Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Anomali Iklim dan Rekor Suhu Terpanas Bumi
Tanggal 21 Januari 2023
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci Iklim
AKD - Komisi V
Isi Artikel

Badan Meteorologi Dunia menyatakan tahun 2022 menjadi tahun terpanas secara global. Kenaikan suhu mencapai 1,15 derajat celsius lebih tinggi dari suhu sepanjang periode pra-industri (1850-1900).

Oleh YOESEP BUDIANTO

Analisis suhu tahunan menunjukkan peningkatan suhu permukaan Bumi sebesar 1,15 derajat celsius pada tahun 2022. Suhu ini menjadi rekor terpanas selama delapan tahun terakhir serta melanjutkan tren pemanasan global dalam jangka panjang.

Laporan terbaru Badan Meteorologi Dunia (WMO) pada 12 Januari 2023 menyatakan bahwa tahun 2022 menjadi tahun terpanas secara global. Catatan kenaikan suhu mencapai 1,15 derajat celsius lebih tinggi dari suhu sepanjang periode pra-industri (1850-1900). Pemanasan global kemungkinan besar akan terus berlanjut hingga masa-masa mendatang.

Tingginya suhu global tahun 2022 tersebut sekaligus menegaskan bahwa delapan tahun terakhir (2015-2022) adalah rekor suhu Bumi terpanas sepanjang sejarah. Kenaikan suhu Bumi resmi di atas 1 derajat celsius, bahkan di saat terjadi periode basah global atau La Nina sekalipun. Kondisi tersebut membawa pada kenyataan pahit, yaitu pemanasan global akan makin cepat melampaui batas 1,5 derajat celsius sesuai Perjanjian Paris.

Fenomena ketidakmampuan periode basah global atau La Nina dalam menahan laju pemanasan global itu patut diwaspadai. Pasalnya, dalam kondisi basah sekalipun, suhu Bumi terus mengalami pemanasan. Bisa saja, tahun 2022 itu bukan menjadi yang terpanas sekalipun periode La Nina diperkirakan berakhir pada Maret 2023. Setelah itu beralih ke kondisi netral atau ENSO yang bisa saja berpotensi mendorong kenaikan suhu lebih tinggi daripada periode basah sebelumnya.

Salah satu penyebab peningkatan suhu tahunan Bumi itu dipicu oleh konsentrasi gas rumah kaca yang kian tinggi. Tiga gas paling bertanggung jawab terhadap pemanasan global adalah karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen oksida (N2O). Saat ini kandungan CO2 naik drastis 149 persen dibandingkan pra-industri, CH4 sebesar 262 persen, dan N2O sebesar 124 persen.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/kgWPjjaiQK4Bjm1VLli3tTfZ3Pk=/1024x720/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F20%2Fffd573f1-7e40-497e-a96b-0771d60745d1_jpg.jpg

Implikasi dari pemanasan global tersebut adalah terjadinya kerusakan sistem iklim dan cuaca. Pada tahun 2022 terjadi banyak bencana katastropik yang merenggut hingga ribuan nyawa manusia. Bencana juga merusak mata pencarian, meruntuhkan infrastruktur kesehatan, pangan, energi, serta sumber daya air.

Banjir besar yang menghantam Pakistan menyebabkan kerugian ekonomi dan korban jiwa yang masif. Gelombang panas pemecah rekor juga tercatat di China, Eropa, Amerika Utara, dan Amerika Selatan. Sementara itu, kekeringan berkepanjangan terjadi di Afrika dan mengancam timbulnya kelaparan akut di kawasan tersebut.

Perubahan iklim

Peningkatan suhu berkepanjangan menempatkan peluang sebesar 50 persen untuk tercapainya batas maksimal 1,5 derajat celsius seperti yang disepakati dalam Perjanjian Paris. Kenaikan suhu tertinggi itu masih bisa ditoleransi oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. Sebelumnya, peluang lonjakan suhu melebihi batas maksimal hanya 10 persen pada periode 2017-2021. Artinya, potensi kenaikan suhu pada periode sekarang ini jauh lebih besar.

WMO memprediksi 93 persen suhu terpanas akan muncul sepanjang periode 2022-2026, menggeser tahun 2016 sebagai puncaknya. Proyeksi ini merupakan berita buruk bagi manusia karena dampak iklim akan makin berbahaya bagi seluruh kehidupan di Planet Bumi.

Selama manusia terus mengeluarkan emisi gas rumah kaca, suhu Bumi akan terus meningkat. Di samping itu, lautan akan menghangat dan lebih asam, daratan es dan gletser yang mencair terus meluas, tinggi permukaan laut meningkat, dan terjadi peningkatan intensitas cuaca ekstrem. Diperkirakan 85 persen penduduk dunia hidup di tengah krisis iklim yang kemungkinan besar akan terus memburuk kondisinya di masa mendatang.

Salah satu dampak yang terpantau oleh WMO adalah makin besarnya wilayah dengan curah hujan di atas rata-rata. Sebagian besar wilayah Asia, Selandia Baru, sisi utara Amerika Selatan, sisi barat Afrika, dan selatan Teluk Arab mengalami curah hujan yang naik drastis. Sebaliknya, wilayah Eropa, Asia Tengah, sebagian besar Amerika Utara, dan sisi utara Afrika curah hujannya turun.

Bumi yang makin menghangat juga menyebabkan suhu lautan terus memanas. Hal tersebut berdampak pada kerusakan terumbu karang, habitat ikan hilang, hingga berimbas pada penurunan hasil produksi di sektor perikanan. Dekade ini lautan juga makin asam, padahal sebelumnya selama 26.000 tahun terdeteksi stabil.

Baca juga: Merancang Ulang Adaptasi dan Mitigasi Krisis Iklim

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/xgHwdJdBjMwteLSFXLQBaTrKuas=/1024x971/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F20%2Fbce681f1-f52c-4a7f-a525-b86a978fbb8a_jpg.jpg

Anomali iklim tersebut turut memicu munculnya berbagai fenomena cuaca ekstrem di sejumlah lokasi. Peru dilanda gelombang panas hingga suhu 39,2 derajat celsius selama 8 hari. Sementara itu, gelombang panas di Australia tertinggi mencapai suhu 50,7 derajat celsius.

Selain gelombang panas, bencana kekeringan juga terjadi di berbagai wilayah. Salah satunya di Kenya yang berlangsung lebih kurang dua tahun dan mengakibatkan 4 juta orang berisiko terkena kelaparan akut. Hal serupa terjadi di wilayah Argentina yang menyebabkan sekitar 117 juta hektar lahan pertanian mengalami kekeringan sehingga mengancam 1,3 juta jiwa manusia rentan kelaparan.

Suhu Indonesia

Sejumlah lokasi di permukaan Bumi menunjukkan peningkatan suhu secara drastis. Kondisi tersebut cukup berbeda dengan Indonesia yang hanya menunjukkan peningkatan suhu relatif lebih rendah. Berdasarkan data dari 91 stasiun pengamatan secara nasional, suhu rata-rata tahun 2022 di Indonesia mencapai kisaran 27 derajat celsius.

Sepanjang periode 1991-2020, suhu rata-rata tahunan di Indonesia sebesar 26,8 derajat celsius. Artinya, terjadi anomali kenaikan suhu tahunan sebesar 0,2 derajat celsius. Angka tersebut menempatkan tahun 2022 sebagai tahun terpanas urutan ke-13. Catatan tahun terpanas pernah terjadi pada tahun 2016, dengan kenaikan suhu tahunan mencapai 0,6 derajat celsius.

https://dmm0a91a1r04e.cloudfront.net/l76ZFcfo3Ra_e4w3ew52TBObD1w=/1024x510/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F01%2F20%2Fd00aad28-e7fe-4875-af57-4698dbac8ff5_jpg.jpg

Meskipun kenaikan suhu pada tahun 2022 tercatat relatif kecil, masyarakat Indonesia perlu mewaspadai anomali yang terngah terjadi. Sepuluh tahun terakhir suhu tahunan konsisten di atas 27 derajat celsius, sedangkan pada dua dekade sebelumnya rata-rata hanya sekitar 26 derajat celsius. Artinya, terjadi pemanasan suhu udara di hampir keseluruhan wilayah Nusantara.

Data observasi BMKG yang membandingkan suhu rata-rata 2022 terhadap suhu pada periode 1991-2020 menunjukkan bahwa wilayah Sentani-Jayapura merupakan lokasi pemanasan suhu udara terbesar di Indonesia. Suhu di wilayah tersebut meningkat hingga 0,8 derajat celsius. Fenomena ini patut menjadi perhatian bersama karena wilayah Jayapura yang identik dengan hutan alam justru mengalami peningkatan suhu terbesar. Hal ini mengindikasikan adanya sejumlah perubahan lingkungan di kawasan tersebut sehingga menyebabkan terjadi lonjakan udara panas. Bisa jadi karena terjadi alih fungsi lahan hutan, pembangunan yang kian masif, hingga konsumsi energi untuk bahan bakar kendaraan dan industri kian pesat.

Fenomena pemanasan tersebut hampir merata di sejumlah wilayah Indonesia sehingga sejumlah dampak buruk mulai dirasakan oleh masyarakat. Perubahan sistem iklim dan cuaca berpengaruh pada kualitas air, hutan, kesehatan, lahan pertanian, hingga ekosistem pesisir. Hal lain yang cukup mengancam adalah kejadian cuaca ekstrem di berbagai wilayah, mulai dari banjir bandang hingga angin puting beliung.

Bayang-bayang kejadian cuaca ekstrem memang harus diwaspadai oleh semua masyarakat. Pantauan BMKG menyebutkan bahwa setelah Februari 2023, musim di Indonesia diprediksi akan bergeser lebih kering mulai Juli, Agustus, September, dan Oktober. Proyeksi ini berpotensi besar menggambarkan sebagian wilayah Indonesia akan memasuki musim kemarau yang mampu menyebabkan kekeringan dan gagal panen.

Akibatnya, terjadi peningkatan risiko kelaparan dan berbagai permasalahan kemanusiaan yang disebabkan oleh perubahan iklim secara global. Oleh sebab itu, global warming menjadi permasalahan seluruh dunia yang harus diantisipasi secara bersama-sama. Prediksi peningkatan suhu hingga batasan 1,5 derajat celsius sudah di depan mata sehingga harus dimitigasi oleh semua negara di dunia secara akseleratif, kolaboratif, dan berkesinambungan.

Sudah saatnya semua negara mengencangkan aturan pengendalian perubahan iklim demi keselamatan hidup manusia dan seluruh makhluk hidup di Bumi. Tahun 2022 yang menjadi tahun terpanas selama beberapa tahun belakangan ini merupakan pertanda bahwa ancaman perubahan iklim itu kian nyata dan semakin dekat. (LITBANG KOMPAS)

  Kembali ke sebelumnya