Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Perdagangan Orang: 1.000 WNI Dijual ke Arab
Tanggal 05 April 2023
Surat Kabar Kompas
Halaman 15
Kata Kunci
AKD - Komisi I
Isi Artikel

Dua komplotan perdagangan orang yang beraksi sejak 2015 telah menjual 1.000 orang lebih ke Arab Saudi dan Jordania.

 

JAKARTA, KOMPAS — Perdagangan orang ke luar negeri kian memprihatinkan. Baru-baru ini terungkap dua komplotan perdagangan orang yang sejak 2015 telah menjual lebih dari 1.000 warga negara Indonesia ke Arab Saudi. Masing-masing pelaku dalam kejahatan kemanusiaan ini bisa meraup keuntungan Rp 3 juta-Rp 6,5 juta dari setiap orang yang berhasil dijual ke luar negeri.

Selain dua komplotan itu, diungkap pula satu pelaku perdagangan orang dengan modus menipu para calon tenaga kerja yang tertarik bekerja di di Timur Tengah dan Eropa.

Kasus ini terungkap karena ada sejumlah WNI yang telantar di Jordania dan Singapura akibat ulah para pelaku. Kepolisian Negara RI dan Kementerian Luar Negeri bekerja sama untuk mengungkapnya.

Dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta, Selasa (4/4/2023), Direktur Tindak Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Polri Brigadir Jenderal (Pol) Djuhandhani Rahardjo Puro menyampaikan, kasus ini diungkap berkat laporan dari Kedutaan Besar RI di Amman, Jordania, tentang WNI yang terindikasi sebagai korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Korban dijanjikan untuk dipekerjakan di Arab Saudi melalui transit di Jordania.

Setelah dilakukan penyelidikan, diketahui perdagangan orang itu melibatkan setidaknya enam pelaku yang terdiri atas dua komplotan atau jaringan. Para pelaku yang semuanya laki-laki ini ditangkap di sejumlah tempat di Jawa Barat dan Jakarta.

Komplotan pertama melibatkan ZA (54), MA (53,) dan SR (33). ZA membiayai seluruh perekrutan dan pemberangkatan WNI ke Arab. Perekrutan calon tenaga kerja dilakukan oleh MA, sedangkan pengurusan paspor hingga tiket keberangkatan dilakukan oleh SR. Dari tiap tenaga kerja yang diberangkatkan, ZA mendapatkan keuntungan Rp 6 juta, sedangkan MA memperoleh imbalan Rp 3 juta dan SR mendapatkan Rp 4 juta.

Komplotan kedua melibatkan RR (38) dan AS (58). AS diketahui terkait dengan jaringan perdagangan orang di Arab Saudi. Baik RR maupun AS merekrut dan mengirimkan para tenaga kerja secara langsung ke Arab Saudi. Dalam sebulan, Djuhandhani menyebutkan, RR bisa mengirimkan 6-10 tenaga kerja ke Arab Saudi. Dari tiap tenaga kerja yang dikirim secara ilegal itu, RR mendapatkan keuntungan Rp 6,5 juta, sedangkan AS Rp 5 juta.

Para pelaku menjanjikan kepada para korbannya upah 1.200 riyal atau sekitar Rp 4,9 juta per bulan jika mereka mau bekerja di Arab Saudi. Para pekerja itu diberangkatkan ke Arab Saudi dengan bekal visa turis ke Jordania. ”Pengakuan para tersangka, mereka mengirim pekerja migran Indonesia secara ilegal sejak 2015 dan jumlahnya lebih dari 1.000 orang,” kata Djuhandani.

Modus penipuan

Polri juga menangkap OP (40), seorang perempuan yang merekrut calon tenaga kerja dengan janji dipekerjakan sebagai tenaga profesional di Turki, Arab Saudi, hingga Polandia. Untuk tiap tenaga kerja yang direkrut, OP meminta imbalan berkisar Rp 15 juta hingga Rp 40 juta sebagai biaya pengurusan keberangkatan ke luar negeri.

Menurut Djuhandani, para calon tenaga kerja yang diberangkatkan OP ke luar negeri akan diterbangkan ke Singapura dengan alasan transit. Setibanya di Singapura, para tenaga kerja itu ditelantarkan.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kemenlu Judha Nugraha mengatakan, Kemenlu telah mengidentifikasi para korban perdagangan orang yang dilakukan OP yang ditelantarkan di Singapura, yakni sebanyak 25 orang. ”Di antaranya 23 orang telah dipulangkan ke Indonesia. Dua lainnya memilih tinggal dan bekerja di luar negeri,” ucapnya.

Namun, terhadap 1.000 WNI lebih yang menjadi korban komplotan perdagangan orang ke Arab dan Jordania, menurut Judha, masih dilakukan identifikasi untuk identitasnya.

Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan, adanya Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 Tahun 2015 tentang moratorium atau penghentian penempatan pekerja migran di 19 negara di Timur Tengah menyebabkan permintaan tenaga kerja di kawasan itu meningkat. Pandemi Covid-19 juga jadi pendorong banyaknya perdagangan orang akibat pembatasan sosial yang mengurangi lapangan pekerjaan.

”Perlu didorong penyediaan lapangan kerja padat karya dan revitalisasi perdesaan untuk mengendalikan perdagangan orang ini,” ucapnya.

  Kembali ke sebelumnya