Isi Artikel |
Produksi Minyak 2017 Turun
Sampai 2026, Ada 35 Wilayah Kerja yang Habis Masa Kontraknya
JAKARTA, KOMPAS — Penurunan produksi minyak siap jual atau lifting minyak tahun depan tak terhindarkan. Hal itu disebabkan sejumlah hal, antara lain usia sumur minyak yang menua sehingga terus berkurang cadangannya dan pengaruh harga minyak yang rendah.
Untuk itu, pemerintah perlu memberi kepastian investasi kepada investor di sektor migas.
Hal ini mengemuka dalam rapat dengar pendapat Komisi VII DPR dengan pejabat Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) serta pejabat Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sektor migas, Senin (5/9), di Jakarta. Rapat dipimpin Ketua Komisi VII Gus Irawan Pasaribu dari Partai Gerindra.
Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi memaparkan, proyeksi lifting minyak 2017 sekitar 780.000 barrel per hari (bph). Angka ini lebih rendah dari proyeksi 2016, yakni 820.000 bph.
"Harga minyak dunia masih berkisar 40 dollar AS per barrel hingga 50 dollar AS per barrel. Kondisi itu menyebabkan KKKS mengurangi kegiatan produksi dengan alasan keekonomian. Akibatnya, terjadi penurunan produksi," kata Amien.
Situasi tersebut, lanjut Amien, juga berdampak terhadap jumlah KKKS yang beroperasi di Indonesia. Tahun lalu ada 312 KKKS yang beroperasi, tetapi kini tersisa menjadi 288 KKKS. Adapun fokus KKKS yang ada saat ini pada program kerja ulang sumur dan perawatan sumur ketimbang meningkatkan eksplorasi yang memakan biasa besar.
Produksi turun
Salah satu KKKS yang produksi minyaknya turun adalah PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) yang memproduksi minyak di Lapangan Duri, Riau. Laju penurunan produksi tahun ini 10,5 persen dan tahun depan diperkirakan 11,6 persen.
"Pada Januari 2016, produksi minyak kami 264.000 bph dan akan turun menjadi 230.000 bph pada Desember 2016. Sumur pengembangan yang semula direncanakan 120 sumur dikurangi menjadi 80 sumur," ujar Presiden Direktur CPI Albert Simanjuntak, yang hadir dalam rapat dengar pendapat kemarin.
KKKS yang produksinya juga turun antara lain PT Pertamina EP, Total E&P Indonesie, Vico Indonesia, dan PT Medco E&P Blok Rimau (Sumsel). Mereka merupakan 15 KKKS utama yang berkontribusi besar atas produksi migas di Indonesia. Sejauh ini, kontribusi CPI terhadap produksi minyak di Indonesia merupakan yang terbesar, yaitu sekitar 30 persen dari total rata-rata produksi yang 850.000 bph.
Anggota Komisi VII dari Partai Golkar, Satya Widya Yudha, berpendapat, ada alasan lain soal penurunan produksi migas. "Saya curiga, produksi turun lantaran masa kontrak blok-blok tersebut akan habis dan belum ada kepastian menyangkut perpanjangan operasi mereka," ujar Satya.
Menurut Satya, perusahaan tidak banyak membelanjakan dana operasi jelang masa kontrak berakhir.
Amien Sunaryadi membenarkan, status kontrak pada suatu blok migas sangat menentukan. Hingga 2026, ada 35 wilayah kerja migas yang segera habis masa kontraknya. (APO)
|