Judul | KERETA REL LISTRIK, Jalan Panjang Polemik Impor KRL Bekas (Bagian 2) |
Tanggal | 07 April 2023 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | Kereta Api |
AKD |
- Komisi V |
Isi Artikel | Tingkat okupansi KRL pada Februari lalu saat ”peak hour” rata-rata mencapai 108 persen. Artinya, jumlah penumpang telah melebihi kapasitas angkut KRL pada saat jam sibuk. Oleh YULIUS BRAHMANTYA PRIAMBADA Rencana impor kereta bekas oleh PT Kereta Commuter Indonesia mendulang polemik yang hingga kini belum menemui titik terang. Padahal, ada potensi peningkatan kepadatan penumpang hingga hampir dua kali lipatnya apabila persoalan ini tidak segera ditangani. Pokok persoalan atas pusaran polemik itu berkaitan erat dengan keharusan memensiunkan 29 rangkaian kereta hingga tahun 2024. Jumlah itu terdiri dari 10 rangkaian pada tahun 2023 dan 19 rangkaian pada 2024. Penghentian ini dilakukan dengan alasan waktu operasional kereta telah melewati batas maksimal usia pemakaian. Hanya, hingga kini PT KCI selaku operator kereta rel listrik (KRL) di Indonesia belum memiliki solusi terbaik untuk mengganti rangkaian kereta yang dipensiunkan tersebut. Padahal, volume penumpang menunjukkan adanya kenaikan yang konsisten seiring dengan meredahnya penularah wabah Covid-19. Pada tahun 2022, terjadi kenaikan rata-rata jumlah penumpang sebesar 5,65 persen setiap bulan. Berdasarkan laju pertumbuhan ini, PT KCI memproyeksikan pada tahun 2024 volume penumpang KRL bisa menyentuh angka 344,8 juta orang per tahun. Jumlah ini berarti melampaui rekor volume penumpang KRL tahunan sebanyak 336,8 juta penumpang pada 2018 silam. ”Peak hour” Berangsur pulihnya kehidupan masyarakat pascapandemi menjadi salah satu penyebab terjadinya lonjakan jumlah penumpang KRL di Jabodetabek. Praktik bekerja dari rumah (work from home) secara bertahap dikurangi atau bahkan dihapuskan oleh banyak perkantoran. Pembelajaran jarak jauh pun telah dihentikan oleh sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Masyarakat kembali beraktivitas normal seperti sediakala dengan melakukan perjalanan ulang-alik atau komuter setiap harinya. Akibatnya, terjadi lonjakan jumlah penumpang di sejumlah relasi perjalanan kereta, terutama pada waktu-waktu krusial yang kerap disebut sebagai peak hour. Mayoritas pelaku perjalanan komuter berangkat dan pulang pada jam-jam tertentu sehingga menimbulkan kepadatan di sejumlah simpul stasiun karena sebagian besar penumpang melakukan perjalanan pada waktu bersamaan. Berdasarkan pola volume penumpang harian, PT KCI memiliki standar peak hour selama delapan jam dari total 20 jam operasional harian. Delapan jam itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu empat jam pada pagi hari antara pukul 05.00 dan 09.00 serta empat jam pada sore hari antara pukul 16.00 dan 20.00. Baca juga : Jalan Panjang Polemik Impor KRL Bekas (Bagian 1)
Dari hasil penghitungan diketahui bahwa jumlah penumpang peak hour ternyata mencapai 90,3 persen dari total penumpang harian. Jika menggunakan acuan persentase tersebut, maka pada Februari 2023 rata-rata penumpang harian KRL hanya dalam rentang waktu delapan jam mencapai 671.300 orang dari total 743.200 penumpang per hari. Konsentrasi jumlah penumpang saat peak hour tersebut sebenarnya dapat dilayani dengan kapasitas angkut KRL yang tersedia. Cara untuk mengetahui kapasitas angkut total KRL selama peak hour dapat ditempuh dengan mengalikan kapasitas per rangkaian dengan jumlah perjalanan KRL selama peak hour. Berdasarkan data yang dipresentasikan PT KCI saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPR, pada tahun 2022 PT KCI memiliki 1.150 unit KRL yang siap beroperasi. Dari jumlah itu, hanya sekitar 90 persen yang bisa dioperasikan setiap hari karena sisanya perlu menjalani perawatan atau sebagai cadangan. Sumber data yang sama menunjukkan, lebih kurang terdapat 95 rangkaian yang beroperasi setiap hari. Satu rangkaian KRL secara rata-rata terdiri atas 11 unit kereta atau 11 stamformasi (SF). Kapasitas satu unit KRL rata-rata 109 penumpang. Dengan demikian, kapasitas rata-rata satu rangkaian KRL lebih kurang 1.146 penumpang. Perlu diingat, ini adalah kapasitas normal dan layak, yang berarti semua penumpang bisa mendapatkan tempat duduk atau pegangan tangan (handgrip). Dengan rincian data tersebut, maka kalkulasi penumpang saat jam-jam sibuk dapat estimasikan. Apabila mengacu pada jadwal perjalanan KRL Jabodetabek per 1 April 2023 yang terdapat 542 perjalanan selama peak hour, maka kapasitas total angkut KRL pada waktu puncak terpadat ini mencapai 621.100 penumpang. Melebihi kapasitas Dari data kalkulasi tersebut, dapat diketahui tingkat okupansi KRL selama peak hour. Caranya, dengan membagi rata-rata jumlah penumpang harian dengan rata-rata kapasitas angkut total KRL. Hasilnya, jika menggunakan data Februari 2023, tingkat okupansi KRL pada peak hour rata-rata mencapai 108 persen. Artinya, jumlah penumpang telah melebihi kapasitas angkut KRL pada jam-jam sibuk. Tingkat okupansi pada Februari 2023 itu mengindikasikan bahwa volume penumpang belum sepenuhnya pulih seperti sebelumnya. Pasalnya, pada tahun 2019, volume rata-rata penumpang KRL harian mencapai 920.700 penumpang atau masih lebih banyak dibandingkan kondisi sekarang. Seandainya volume tersebut terjadi saat ini, maka tingkat okupansi KRL saat peak hour dapat mencapai 133,9 persen atau terpaut sekitar 25 persen lebih banyak daripada okupansi Februari lalu. Dengan terus terkendalinya situasi penularan wabah di Indonesia, jumlah penumpang KRL berpotensi besar akan terus meningkat. Hal ini berbanding terbalik dengan ketersediaan sarana unit kereta yang justru harus dikurangi operasionalnya karena harus dipensiunkan. Sayangnya, kereta-kereta yang akan dipensiunkan itu belum juga ada penggantinya. Sejumlah kereta yang masih beroperasi pun harus diremajakan agar tetap layak melayani konsumen. Hingga tahun 2024, akan terdapat 348 unit kereta yang harus mengalami peremajaan atau konservasi (scrap). Hal ini membuat jumlah unit KRL yang siap beroperasi berkurang menjadi 802 kereta. Pengurangan tersebut secara otomatis dapat berdampak pada sejumlah hal, di antaranya rangkaian kereta yang kian pendek, jumlah rangkaian operasional kian sedikit, atau jumlah perjalanan kereta harian berkurang. Ada berbagai alternatif kemungkinan yang dapat terjadi dari kondisi tersebut. Namun, setidaknya ada dua kemungkinan yang cukup masuk akal. Pertama, panjang rangkaian berkurang, tetapi jumlah rangkaian operasional dan jumlah perjalanan harian tetap sama. Kedua, jumlah rangkaian tetap, tetapi jumlah rangkaian operasional dan perjalanan keretanya berkurang. Dalam memproyeksikan kondisi tahun 2024, PT KCI menggunakan skenario jumlah rangkaian operasional berkurang menjadi 69 rangkaian. Berkurangnya rangkaian operasional ini membuat jumlah perjalanan peak hour harus dikurangi menjadi 401 perjalanan atau berkurang 141 perjalanan dari kondisi saat ini. Di sisi lain, panjang rangkaian tetap dapat dipertahankan sekitar 10 SF. Dengan demikian, kapasitas angkut rata-rata penumpang pada jam-jam sibuk hanya 436.700 penumpang atau berkurang 29,7 persen dari kapasitas sekarang. Proyeksi ini tentu saja sangat timpang dengan situasi tahun depan, saat rata-rata volume penumpang peak hour diprediksi dapat menyentuh angka 853.300 penumpang. Artinya, rata-rata tingkat okupansi KRL pada waktu peak hour tahun 2024 nanti bisa melonjak menjadi 195,4 persen atau nyaris dua kali lipat dari kapasitas angkut yang layak. Jika skenario tersebut terjadi, dapat dibayangkan betapa sesaknya kondisi yang harus dihadapi para penumpang KRL pada jam-jam sibuk setiap hari. Selain itu, muatan berlebih atau overload secara langsung juga meningkatkan risiko terjadinya gangguan teknis atau bahkan kecelakaan yang dapat berakibat fatal. Alternatif Perhitungan peak hour tersebut adalah perhitungan rata-rata. Artinya, ada kemungkinan lonjakan tingkat okupansi itu tidak terjadi secara seragam di semua jalur dan waktu keberangkatan. Menurut Erlangga dkk dalam jurnal yang dipublikasikan tahun 2020, tingkat okupansi pada saat peak hour bisa turun 25-30 persen. Meskipun demikian, PT KCI tetap perlu menyiapkan skenario mitigasi terhadap potensi lonjakan penumpang saat jam sibuk yang diperkirakan terus meningkat agar keselamatan, kenyamanan, dan keamanan konsumen dapat terpenuhi. Caranya, antara lain, dengan meningkatkan kapasitas penumpang, yakni melalui penambahan jumlah perjalanan peak hour atau pengurangan jumlah kereta yang dicadangkan. Setiap opsi ini memiliki kelemahan masing-masing.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO Kepadatan penumpang KRL dari stasiun awal Rangkas Bitung, Banten, tujuan Stasiun Tanah Abang, Jakarta, saat jam berangkat kerja, Rabu (15/3/2023). Jam berangkat dan pulang kerja merupakan puncak kepadatan penumpang. Bahkan, di sejumlah stasiun, banyak penumpang yang tidak bisa terangkut kereta karena kereta sudah penuh. Pada opsi pertama, penambahan perjalanan peak hour berarti harus mengurangi perjalanan offpeak hour. Jika jumlah perjalanan pada peak hour ditambah 100 perjalanan, tingkat okupansi saat peak hour dapat berkurang 39 persen menjadi 156,4 persen. Namun, di sisi lain, tingkat okupansi kereta selama 12 jam operasional di luar jam sibuk secara rata-rata akan naik 7,2 persen dari 21,3 menjadi 28,5 persen. Pada opsi kedua, berkurangnya jumlah rangkaian yang dicadangkan secara langsung akan menambah jumlah perjalanan tanpa perlu mengorbankan perjalanan off peak hour. Namun, hal ini bisa meningkatkan risiko atas kerusakan unit KRL karena jumlah kereta yang seharusnya masuk perbaikan dan perawatan rutin akan berkurang sehingga bisa berdampak pada keselamatan dan keamanan para penumpang. Selain kedua opsi itu, ada pula alternatif lain untuk tetap mempertahankan jumlah unit kereta yang bisa dioperasikan, yakni dengan cara retrofit atau penambahan teknologi pada rangkaian KRL yang lama untuk mendukung upaya peremajaan. Dengan upaya retrofit, dikatakan bahwa masa pakai unit KRL dapat bertambah hingga 10 tahun. Namun, ada kekhawatiran upaya retrofit juga dapat mendatangkan efek samping terhadap keselamatan penumpang karena penggunaan unit kereta melampaui batas maksimal usia pemakaian (Kompas, 30/3/2023). Dengan semua opsi yang tersedia, diharapkan pemerintah dan segenap pemangku kebijakan mengambil langkah terbaik atas persoalan penyediaan sarana KRL ini. Pasalnya, jika tidak segera mengambil tindakan, maka keselamatan, kenyamanan, dan keamanan ratusan ribu penumpang KRL dipertaruhkan. (LITBANG KOMPAS) |
Kembali ke sebelumnya |