkapasitas 6,5 kW dipasang pada atap kereta yang dapat memasok listrik ke baterai berkapasitas 77 kWh. Selain itu, pada akhir rute telah dipasang PLTS berkapasitas 30 kW, sistem penyimpanan baterai, dan stasiun pengisian (charging station) untuk isi ulang kapan saja diperlukan. Tampaknya kereta berbaterai listrik, termasuk dengan sel surya yang dipasang di atapnya, menjadi salah satu alternatif favorit untuk menggantikan kereta api konvensional bertenaga diesel seperti yang selama ini dipergunakan. Sementara itu, untuk transportasi air/laut, kapal listrik juga telah menjadi alternatif untuk menggantikan kapal diesel yang berbahan bakar fosil. Namun, kapal listrik ini masih cenderung digunakan untuk penyeberangan (feri) atau pelayaran jarak relatif dekat. Dari perspektif konservasi, kapal listrik seperti ini cocok sekali untuk digunakan di destinasi wisata, seperti Danau Toba. Namun, untuk pelayaran jarak jauh, mungkin masih butuh riset lebih lanjut. Ini khususnya terkait dengan jarak jelajah dan stasiun isi ulangnya. Pada akhir tahun lalu, sebuah kapal kargo berbaterai listrik dan sekaligus otonom pertama di dunia berbobot 3.200 ton dengan panjang 80 meter berlayar dari Porsgrunn, Norwegia. Kapal ini dilengkapi dengan delapan unit baterai berkapasitas total 6,8 mWh. Kapal tersebut dipergunakan oleh satu perusahaan pupuk Norwegia untuk menggantikan armada truk dalam operasinya di Norwegia yang dapat menghemat biaya, mengurangi emisi dan kemacetan di jalanan Norwegia. Perkembangan ini telah menunjukkan munculnya gelombang elektrifikasi pada subsektor transportasi maritim, mulai dari kapal kargo hingga kapal feri. Hidrogen Selain tenaga baterai listrik, tenaga hidrogen tampak akan berpengaruh signifikan dalam perkembangan transportasi ”hijau” di masa mendatang. Bahan bakar hidrogen dapat dimanfaatkan sebagai energi gerak, baik dengan fuel cell maupun mesin pembakaran internal (internal combustion engine/ICE). Fuel cell merupakan sel elektrokimia yang mengonversikan energi kimia dari hidrogen menjadi energi listrik melalui reaksi ”reduksi-oksidasi”. Gas hidrogen ini dapat disimpan pada tangki yang diperkuat dengan bahan serat karbon. Hydrogen fuel cell dapat menggerakkan mobil-mobil penumpang hingga truk-truk logistik, bahkan kereta api dan kapal laut. Selain beremisi nol dan biaya perawatan relatif rendah, isi ulang gas hidrogen untuk mobil penumpang cuma butuh waktu maksimum lima menit. Dalam perkeretaapian, di samping kereta api dengan baterai listrik, kereta api berbasis hidrogen menjadi alternatif pengganti kereta api diesel. Kereta api dengan bahan bakar hidrogen atau sebutannya hydrail menggunakan hidrogen, baik melalui ICE maupun fuel cell pada lokomotifnya. Dengan berbagai keunggulannya, bahan bakar hidrogen cukup prospektif menggantikan BBM fosil di masa depan, di samping baterai kendaraan listrik. Ko-eksistensi antara baterai kendaraan listrik dan hidrogen besar kemungkinan akan menjadi tulang punggung transisi energi di sektor transportasi, termasuk untuk subsektor transportasi publik. Namun, jangan lupa bahwa kita pun memiliki potensi biofuel yang juga besar. Akselerasi transisi energi menuju transportasi ”hijau” dapat berjalan simultan dengan kemajuan dalam penerapan teknologi digital/revolusi industri 4.0 di sektor ini. Budi Karya SumadiMenteri Perhubungan RI |
Kembali ke sebelumnya |