Judul | Sisi Konsumsi dan Penyediaan Energi Perlu Diperhatikan |
Tanggal | 04 Februari 2023 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | Energi, Penyimpanan |
AKD |
- Komisi VII |
Isi Artikel | Data Kementerian ESDM, capaian energi terbarukan dalam bauran energi primer nasional pada 2022 sebesar 12,3 persen. Angka itu hanya meningkat 0,1 persen daripada 2021 dan jauh di bawah target 2022 sebesar 15,6 persen. Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
JAKARTA, KOMPAS — Capaian pengembangan energi terbarukan pada 2022 belum sesuai harapan karena porsi energi terbarukan dalam bauran energi primer nasional hanya naik tipis 0,1 persen menjadi 12,3 persen dibandingkan 2021. Diperlukan sejumlah strategi dalam mengejar target 23 persen pada 2025, termasuk memperhatikan sisi konsumsi dan penyediaan energi. Berdasarkan data sementara Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, konsumsi energi primer pada 2022 total 1,7 miliar barel setara minyak (BOE), meningkat daripada 2021 yang sebesar 1,4 miliar BOE. Peningkatan terjadi pada setiap energi, termasuk batubara dan minyak bumi yang merupakan jenis energi fosil. Energi terbarukan juga meningkat dari 181 juta BOE menjadi 214 juta BOE pada periode yang sama. Namun, kenaikan tersebut belum cukup mampu mengejar kenaikan energi fosil secara keseluruhan sehingga porsi energi terbarukan dalam bauran energi primer hingga akhir 2022 sebesar 12,3 persen, meningkat dibandingkan 2021 yang sebesar 12,2 persen. Capaian tersebut jauh di bawah target 2022 sebesar 15,7 persen. Kepala Pusat Penelitian Energi Berkelanjutan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Tri Widjaja saat dihubungi pada Jumat (3/2/2023) mengatakan, sebelum akhirnya hanya meningkat 0,1 persen pada 2022, energi terbarukan dalam bauran energi primer juga sempat menurun pada triwulan III-2022 menjadi sekitar 10 persen. Padahal, pada triwulan III-2021, angkanya mencapai 11 persen. ”Hal ini menandakan perlunya strategi dan implementasi (akselerasi energi terbarukan). Tidak hanya oleh pemerintah, tetapi juga masyarakat. Sejumlah rencana pemerintah yang perlu diimplementasikan seperti penghapusan bertahap terhadap pembangkitan batubara serta substitusi bahan bakar pada pembangkit listrik. Juga riset lanjutan penerapan pajak karbon pada pembangkit listrik dan pemanfaatan gas bumi,” ujar Tri. Tri, yang juga Guru Besar Departemen Teknik Kimia ITS, menambahkan, sejumlah implementasi lain yang perlu dilakukan dalam percepatan pengembangan energi terbarukan adalah memacu metode co-firing atau penggunaan biomassa yang dicampur dengan batubara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Selain itu, juga memasifkan pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap hingga 2025. Baca juga : Belum Cukup Efektif Upaya Mendukung Transisi Energi Tri menambahkan, dalam upaya terus meningkatkan bauran energi terbarukan, sisi konsumsi perlu diperhatikan. Dari perhitungannya, yang bisa diterapkan pada 2025 adalah mobil listrik 4,45 persen dari total mobil di Indonesia, sepeda motor listrik 11,2 persen dari total sepeda motor, kompor listrik 11,67 persen untuk wilayah perkotaan serta 10 persen untuk wilayah perdesaan, dan substitusi biomassa untuk batubara pada PLTU sebesar 15 persen. Selain itu, dari sisi penyediaan energi yang disesuaikan dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) 2021-2030. Dengan demikian, pada 2025 dapat dioptimalkan bauran energi tebarukan mencapai 19 persen (target 23 persen sulit dicapai), gas bumi 16,1 persen, minyak bumi 35,3 persen, dan batubara 29,3 persen. Butuh perombakan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menuturkan, masih lambatnya perkembangan energi terbarukan menjadi lampu kuning bagi pemerintah. Perlu ada perombakan strategi dalam mencapai target 23 persen pada 2025 dan emisi nol bersih (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. ”Ketertinggalan pembangunan energi terbarukan di sektor kelistrikan dalam tiga tahun terakhir menunjukkan ada kekeliruan dan minimnya terobosan dalam strategi pengembangan energi terbarukan. Sejak 2019, kapasitas pembangkit energi terbarukan hanya tumbuh 2 gigawatt (GW) atau 25 persen dari kapasitas yang diperlukan untuk mencapai target 23 persen,” ujar Fabby dalam keterangannya, Rabu (1/2/2023). Menurut dia, pengembangan energi terbarukan saat ini tersandera oleh dilanjutkannya pembangunan PLTU pada program 35 GW. Padahal, target pertumbuhan permintaan listrik yang sebelumnya ditetapkan tidak tercapai. Fabby menilai, pemanfaatan energi surya secara masif dan gotong royong seharusnya menjadi langkah strategis. Namun, imbuhnya, pemerintah justru menurunkan target pegembangan energi surya hingga separuhnya dari 2022 menjadi 430 megawatt (MW). ”Ketegasan dan kejelasan aturan yang mendorong adopsi PLTS sudah selayaknya ditunjukkan pemerintah,” ucapnya. Baca juga : Harmoni Transisi Energi Sebelumnya, dalam paparan capaian kinerja 2022 dan rencana 2023 subsektor EBTKE, Selasa (31/1/2023), Dirjen EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyampaikan sejumlah faktor yang membuat pertumbuhan energi terbarukan masih lambat. Selain ada gap sejak awal antara realisasi dan target, pertumbuhan energi fosil membuat persentase energi terbarukan sulit ditingkatkan. Kendati demikian, ia tetap optimistis target 23 persen pada 2025 masih dapat dikejar. ”Tahun ini, strategi kami ialah memastikan agar proses pengadaan (energi terbarukan) berjalan sehingga panennya pada 2024 akhir atau 2025,” ujar Dadan. Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto dalam webinar tentang tantangan komoditas strategis minyak bumi dan batubara, Jumat, menuturkan, pihaknya saat ini tengah menyiapkan pembaruan Kebijakan Energi Nasional (KEN). Adapun KEN yang berlaku saat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014. ”Ada pasal bahwa lima tahun setelah KEN terbit diperkenankan untuk kita tinjau (kembali). Pada Oktober 2022, Presiden memerintahkan untuk menyusun grand strategy energi nasional berkaitan dengan Kesepakatan Paris dan Covid-19. Sebab, pertumbuhan ekonomi yang tadinya diperkirakan mencapai 7-8 persen saat ini hanya 4-5 persen. Jadi, supply-demand energi kita hingga 2060 harus direvisi,” kata Djoko.
|
Kembali ke sebelumnya |