Judul | Menanti Komitmen Lingkungan Para Tokoh di Tahun Politik |
Tanggal | 24 April 2023 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | Lingkungan hidup |
AKD |
- Komisi VII |
Isi Artikel | Beberapa tokoh di tingkat daerah ataupun pusat kian giat muncul ke publik pada tahun politik saat ini. Komitmen para tokoh ini terhadap isu lingkungan sangat dinanti di tengah dampak krisis iklim yang kian nyata. Oleh PRADIPTA PANDU MUSTIKA Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) pada 14 Februari 2024 untuk memilih wakil rakyat, mulai dari unsur eksekutif hingga legislatif. Penyelenggaraan Pemilu 2024 dengan waktu kurang dari satu tahun ini mulai dimanfaatkan berbagai tokoh, baik di tingkat daerah maupun pusat, untuk muncul dan menarik simpati publik. Beberapa hari terakhir, sejumlah nama tokoh juga telah muncul dan resmi dikenalkan oleh partai politik untuk maju sebagai calon presiden. Kondisi ini pun menarik perhatian publik tidak hanya yang berlatar belakang politik, tetapi juga ekonomi hingga lingkungan. Sebab, para tokoh tersebut nantinya akan mengemban amanat rakyat dari berbagai sektor. Dalam diskusi ruang Twitter bertajuk ”Hari Bumi di Tahun Politik”, Senin (23/4/2023) malam, ekonom senior Faisal Basri memandang tidak ada perubahan signifikan dari beberapa tokoh yang muncul dalam kontestasi Pemilu 2024. Bahkan, beberapa tokoh dari sejumlah partai tersebut memiliki rekam jejak yang buruk terhadap isu lingkungan. ”Tokoh-tokoh tersebut tidak pernah menawarkan sesuatu untuk kebaikan Indonesia, khususnya terkait kebijakan lingkungan. Hal yang mereka sibukkan justru mengatur koalisi partai dan pasangannya, bukan sesuatu yang ditawarkan atau yang sudah dicapai,” ujarnya. Menurut Faisal, kondisi perpolitikan yang ditunjukkan para tokoh dan elite partai tersebut sangat berbahaya bagi Indonesia. Apabila hal ini berlanjut, bukan tidak mungkin kebijakan dari presiden dan wakil presiden yang terpilih nanti akan tetap mengancam lingkungan. Memilih pemimpin yang berkomitmen terhadap isu lingkungan sangat penting untuk Indonesia. Saat ini, sudah banyak hasil studi ataupun laporan dari lembaga internasional yang menunjukkan bahwa kerusakan Bumi semakin cepat. Hal ini membuat seluruh pihak perlu mengambil langkah secara cepat dan bersungguh-sungguh untuk mengatasi kondisi ini apabila tidak ingin kehancuran menghampiri umat manusia. ”Bencana akibat krisis iklim telah menghampiri semua negara. Oleh karena itu, perlu tindakan penyelamatan tidak bisa hanya dilakukan satu negara, tetapi juga harus secara kolektif. Dalam konteks Indonesia, kerusakan yang terjadi juga sudah semakin parah,” ucap Faisal.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi Zenzi Suhadi juga memiliki pandangan yang serupa. Menurut Zenzi, elite politik Indonesia sekarang tidak pernah bicara soal gagasan. Orang-orang yang diamanatkan untuk mengurus negara juga tidak memahami persoalan rakyat. Pada akhirnya, rakyat pun digiring untuk memilih pemimpin atas dasar suka dan tidak suka. Sejak tahun 1999, kata Zenzi, Walhi telah melihat bahwa kehancuran lingkungan diawali dengan keputusan politik. Setelah itu pada 2012, Walhi kemudian mulai mendalami hubungan antara tahun politik dan kehancuran lingkungan atau sumber daya alam. Pendalaman yang dilakukan Walhi ini menyimpulkan bahwa hak menguasai kekayaan alam sudah disalahgunakan oleh negara. Selama ini, negara dianggap tidak mengelola kekayaan alam tersebut untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, negara justru menjual kekayaan tersebut kepada pihak ketiga untuk dilipatgandakan. Baca juga: Keputusan Politik Sangat Berpengaruh pada Isu Lingkungan ”Secara faktual, tahun politik selalu menjadi tahun dengan peningkatan angka penerbitan izin lingkungan hingga ratusan kali lipat. Kami identifikasi sekarang bahwa para pelaku kejahatan lingkungan kini mulai membuat pemerintah bekerja untuk mereka,” katanya. Pernyataan Zenzi ini tidak terlepas dari fakta terkait adanya keterlibatan pelaku kejahatan lingkungan sebagai pemodal atau pihak yang membiayai kampanye politik para calon kepala daerah. Jasa para pelaku kejahatan lingkungan ini kemudian dibalas kepala daerah terpilih dengan memberikan izin untuk eksploitasi sumber daya alam dan menguasai tanah rakyat. Praktik ini semakin diperparah oleh negara karena menerbitkan regulasi terkait perizinan usaha yang dirancang dalam jangka panjang dan mengikat. Ketentuan dalam regulasi juga memberikan pengampunan terhadap pelaku kejahatan lingkungan. Bahkan, regulasi tersebut memberikan waktu kepada korporasi untuk menguasai bidang tanah dan laut dalam jangka waktu yang tidak bisa dikendalikan oleh rezim pemerintahan. Ekonomi politik Faisal tidak menampik bahwa berbagai keputusan ekonomi juga turut berdampak terhadap isu lingkungan. Bahkan, beberapa kebijakan ekonomi, seperti di sektor transisi energi, juga dinilai belum tepat sasaran karena implementasinya akan semakin merusak lingkungan. Salah satu kebijakan yang dalam implementasinya masih kurang tepat sasaran adalah percepatan penggunaan kendaraan listrik. Dari aspek lingkungan, penggunaan kendaraan listrik memang lebih ramah emisi. Namun, proses untuk menghasilkan baterai listrik dipandang masih merusak alam dari kegiatan eksploitasi nikel dan mangan. ”Kebijakan ekonomi Indonesia sangat tidak bersahabat dengan alam. Artinya, ekonomi Indonesia masih foya-foya dengan membiayai dari sektor-sektor padat sumber daya alam yang hanya tinggal mengeruk kemudian menjualnya,” katanya. Berkaca dari kondisi Indonesia saat ini, Fasial menyebut bahwa diperlukan suatu ekonomi politik dengan fokus kegiatan ekonomi yang lebih merata dan mengedepankan faktor-faktor inovasi serta produk baru. Melalui transformasi ini, Indonesia diyakini akan memiliki daya saing yang semakin tinggi dan menghasilkan pembangunan berkelanjutan. Selain itu, Faisal pun mengusulkan agar generasi muda dapat mendorong para tokoh yang maju dalam Pemilu 2024 dapat berkomitmen terhadap isu lingkungan. Sebab, generasi muda merupakan salah satu kelompok dengan ceruk suara pemilih terbesar. Di sisi lain, generasi muda juga menjadi kelompok yang akan merasakan dampak perubahan iklim. Baca juga: Beban Berat Generasi Muda Mengatasi Krisis Iklim ”Anak muda yang merupakan dua pertiga dari total pemilih inilah yang paling menentukan. Generasi muda dapat membuat buku putih untuk mencatat apa yang dikehendaki sehingga siapa pun yang menjadi calon presiden atau wakil presiden akan mengikuti kemauan mereka apabila tidak ingin kalah dalam pemilu,” ucapnya. Pada tahun politik saat ini, sudah sepatutnya para calon pemimpin gencar menyuarakan isu lingkungan dan menawarkan gagasan terbaik untuk Indonesia. Pemilu 2024 pun diharapkan bisa memunculkan calon pemimpin yang berpihak terhadap kepentingan rakyat dan keberlanjutan lingkungan. |
Kembali ke sebelumnya |