Isi Artikel |
Menyelamatkan Amnesti Pajak
Oleh: A TONY PRASETIANTONO
Baru sebulan lebih dilakukan sosialisasi, program amnesti pajak telah menuai kekeliruan penafsiran (misleading) di kalangan masyarakat. Timbul persepsi yang kontroversial bahwa pemerintah telah tergopoh-gopoh untuk menjaring rakyat hingga level pendapatan terendah untuk dipaksa mengikuti program amnesti pajak, tanpa terkecuali.
DIDIE SW
Pegawai, buruh, pensiunan, petani dan nelayan kecil, semuanya dijaring untuk mengikutinya dan membayar tebusan 2 persen terhadap nilai harta yang dimilikinya. Akibatnya tentu saja fatal. Banyak kalangan memprotesnya dan ada yang membawanya ke ranah hukum di Mahkamah Konstitusi.
Apa yang sebenarnya terjadi? Berdasarkan pengamatan saya mengikuti sosialisasi pada pekan-pekan pertama, saya menangkap kesan kuat bahwa sesungguhnya pemerintah tidak atau belum siap menggulirkan program besar dan strategis ini. Ketika kalangan perbankan swasta dan asing mengadakan sosialisasi bersama Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi di Jakarta, akhir Juli 2016, sudah terlihat dari banyaknya pertanyaan hadirin yang kerepotan dan susah payah dijawab oleh narasumber dari pemerintah.
Program amnesti pajak pada dasarnya merupakan proyek besar pemerintah. Bayangkan, proyek ini direncanakan bakal ”menangkap” sekitar Rp 4.000 triliun dana masyarakat (WNI) untuk mengungkapkan hartanya yang selama ini ”tersembunyi”, baik di dalam maupun di luar negeri, agar termonitor Direktorat Jenderal Pajak. Dari deklarasi kekayaan WNI ini diharapkan pemerintah mendapatkan tebusan (tax revenue) sebesar Rp 165 triliun, yang akan dibantu untuk menutup defisit APBN 2016.
Mengapa perlu amnesti pajak?
Pemerintah begitu optimistisnya dengan program besar ini. Bahkan Presiden Joko Widodo ketika diwawancarai Kompas TV (2/9/16) jelas-jelas menyebut angka yang lebih fantastis, yakni potensi dana untuk ikut amnesti pajak bisa mencapai Rp 11.000 triliun, berdasarkan data yang ia peroleh dari Kementerian Keuangan. Dari sini saja, sudah timbul dua masalah.
Pertama, apakah benar angkanya bisa sebesar itu? Mengungkapkan dana wajib pajak Rp 4.000 triliun, apalagi sebelumnya sempat terpikir Rp 11.000 triliun, dalam tempo lima bulan, bukan perkara mudah. Dana tebusan Rp 165 triliun juga merupakan angka fantastis. Itu bahkan melebihi perolehan cukai rokok setahun, Rp 140 triliun. Sebagai ilustrasi, biaya membuat Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta Rp 7 triliun, membangun kereta api cepat Jakarta-Bandung Rp 74 triliun, dan biaya membangun transportasi massal cepat (MRT) di Jakarta sekitar Rp 30 triliun.
Kedua, sebagai sebuah program yang masif dan amat penting, persiapan yang dilakukan pemerintah tergolong minim. Pengalaman saya mengikuti sosialisasi, ketika hadirin bertanya dan mencecar Dirjen Pajak, ia bisa menjawab dengan cukup baik, lengkap dengan guyonan khasnya. Namun, ketika Dirjen Pajak harus meninggalkan tempat untuk menghadiri acara lain, maka pertanyaan hadirin banyak yang tidak terjawab dengan baik. Amnesti pajak tampaknya masih jadi isu yang dipahami dengan baik oleh lapis tertinggi pemerintah, yaitu Presiden, Wakil Presiden, Menko Perekonomian, Menkeu dan Wakilnya, Dirjen Pajak, namun belum terdiseminasi dengan baik kepada pejabat-pejabat di bawahnya, termasuk petugas sosialisasinya.
Mau tidak mau, kita terpaksa menyimpulkan bahwa amnesti pajak ini dipersiapkan secara terburu-buru karena pemerintah memang sedang kepepet fiskal, di mana defisit APBN menganga lebar. Padahal sebenarnya amnesti pajak ini merupakan strategi yang tidak hanya berdimensi jangka pendek APBN 2016 dan 2017, tetapi juga jangka menengah dan panjang. Ketika wajib pajak mulai jujur mengemukakan data kekayaannya secara riil dan obyektif, maka di kemudian hari pemerintah akan bisa berharap mendapatkan penerimaan pajak yang lebih besar dari data yang benar tersebut.
Saya punya ilustrasi kecil tentang apa yang jadi keresahan masyarakat saat ini, yang mestinya tidak terjadi. Kasus pertama. Saya punya seorang kawan profesional, yang entah bagaimana, dalam surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajaknya hanya membayar pajak Rp 10 juta setahun. Tiba-tiba dia membeli rumah seharga Rp 2,5 miliar. Tentu saja petugas pajak segera mendatanginya untuk mengecek, bagaimana mungkin dia yang menyetor pajak Rp 10 tahun bisa membeli rumah Rp 2,5 miliar? Tak masuk akal. Untuk bisa membeli rumah seharga itu, pembayaran pajaknya mestinya minimal Rp 200-an juta.
Jenis kasus inilah yang harus terjaring amnesti pajak karena terdapat perbedaan profil yang sangat kontras antara pembayaran pajak dan harta yang dipunyainya melalui transaksi pembelian. Dia bisa menebusnya dengan pembayaran 2 persen terhadap hartanya atau Rp 50 juta. Sesudah itu, Ditjen Pajak memiliki data yang baru dan benar bahwa kawan saya itu memiliki rumah Rp 2,5 miliar dan penghasilannya ratusan juta rupiah sehingga di kemudian hari dia tidak bisa lagi membayar pajak Rp 10 setahun. Pasti dia harus membayar pajak ratusan juta setahun.
Ini berbeda dengan kasus berikut, kasus kedua. Seorang pegawai kecil bergaji Rp 4,5 juta sebulan atau Rp 54 juta. Berarti dia tidak perlu membayar pajak karena gajinya di bawah batas kena pajak. Seseorang ini beruntung memiliki warisan tanah dari orangtuanya, senilai Rp 2,5 miliar. Apakah dia harus ikut amnesti pajak? Tidak.
Meski sama-sama memiliki aset Rp 2,5 miliar, tetapi bedanya terletak pada level pendapatannya. Pada kasus kedua, pegawai kecil ini tingkat pendapatannya tak masuk kriteria wajib pajak. Dia hanya perlu mendeklarasikan kekayaan yang berasal dari warisan tersebut. Kelak jika suatu saat warisan itu dijual, misalnya, barulah transaksinya akan menimbulkan konsekuensi pembayaran pajak. Di sinilah Ditjen Pajak berkepentingan untuk membuat basis data yang benar, obyektif, dan mutakhir, yang berpotensi menaikkan penerimaan pajak di kemudian hari.
Jadi, kedua kasus tersebut kini jelas benar, mana kasus yang menyebabkan seseorang perlu mengikuti amnesti pajak (kasus pertama) ataukah tidak (kasus kedua). Pada kasus pertama, seseorang tidak melaporkan pembayaran pajaknya secara benar, yang terdeteksi dari ketidaksesuaian profil pendapatan, pembayaran pajak, dan nilai hartanya. Sementara pada kasus kedua, karena pendapatannya rendah, seorang pegawai kecil hanya perlu melapor bahwa dirinya mempunyai harta yang berasal dari warisan. Bukan karena dia memiliki daya beli dari gajinya. Dia juga perlu mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP).
Komitmen pengusaha
Secara singkat, pada dasarnya amnesti pajak ditujukan untuk menjaring pemilik harta besar, yang sebagian besar belum membayar pajak secara benar serta menyembunyikan kekayaannya, baik di dalam maupun luar negeri. Ketika harta itu berada di luar negeri, maka hasil repatriasinya akan menambah cadangan devisa sehingga nilai tukar rupiah menguat dengan sendirinya.
Mengapa banyak harta WNI selama ini ditaruh di luar negeri, terutama di Singapura? Ada dua alasan. Pertama, Singapura negara kecil sehingga tidak memerlukan pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik lain yang sebesar dan sebanyak Indonesia. Karena itu, wajar jika tarif pajak (tax rate) di sana bisa jauh lebih rendah dan atraktif dibandingkan dengan di Indonesia. Sebagai ilustrasi, Singapura hanya memiliki satu bandara, yaitu Changi, tetapi statusnya terbaik di dunia. Sementara di Indonesia jumlah bandaranya sangat banyak, yakni 237 bandara dengan berbagai ukuran dan kualitas. Karena itu, sudah pasti Indonesia harus ”lebih agresif” dalam menarik pajak dibandingkan dengan Singapura karena kebutuhan dana untuk pembangunannya jauh lebih besar. Itulah sebabnya, Indonesia tidak mungkin menyaingi tax rate serendah Singapura. Kebutuhan fiskal masing-masing berbeda.
Kedua, migrasi dana dari Indonesia ke Singapura kian masif ketika terjadi huru-hara politik menjelang kejatuhan Presiden Soeharto, Mei 1998. Kita tak bisa terlalu menyalahkan larinya dana ini. Yang penting sekarang kita kubur trauma ini, dan mari berjanji untuk tak sejengkal pun memberi kesempatan terjadi lagi. Ke depan, stabilitas politik dan keramahan iklim investasi akan jadi jaminan harta WNI agar kerasan tinggal di negerinya sendiri.
Perkembangan terbaru, kalangan pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sudah mendata dan menemukan perkiraan angka deklarasi Rp 1.000 triliun dengan nilai tebusan Rp 60 triliun dari para anggotanya (Kompas, 1/9/16). Ini berita bagus yang melegakan. Di satu pihak, baru kali ini pengusaha membuat pernyataan yang menunjukkan komitmen kuatnya untuk membantu negaranya yang fiskalnya tengah tertekan. Ini sangat krusial, di mana selama ini kita cuma bisa menebak-nebak.
Di sisi lain, angka yang disebut Apindo tersebut masuk akal. Sejak awal pun saya sudah membayangkan deklarasi dan repatriasi yang logis sekitar Rp 1.000 triliun dengan tebusan Rp 50 triliun-Rp 60 triliun, daripada target versi pemerintah Rp 4.000 triliun dan Rp 165 triliun. Jika angka-angka versi Apindo ini akhirnya terealisasikan, saya pikir program amnesti pajak bisa dibilang sukses. APBN kita memang masih defisit cukup besar, tetapi postur fiskal kita masih bisa diselamatkan kredibilitas dan keberlanjutannya.
A TONY PRASETIANTONO, KEPALA PUSAT STUDI EKONOMI DAN KEBIJAKAN PUBLIK UGM
|