Judul | Kemacetan dan Jebakan Negara Berkembang |
Tanggal | 26 Maret 2023 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | Pengangkutan |
AKD |
- Komisi V |
Isi Artikel | Di negara berkembang, kemacetan menjadi bagian dari konsekuensi logis pertumbuhan ekonomi yang terus menanjak. Indikator baik-buruknya perekonomian suatu wilayah dan tolok ukur kesejahteraan masyarakat umumnya dilihat dari produk domestik bruto dan produk domestik regional bruto. Salah satu sektor yang terdapat dalam PDRB adalah sektor transportasi. Andjar Prasetyo dalam jurnal yang diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan tahun 2016 menyatakan, di samping sisi positif, transportasi juga berdampak negatif yang timbul dalam proses pembangunan sektor ini. Di negara berkembang, dampak negatif itu terkait dengan tingginya jumlah kendaraan bermotor karena daya beli konsumen semakin meningkat, sedangkan sistem angkutan umum belum terwujud secara ideal. Akibatnya, kemacetan lalu lintas mengakrabi kota-kota di negara berkembang. Di Jakarta dan sekitarnya, kondisi tersebut tergambar jelas. Sangat jelas. Setelah ”hibernasi” hampir dua tahun selama pandemi Covid-19, berbagai pusat kegiatan publik di Jakarta dan sekitarnya kini dipenuhi masyarakat lagi. Sebagian warga yang dulu hengkang dari Jabodetabek karena kehilangan mata pencarian atau memanfaatkan kebijakan bekerja dari rumah sekarang diyakini telah kembali secara bertahap. Boleh jadi, mereka yang kembali ke Jakarta dan sekitarnya turut membawa teman dan saudara untuk mencoba peruntungan di sini. Selain orang, jumlah kendaraan bermotor pun dipastikan meningkat secara nasional dengan porsi serapan terbesar di Jabodetabek. Pada saat ekonomi tumbuh minus pada 2021, penjualan mobil bekas tetap naik hingga 20 persen. Kebijakan keringanan pajak untuk industri otomotif sebagai bagian dari cara pemerintah mengungkit daya beli yang dihambat pandemi terbukti berhasil. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat pembelian 887.200 unit mobil baru nasional di 2021, naik 66,6 persen dari 2020. Pada Februari 2023, sebanyak 86.954 unit mobil baru terjual atau naik 7,3 persen dari bulan yang sama tahun lalu. Berdasarkan data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), 5,22 juta sepeda motor terjual pada 2022 atau naik 3,24 persen dari 2021.
Badan Pusat Statistik melaporkan, pada 2022, di Jakarta total ada 26.370.535 unit kendaraan bermotor atau bertambah lebih dari 5 juta unit dibandingkan tahun 2021. Sebanyak 17.304.447 unit adalah sepeda motor, sedangkan jumlah mobil penumpang 3.766.059 unit. Kemudian, ada 748.395 unit truk dan 37.180 unit bus. Dengan jumlah penduduk DKI Jakarta sebanyak 10,56 juta orang, berarti rata-rata tiap orang memiliki 1-2 unit kendaraan pribadi. Jumlah kendaraan itu tidak sebanding dengan ketersediaan panjang dan luas jalan di Jakarta. Rasio luas jalan dibandingkan luas lahan kota yang ideal sekitar 15 persen, sedangkan di Jakarta masih pada kisaran 6-7 persen. Pada tahun 2020, jumlah panjang jalan di lima wilayah administrasi DKI adalah 6.652.679 meter dengan luas 46.426.531 meter persegi. Selain itu, ada jalan tol seluas 4.009.950 meter persegi. Dapat dibayangkan, ketika jutaan orang turun ke jalan beserta kendaraan masing-masing, maka kemacetan tak dapat dihindarkan. Tingkat kemacetan saat ini, menurut Polda Metro Jaya, bahkan sedikit lebih tinggi dibandingkan tahun 2019 sebelum era Covid-19. Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan tahun 2021 menyatakan, kemacetan di Jabodetabek mengakibatkan kerugian ekonomi senilai Rp 71,4 triliun per tahun. Kerugian itu berasal dari pemborosan bahan bakar minyak dan menurunnya produktivitas karena hilangnya waktu masyarakat selama terjebak macet. Dampak polusi udara terhadap kesehatan akibat kemacetan juga dinilai sangat berbahaya. Belum sesuai kebutuhan Kerugian yang teramat besar itu menjadi ironi mengingat publik seperti berlomba-lomba membeli kendaraan bermotor pribadi selama pandemi, di antaranya karena berbagai angkutan umum dibatasi, bahkan dihentikan operasionalnya. Selain itu, juga sebagai upaya menjaga agar tetap berjarak dengan orang lain demi memutus rantai penularan Covid-19. Bersamaan dengan itu, pembangunan dan penataan angkutan umum ternyata belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan publik. Contoh teranyar adalah pengadaan rangkaian kereta komuter. PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), anak perusahaan PT Kereta Api Indonesia (Persero), merencanakan pengadaan kereta bukan baru atau kereta bekas untuk mengganti kereta yang dikonservasi atau dipensiunkan pada tahun ini. Rencana mengimpor kereta bekas dari Jepang itu sudah disetujui Kementerian Perhubungan, tetapi belum disetujui Kementerian Perindustrian. PT KCI telah memesan 16 rangkaian kereta baru dari PT Industri Kereta Api atau INKA (Persero) senilai Rp 4 triliun untuk dioperasikan pada 2025-2026. Di luar itu, PT KCI merencanakan pembelian kereta bekas untuk mengganti 29 rangkaian kereta yang harus dikonservasi. Rencana terakhir ini yang masih berpolemik dan belum ada keputusan final. Di sisi lain, kebutuhan pengadaan rangkaian kereta tersebut sangat mendesak. Jika tidak dipenuhi, tahun ini dan tahun depan, layanan kereta komuter Jabodetabek rawan terganggu hebat karena kekurangan rangkaian kereta. Satu rangkaian terdiri atas 8-10 kereta. Kapasitas tiap kereta rata-rata 150 orang, tetapi dapat lebih dari itu di jam sibuk pagi dan sore hingga malam. Masyarakat, terutama pengguna setia kereta komuter Jabodetabek, pun berang. Pertanyaan awam, mengapa pengganti 29 rangkaian kereta tidak dipersiapkan atau diadakan sejak 1-2 tahun lalu? Polemik antar-kementerian yang mengemuka saat ini mempersoalkan izin impor kereta bekas juga memicu sentimen negatif. Masyarakat sebenarnya sangat mendukung pembangunan, termasuk pembenahan angkutan umum. Namun, berbagai dampak pembangunan yang akhir-akhir ini gencar dilakukan terkesan tidak diantisipasi dengan baik. Publik merasa kepentingannya tidak dinilai urgen oleh pemerintah dan tidak dipikirkan solusinya secara dini dengan lebih baik. Pembangunan Stasiun Manggarai menjadi stasiun sentral kereta jarak jauh dan komuter adalah langkah baik, tetapi tahapan proyek yang panjang berbuntut pada perubahan pola layanan. Perubahan ini kurang dikomunikasikan kepada masyarakat dan antisipasi dengan menambah kereta untuk memperpendek waktu kedatangan antarkereta dinilai publik jauh dari maksimal. Penumpukan antrean penumpang luar biasa setiap jam sibuk, banyak orang mesti menunggu lama dan membuat waktu perjalanan kian panjang lagi melelahkan. Hal serupa dirasakan pengguna Transjakarta. Perbaikan halte program internal Transjakarta dan relokasi halte yang terimbas proyek MRT Jakarta menyebabkan sebagian rute layanan berubah. Ada beberapa halte yang tidak melayani penumpang sehingga mengganggu efektivitas mobilitas warga. Di sisi lain, ada ratusan unit bus yang seharusnya segera diremajakan. Angkutan umum massal milik Pemprov DKI Jakarta ini juga masih dalam proses pembenahan manajemen dan teknis operasional sesuai rekomendasi Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menyusul banyaknya kecelakaan yang menimpanya. Karena kualitas layanan yang belum terpenuhi meskipun secara kuantitas jumlah armada cukup banyak dan cakupan layanan luas, sebagian masyarakat pun tetap enggan menggunakan bus dan kereta.
Pembangunan di berbagai bidang dipercaya sebagai penyelamat di masa tak tentu akibat dampak pandemi. Namun, pemerintah masih harus bekerja ekstra agar tiap detil turunan langkah kebijakannya tidak menjadi bumerang. Dalam rangka mencari solusi kemacetan, DKI dan pemerintah pusat harus banyak menimbang faktor kenaikan aktivitas dan mobilitas masyarakat, rasio jalan dan luas kota, membeludaknya kendaraan bermotor pribadi di jalanan, serta masih adanya titik lemah dalam layanan angkutan umum di Jakarta. Pengelolaan angkutan umum perlu mengadopsi user interface dan user experience (UI/UX) demi mewujudkan desain armada, halte, stasiun, akses keluar masuk penumpang yang memberikan pengalaman nyaman dan aman bagi setiap penggunanya. Pemerintah daerah seperti DKI dan pusat perlu melahirkan kebijakan utuh agar isu kemacetan yang sama tak terus membelit, memanen kerugian lebih besar lagi, dan terus terjebak dalam sindrom negara berkembang dengan pembangunan timpang. Kalau ini yang terjadi seperti hari-hari ini, apakah bisa dikategorikan indikator pertumbuhan ekonomi? Atau ini hanya pertumbuhan semu? Apa pun yang terjadi, mobilitas warga yang telanjur sudah mengandalkan angkutan publik—sebagaimana anjuran pemerintah—membutuhkan solusi segera. |
Kembali ke sebelumnya |