Judul | Pembiayaan Rumah Subsidi bagi Sektor Informal Digulirkan |
Tanggal | 19 Januari 2023 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | Perumahan |
AKD |
- Komisi V |
Isi Artikel | Pemerintah mendorong pembiayaan perumahan bersubsidi bagi masyarakat sektor informal. Kekurangan rumah selama ini didominasi sektor informal. Oleh BM LUKITA GRAHADYARINI JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan menggulirkan pembiayaan perumahan bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan tidak tetap atau sektor informal mulai tahun ini. Bantuan pembiayaan itu dialokasikan melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan sejumlah 50.000 unit. Direktur Pelaksanaan Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Haryo Bekti Martoyoedo mengemukakan, pembiayaan perumahan bersubsidi bagi masyarakat sektor informal itu akan difasilitasi melalui kredit pemilikan rumah (KPR) dengan fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) sebanyak 50.000 unit dari total alokasi FLPP tahun ini yang sebanyak 220.000 unit. Pada tahun 2023, pemerintah mengalokasikan FLPP untuk 220.000 rumah bersubsidi senilai Rp25,18 triliun serta pembiayaan rumah melalui Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) senilai Rp 1,05 triliun untuk 10.000 unit rumah. Menurut Haryo, skema pembiayaan untuk masyarakat berpenghasilan tidak tetap atau sektor informal diberikan untuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Skema pembiayaan itu dimulai awal tahun ini. ”Persyaratan masyarakat berpenghasilan rendah masih tetap sama,” katanya saat dihubungi, Rabu (18/1/2023), di Jakarta.
Dalam Keputusan Menteri PUPR Nomor 22/KPTS/M2023 tentang Besaran Penghasilan Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Batasan Luas Lantai Rumah Umum dan Rumah Swadaya, maksimum penghasilan untuk warga yang sudah menikah ditetapkan Rp 8 juta per bulan untuk wilayah di luar Papua dan maksimum Rp 10 juta untuk wilayah Papua. Sementara batas penghasilan untuk status lajang atau tidak kawin yakni Rp 7 juta per bulan untuk wilayah di luar Papua dan maksimum Rp 8 juta per bulan untuk wilayah Papua. Haryo menambahkan, penyaluran KPR-FLPP untuk masyarakat berpenghasilan tidak tetap akan dilakukan melalui bank yang beberapa waktu lalu juga memfasilitasi skema bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan (BP2BT). Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali mengemukakan, pembiayaan untuk masyarakat berpenghasilan tidak tetap dinilai merupakan terobosan untuk menekan laju kekurangan rumah (backlog). Baca juga: Perkuat Dukungan Rumah Bersubsidi Kenaikan harga Meski demikian, kata Daniel, persoalan dikhawatirkan muncul dari sisi pasokan rumah. Pengembang tengah menunggu kebijakan pemerintah untuk penyesuaian harga patokan rumah bersubsidi. Tidak adanya penyesuaian harga rumah subsidi dalam tiga tahun terakhir menyebabkan sebagian pengembang mengurangi pasokan karena arus kas sudah tidak bisa menutup biaya produksi. Pada tahun 2022, pasokan rumah sederhana bersubsidi oleh pengembang-pengembang Apersi hanya di kisaran 70.000 unit atau turun dibandingkan realisasi tahun 2021 sebesar 114.000 unit. ”Biaya bahan bangunan meningkat, upah minimum terus naik, tetapi harga rumah bersubsidi belum disesuaikan selama tiga tahun,” kata Daniel. Daniel menambahkan, pemerintah telah menjanjikan kenaikan harga patokan rumah bersubsidi sekitar 7 persen. Jika penyesuaian harga rumah sederhana bersubsidi segera diberlakukan, pihaknya memproyeksikan pengembang-pengembang Apersi bisa memasok rumah bersubsidi sebanyak 122.000 unit tahun ini. Sebaliknya, jika penyesuaian harga terus tertunda, sebagian pengembang bakal menaikkan harga rumah sederhana sebesar 7 persen. Dampaknya, untuk memiliki rumah dengan spesifikasi yang sama dengan rumah subsidi itu, masyarakat berpenghasilan rendah wajib menanggung biaya pajak sebesar 18,5 persen, meliputi Pajak Penghasilan (PPh) 2,5 persen, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebesar 5 persen, serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 11 persen yang wajib disetor ke negara. Selama ini, skema rumah bersubsidi dibebaskan dari komponen biaya PPN, serta PPh hanya dikenakan 1 persen. ”Untuk menempati rumah dengan spesifikasi yang sama (dengan rumah subsidi), masyarakat berpenghasilan rendah terbebani biaya pajak jauh lebih mahal. Ini sama dengan negara memungut pajak ke masyarakat berpenghasilan rendah,” katanya. Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR Herry Trisaputra Zuna, beberapa waktu lalu, mengungkapkan, sebanyak 60 persen rumah tangga yang belum bisa menjangkau rumah merupakan masyarakat yang bekerja di sektor informal. Meski sektor informal mendominasi masyarakat yang belum memiliki rumah, layanan pembiayaan terhadap masyarakat di sektor ini tergolong paling rendah karena pendapatan yang tidak tetap. Per tahun 2021, jumlah penduduk yang belum memiliki rumah mencapai 12,7 juta rumah tangga. Namun, setiap tahun ada tambahan sekitar 680.000 keluarga baru yang juga membutuhkan rumah. Pemerintah telah menargetkan problem kekurangan rumah dapat sepenuhnya diatasi pada tahun 2045. |
Kembali ke sebelumnya |