Judul | INDUSTRI PENERBANGAN, Perhubungan Udara di Ambang Krisis? |
Tanggal | 11 Maret 2023 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 6 |
Kata Kunci | Pengangkutan udara |
AKD |
- Komisi V - Komisi VI |
Isi Artikel | Mencermati semua permasalahan yang dihadapi dunia penerbangan nasional yang kini tengah menuju titik krisis, diperlukan koordinasi antarinstitusi pemerintah dalam mekanisme prosedur birokrasi. Perlu solusi secepatnya. Oleh CHAPPY HAKIM Pada 1 Maret 2023, Susi Air resmi mengumumkan penghentian operasi penerbangan perintis di Papua. Langkah itu menyusul insiden pembakaran pesawat dan disanderanya kapten pilot oleh kelompok kriminal bersenjata di Papua. Beberapa hari sebelumnya, 20 Februari, Merpati Nusantara Airlines (MNA), maskapai penerbangan perintis, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2023 resmi dibubarkan. Dengan demikian, lengkap sudah operasi penerbangan perintis, terutama di Papua, lenyap dari permukaan bumi. Penerbangan perintis di Indonesia yang menghubungkan lokasi terpencil di pelosok dan perbatasan negara telah dimulai sejak awal kemerdekaan oleh Dinas Angkutan Udara Militer Angkatan Udara Republik Indonesia. Misi penerbangan pemersatu bangsa ini lalu dilanjutkan oleh maskapai penerbangan perintis PT Merpati Nusantara Airlines. Pelayanan penerbangan perintis berakhir dengan bangkrutnya MNA. Tiga tahun lalu, Garuda Indonesia kembali mengalami kesulitan keuangan. Masalah Garuda terkesan sangat mudah diatasi dengan memberikan dana talangan dan mengganti jajaran manajemen. Namun, dengan adanya pandemi Covid-19, kesulitan keuangan kali ini menjadi sulit untuk dapat diatasi serta tak cukup hanya dengan dana talangan dan merombak manajemen. Dampak pandemi tak hanya melanda Garuda, tetapi juga menghajar banyak maskapai penerbangan di seluruh dunia yang kondisi keuangannya sehat sekalipun. Itu sebabnya, proses mengatasi kesulitan keuangan Garuda kali ini tak semudah seperti mengatasi kesulitan keuangan sebelumnya. Jumat (3/3/2023), INACA (Indonesia National Air Carriers Association) menyelenggarakan rapat koordinasi, membahas masalah akut dunia penerbangan Indonesia. Namun, dari rakor itu tak diperoleh solusi atas masalah yang sudah berlangsung bertahun-tahun, mulai dari harga Avtur yang mahal, proses perizinan yang sulit, masalah amburadulnya prosedur dalam proses pengadaan suku cadang pesawat, pengaruh inflasi, kurs dollar AS terhadap rupiah, penentuan tarif tiket pesawat terbang, dan masih banyak lagi. Permasalahan yang nyaris tak pernah bisa terurai dalam pengembangan dunia penerbangan nasional selama puluhan tahun sampai sekarang. Banyak lagi permasalahan dunia penerbangan di Indonesia yang masih menghambat perkembangan sistem perhubungan udara secara nasional. Penentuan bandara sipil dan militer yang tidak pernah tuntas dan juga penentuan berapa banyak jumlah bandara internasional yang seharusnya dikelola. Walau di masa lalu sudah jelas dituangkan dalam masterplan Kementerian Perhubungan, dengan perkembangan pemilihan kepala daerah (pilkada), hampir semua kepala daerah menginginkan daerahnya memiliki bandara internasional sendiri. Tak heran, belakangan muncul perdebatan tentang bagaimana mengurangi jumlah bandara internasional yang sudah telanjur menjadi puluhan jumlahnya. Itulah wujud dari pengelolaan penerbangan yang disandera oleh pemikiran pendek lima tahunan untuk menyesuaikan diri dengan pilkada dan pemilihan presiden (pilpres). Bubarnya MNA, berhenti beroperasinya Susi Air, kesulitan keuangan Garuda, dan sejumlah masalah akut lainnya penerbangan kita telah mengantar sistem perhubungan udara nasional pada kondisi yang mengkhawatirkan. Dunia penerbangan nasional tengah dalam perjalanan menuju titik krisis. Sebuah kondisi serius yang membutuhkan tindakan segera untuk mengatasinya. Dunia penerbangan nasional telah membuktikan dirinya bahwa pengelolaan sistem perhubungan udara tidak dapat hanya mengandalkan Kemenhub. Tidak dapat juga hanya diurus oleh sebuah institusi yang bernama Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Di era pandemi Covid-19, bahkan dunia penerbangan di seluruh dunia membuktikan dirinya tak mampu bertahan kecuali dengan bantuan penuh dari pemerintah. Indonesia dan potensi yang dimiliki Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat luas, berada pada posisi strategis, berbentuk kepulauan yang memiliki kawasan berpegunungan dan berpenduduk banyak. Dengan kondisi seperti itu, wajar sekali Indonesia jadi sangat bergantung pada jejaring perhubungan udara. Tak sekadar menjadi sebuah ketergantungan yang berwujud tantangan semata, tetapi juga menghadirkan sejumlah potensi peluang yang besar. Beberapa potensi yang dimiliki Indonesia dalam pengelolaan sistem perhubungan udara di antaranya terdapat banyak sekali rute penerbangan domestik yang ”gemuk”. Di sisi lain, penerbangan haji dan umrah adalah rute penerbangan yang lebih dari 100 persen menjanjikan keuntungan yang dapat diandalkan sebagai ”promising market” berkelanjutan. Demikian pula jalur penerbangan di Selat Malaka pada ketinggian nol sampai dengan 37.000 kaki adalah ruang udara yang sangat besar, menghasilkan keuntungan luar biasa secara finansial. Namun, kawasan strategis bernilai tinggi itu masih didelegasikan kepada negara lain untuk 25 tahun ke depan dan diperpanjang dengan penyebab yang kurang jelas. Mengamati potensi yang dimiliki, maka sama sekali tidak ada alasan kuat untuk sebuah pengelolaan transportasi udara nasional tidak dapat terselenggara dengan baik dengan alasan kekurangan dana. Mencermati semua permasalahan yang dihadapi dunia penerbangan nasional yang kini tengah menuju titik krisis, kiranya diperlukan koordinasi antarinstitusi pemerintah dalam mekanisme prosedur birokrasi. Diperlukan sebuah institusi yang mampu menjembatani masalah interdepartemental agar mudah dicapai solusi bersama. Perlu sebuah institusi yang mampu menembus arogansi sektoral pada dinding-dinding tembok birokrasi. Sebuah institusi yang entah akan bernama Dewan Penerbangan, Menko Keudaraan atau apa pun namanya. Sebuah institusi yang dapat mengambil keputusan cepat lintas sektoral untuk menyelamatkan dunia penerbangan nasional yang kini tengah berjalan, walau perlahan, tetapi pasti menuju titik kritikal. Idealnya, Pemerintah RI dalam mengelola sistem perhubungan udara harus memiliki dan mampu mengelola maskapai penerbangan pembawa bendera sebagai pemersatu bangsa. Maskapai penerbangan sebagai penopang mekanisme dukungan administrasi logistik pemerintahan pusat dan daerah. Maskapai penerbangan sebagai fondasi menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, maskapai penerbangan sebagai pemantik dalam memutar roda ekonomi nasional. Maskapai penerbangan sebagai urat nadi penyalur bahan pokok dan sarana pelayanan masyarakat sebagai bagian utuh dari program pembangunan nasional. Dengan demikian, seyogianya Pemerintah RI harus memiliki setidaknya satu maskapai penerbangan yang menghubungkan kota-kota besar di dalam dan di luar negeri. Satu maskapai yang menerbangkan rute penerbangan perintis. Satu maskapai penerbangan carter dan satu lainnya maskapai penerbangan kargo. Sementara itu, saat ini yang tersisa dimiliki pemerintah hanya Garuda Indonesia yang kondisi kesehatannya baru selesai menjalani pelayanan rawat inap dan tengah dalam status ”berobat jalan”. Sekali lagi, dunia penerbangan di seluruh dunia telah memperlihatkan wajah aslinya ketika berhadapan dengan pandemi Covid-19. Tak ada satu pun maskapai penerbangan milik pemerintah, apalagi milik swasta, yang tak melempar handuk menyerahkan diri, mohon bantuan kepada pemerintah untuk dapat bertahan. Pertanyaan sederhana yang muncul ke permukaan kemudian adalah, hendak ke mana engkau pergi ”sistem perhubungan udara nasional Republik Indonesia”? Chappy HakimKepala Pusat Studi Air Power Indonesia, Chairman CH Institute, Dewan Pakar INACA |
Kembali ke sebelumnya |