Judul | Alutsista TNI AL: TNI AL Punya Kapal Tunda Baru, Produksi Dalam Negeri |
Tanggal | 07 Maret 2023 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi I |
Isi Artikel | Setiap penambahan kapal perang dan pangkalan TNI AL butuh kapal tunda untuk membantu kapal masuk-keluar pelabuhan. Namun, jumlah kapal tunda yang dimiliki TNI AL belum ideal.
JAKARTA, KOMPAS — Bertambahnya jumlah kapal perang dan pangkalan TNI Angkatan Laut membuat peran kapal tunda kian krusial. Persoalannya, kapal tunda yang kini beroperasi mayoritas sudah berusia lebih dari 20 tahun sehingga butuh peremajaan. Ditambah lagi, anggaran untuk pengadaan kapal tunda baru masih terbatas. Kapal tunda (harbour tug boat)milik TNI AL dirancang untuk memandu pergerakan kapal perang Republik Indonesia (KRI) masuk atau keluar pelabuhan. Idealnya, setiap pangkalan TNI Angkatan Laut (lanal) membutuhkan sedikitnya lima kapal tunda. ”TNI AL masih butuh banyak kapal tunda. Ini juga dalam rangka peremajaan dan modernisasi alutsista kapal tunda yang hampir seluruhnya berusia di atas 20 tahun,” ujar Asisten Logistik Kepala Staf TNI Angkatan Laut (Kasal) Laksamana Muda Agus Santoso dalam konferensi pers peluncuran kapal harbour tug di dermaga PT Noahtu Shipyard, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (7/3/2023). Namun, Agus tidak menyebut secara secara spesifik jumlah kapal tunda yang sudah tua. Ia mencontohkan kapal tunda yang sudah tua tersebut berada di Komando Armada II, Surabaya, Jawa Timur. Jumlah kapal tunda yang beroperasi di bawah kendali TNI AL juga tidak disebutkan. PT Noahtu Shipyard, industri perkapalan dalam negeri, memproduksi dua kapal tunda untuk TNI AL yang salah satunya telah rampung hari ini. Kapal tunda yang telah selesai dengan nomor dek 402 akan ditempatkan di Komando Armada III, Sorong, Papua Barat. Sementara satu kapal tunda lain, yang menurut rencana diluncurkan pada 20 Maret 2023, akan ditempatkan di Komando Armada I, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Satu kapal tunda, kata Agus, butuh anggaran sekitar Rp 85 miliar dan delapan bulan untuk proses pembuatan. Seyogianya, setiap tahun perlu dibuat empat kapal tunda. Namun, hal itu juga bergantung pada anggaran yang dimiliki TNI AL. ”Idealnya setiap lanal ada lima kapal tunda. Namun, karena keterbatasan anggaran, kami melaksanakannya secara bertahap,” ucap Agus. Di luar dua kapal tunda yang telah dipesan, TNI AL berencana memesan dua kapal tunda lain untuk Komando Armada II. Adapun kapal yang sudah tua diupayakan diremajakan dengan cara diperbaiki. Selain itu, TNI AL juga memesan pembuatan kapal angkut tank dari Noahtu Shipyard. Membuat sendiri Secara terpisah, Kepala Staf TNI AL 2002-2005 Laksamana (Purn) Bernard Kent Sondakh menuturkan, kapal tunda pelabuhan sangat penting bagi TNI AL. Kapal tunda bertugas membantu KRI yang akan sandar atau lepas dari dermaga, khususnya di perairan pelabuhan yang sempit. ”Untuk kapal tunda, dari dulu Indonesia telah membuat sendiri di galangan swasta atau negeri,” kata Bernard. Meski demikian, kemandirian industri perkapalan dalam negeri masih dapat ditingkatkan dengan skema transfer teknologi (TOT). Sebagai contoh, saat membeli kapal dari luar negeri, teknisi dari Indonesia disertakan sehingga bisa belajar cara pembuatan kapal yang kelak bisa diimplementasikan di dalam negeri. Kini, menurut dia, industri perkapalan Indonesia sudah mampu membangun kapal landing platform dock (LPD), kapal fregat, kapal korvet, kapal landing ship tank (LST), kapal patroli lepas pantai (OPV), dan kapal selam. Beberapa kapal yang diproduksi di dalam negeri itu bahkan diekspor ke luar negeri. Namun, untuk alutsista buatan dalam negeri, nilai penghambatnya absolut sehingga cenderung dimanfaatkan untuk dalam negeri. Baca juga : Batam Produksi Kapal Berbahan Bakar Ganda Pertama di Indonesia Nilai penghambat ini merupakan suatu tampilan dari kekuatan militer yang ketika dilihat musuh, mereka membatalkan keinginan untuk menyerang. Adapun nilai absolut berarti mutlak dibuat dalam negeri. Sebaliknya, ketika membeli alutsista dari luar negeri, nilai penghambat diembargo menjadi nol. Meskipun demikian, baik Agus maupun Bernard tidak menafikan bahwa sebagian suku cadang dan mesin masih dibeli dari negara lain meski ada yang diproduksi di dalam negeri. ”Terkait hal itu, apa pun yang industri dalam negeri belum mampu buat harus beli dari luar negeri. Namun, tetap menerapkan skema TOT dan memaksa produsen membuat di Indonesia serta bekerja sama dengan industri dalam negeri,” tutup Bernard. |
Kembali ke sebelumnya |