Judul | Hak Pemilih Mula Terancam Hilang |
Tanggal | 08 Juni 2016 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 5 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi II - Badan Legislasi |
Isi Artikel | JAKARTA, KOMPAS — Pengetatan aturan dalam syarat dukungan calon perseorangan berpeluang melenyapkan hak politik pemilih mula dalam memberikan dukungan kepada calon kepala daerah alternatif. Dalam aturan yang baru ditetapkan DPR, disebutkan bahwa warga yang mendukung calon perseorangan harus tercantum dalam daftar pemilih di pemilu sebelumnya, selain juga memiliki KTP dan berdomisili di lokasi pilkada. KOMPAS/YUNIADHI AGUNGKetua Komisi Pemilihan Umum Husni Kamil Manik (kanan) didampingi Komisioner KPU Hadar N Gumay, di Jakarta, Selasa (7/6), berbicara dalam uji publik perubahan peraturan KPU tentang pemutakhiran data dan daftar pemilih serta peraturan KPU tentang pemilihan di daerah otonomi khusus. "Ini tentu akan menyalahi prinsip demokrasi dan menghilangkan hak politik pemilih mula," tutur Kepala Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Sri Budi Eko Wardani di sela uji publik "Peraturan KPU tentang Pilkada di Beberapa Daerah Istimewa di Indonesia" di Jakarta, Selasa (7/6). Ketakutan elite partai politik pada calon perseorangan dalam pilkada yang berbuntut pada bertambah rumitnya persyaratan dukungan calon perseorangan dinilai tidak berdasar. Sebab, calon perseorangan jelas bermanfaat untuk mendorong parpol memperbaiki sistem kaderisasinya sendiri. Selain itu, kata Wardani, sangat sedikit calon perseorangan menang pilkada. Dalam UU Pilkada, disebutkan KPU harus memverifikasi dukungan warga kepada calon perseorangan melalui metode sensus. Tak hanya verifikasi nama, alamat domisili, dan nomor induk kependudukan (NIK), dan KTP elektroniknya, tetapi juga harus tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT) pemilu sebelumnya. "Konsekuensinya, daftar pemilih harus sangat akurat. Sebab, tak hanya hak memilih yang bisa hilang, hak mendukung juga. Selain itu, saat ini masih banyak warga belum mendapatkan e-KTP," tutur Wardani. Solusi KPU Secara terpisah, Komisioner KPU Ida Budhiati memahami, selain norma hukum, KPU tetap harus mengikuti prinsip demokrasi. Karena itu, ketika norma hukum tidak sempurna, KPU akan mewadahi hak konstitusional pemilih mula dalam Peraturan KPU. "Kalau tidak ada dalam DP4 atau DPT, menurut kami tidak menghilangkan hak warga untuk mendukung calon perseorangan, sepanjang domisilinya bisa dibuktikan," tutur Ida. KPU pun bersiap mengajukan uji materi UU Pilkada terkait keharusan peraturan KPU disetujui DPR. Sebab, KPU adalah lembaga yang dibentuk melalui aturan perundangan seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi yang memiliki kewenangan membuat aturan teknis di bawah perundang-undangan. Anggota Komisi II DPR Tamanuri di Kompleks Parlemen, Senayan, menjelaskan, ketentuan verifikasi faktual dibuat karena pada pilkada sebelumnya hanya dianggap proses administratif semata. Tamanuri mengungkapkan, umumnya calon peserta pilkada menghimpun salinan KTP dari lembaga pembiayaan dan semacamnya. "Ini yang harus diperbaiki. Karena itu, kami menganggap perlu verifikasi faktual untuk mengantisipasi pelanggaran dan membuktikan kualitas calon perseorangan," tuturnya. Secara terpisah, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai verifikasi faktual pendukung calon kepala/wakil kepala daerah dari jalur perseorangan bisa dilakukan selain dengan cara metode sensus, mendatangi satu per satu pendukung calon perseorangan. "Isi Pasal 48 Ayat 3 UU Pilkada meski mengatur metode sensus dengan menemui langsung setiap pendukung calon, esensinya adalah menemui langsung pendukung calon sehingga ketika dibuka ruang bahwa pendukung bisa datang langsung ke kantor PPS (Panitia Pemungutan Suara), prasyarat menemui langsung tersebut telah terpenuhi," kata Titi. (INA/NTA/APA) |
Kembali ke sebelumnya |