Judul | Mengakselerasi Pembangunan MRT |
Tanggal | 25 Maret 2023 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 6 |
Kata Kunci | Kereta Api |
AKD |
- Komisi V |
Isi Artikel | Di masa depan, jaringan MRT yang lebih luas mutlak dibangun demi ketertarikan warga untuk menggunakannya. Jaringan yang dibangun tidak hanya bersumbu vertikal-horizontal . Oleh REDAKSI Sejak Desember 1927, warga Tokyo telah menikmati layanan kereta bawah tanah antara Stasiun Asakusa dan Ueno. Sejak saat itu, jaringannya menggurita. Begitu optimalnya jaringan subway Tokyo, membuat sebagian warga kota itu merasa tidak perlu membeli mobil. Bagi sebagian kaum muda, kepemilikan mobil dianggap beban. Bagaimana dengan Jakarta? Warga kota ini telah dilayani oleh MRT—yang sebagian beroperasi di bawah tanah, sejak empat tahun lalu. Meski hingga kini, baru terbangun MRT fase 1 antara Lebak Bulus dan Bunderan Hotel Indonesia. Demi menyelamatkan Jabodetabek, pemanjangan jaringan MRT sebaiknya diakselerasi. Terlebih lagi, metropolitan ini semakin tidak nyaman dihuni. Kemacetan makin mendera seiring arus urbanisasi. Tahun 2020, penduduk Jabodetabek telah mencapai 35,3 juta jiwa. Sementara pada tahun 2035, penduduk Jabodetabek diprediksi mencapai 45,3 juta jiwa. Tentu saja, pembangunan ibu kota baru Nusantara berpotensi menahan ledakan penduduk Jabodetabek. Akan tetapi, dapat saja Jabodetabek dan IKN berbagi peran antara kota pemerintahan dan kota bisnis. Pembangunan infrastruktur termasuk transportasi dengan demikian jangan ditunda. Dari lapangan, telah kita saksikan pembangunan MRT Jakarta fase 2 (Bundaran HI-Ancol Barat). Sebaiknya, proyek MRT koridor timur-barat dengan total panjang 84,1 kilometer juga segera dibangun. Tantangan biaya proyek yang tidak murah kiranya dapat "dibicarakan" bila kita memasukkan potensi pemborosan yang dihamburkan akibat kemacetan. Bila transportasi publik terbangun dengan baik, yang dihemat jelas bukan saja subsidi bahan bakar minyak tetapi juga biaya kesehatan yang timbul akibat polusi sebagai efek penggunaan kendaraan pribadi secara masif. Dengan memasukkan komponen itu maka biaya investasi untuk pembangunan angkutan umum menjadi lebih rasional. Sinergi dengan moda transportasi lain kini memang idealnya dilakukan oleh pengguna MRT untuk menjelajahi kota ini. Namun di masa depan, jaringan MRT yang lebih luas mutlak dibangun demi ketertarikan warga untuk menggunakannya. Jaringan yang dibangun tidak hanya bersumbu vertikal-horizontal tetapi juga pola “z” misalnya, yang memungkinkan bagi MRT untuk menjangkau sudut-sudut kota. Pembangunan pusat pertumbuhan baru di stasiun-stasiun MRT juga perlu diakselerasi. Blok M Plaza misalnya, yang terhubung langsung dengan MRT Jakarta telah tampak bangkit. Namun, kehadiran MRT Jakarta ternyata tidak otomatis mempertahankan hidup Ratu Plaza. Belum terlihat pula ledakan pertumbuhan hunian, perkantoran atau pusat bisnis secara vertikal di kawasan-kawasan dekat stasiun MRT. Padahal di atas kertas, kehadiran stasiun MRT dapat menjadi pemikat dari sebuah kawasan. Sangat disayangkan bila terbangunnya sebuah stasiun MRT, atau bahkan sebuah koridor MRT, tidak dapat dimaksimalkan demi kemajuan sebuah kawasan bahkan kota. |
Kembali ke sebelumnya |