Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul KAWASAN IKN NUSANTARA, Hutan IKN Harusnya Hutan Masyarakat
Tanggal 31 Mei 2023
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci Hutan
AKD - Komisi V
Isi Artikel

Hutan kota di IKN Nusantara ke depan haruslah dapat menjadi hutan (adat) sebagaimana yang dikonsepsikan dalam kehidupan masyarakat adat. Dengan demikian, masyarakat adat benar-benar akan merasa memiliki IKN Nusantara.

Oleh R YANDO ZAKARIA

Pada 24 Mei 2023, Otorita Ibu Kota Negara Nusantara bersama Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), dan World Agroforestry menggelar seminar bertajuk ”Kebudayaan dan Konservasi dalam Konsep Kota Hutan IKN”. Sebuah tema menarik untuk diperbincangkan lebih lanjut. Dikatakan menarik karena, jika menilik masa lalu, ketiga konsep yang dibahas dalam seminar tersebut sejatinya adalah sejarah, seiring status kawasan hutan IKN tersebut sebagai lansekap operasional dari proses urbanisasi yang telah terjadi puluhan tahun sebelumnya (Vandy Yogas Swara, 2023).

Nadia Gissma Kusumawardhani dalam tesis masternya yang berjudul New Exclusions in The Making: The Land Deals of Indonesian’s State Capital Relocation (IKN) Project (2022) menjelaskan bahwa pembangunan telah mengubah wajah lansekap operasional itu menjadi sedemikian rupa. Pembangunan tersebut seperti penetapan kawasan itu sebagai kawasan hutan dan kemudian di atasnya diberikan izin pemanfaatan hutan kepada beberapa perusahaan; menetapkan sebagian kawasan hutan itu menjadi areal penggunaan lain (APL) untuk mendirikan pemukiman transmigrasi yang belakangan menjelma menjadi puluhan desa yang dihuni ribuan transmigran dari luar daerah itu (terutama dari Jawa); masuknya usaha perkebunan kayu (hutan tanaman industri), sawit, dan belakangan juga pertambangan.

Terkait lemahnya kerangka hukum yang berlaku dalam mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat, tak heran jika di kawasan hutan IKN itu terdapat sejumlah tumpang-tindih klaim antarpihak. Terutama dengan pihak masyarakat adat. Demi kebaikan IKN Nusantara, persoalan-persolan itu perlu diselesaikan (Bappenas, 2019).

Perubahan-perubahan itu menyangkut aspek fisik di mana kawasan itu tidak lagi berupa hutan alam, kecuali beberapa kecil saja di antaranya. Dari sisi demografi, penduduk asli telah menjadi minoritas sekaligus marjinal. Pengetahuan cq kebudayaan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan sebagai sumber utama komunitas saat itu (baca: hutan adat), sebagai akibat hadirnya kegiatan industri perhutanan dan perkebunan di kawasan itu, juga terdegradasi.

Panorama taman hutan raya Bukit Soeharto di Sepaku, Kabupaten Penajem Paser Utara, Kalimantan Timur, Kamis (1/3/2021). Hutan seluas 64.814,98 hektar di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara tersebut dipastikan masuk kawasan rencana ibu kota negara (IKN) baru.

KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)

Panorama taman hutan raya Bukit Soeharto di Sepaku, Kabupaten Penajem Paser Utara, Kalimantan Timur, Kamis (1/3/2021). Hutan seluas 64.814,98 hektar di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara tersebut dipastikan masuk kawasan rencana ibu kota negara (IKN) baru.

Mengoreksi masa lalu

Bagaimana proyek IKN Nusantara akan menyikapi persoalan akut tersebut? Bagaimana konsep kota hutan dapat menjadi solusi terkait hak dan revitalisasi pengetahuan kebudayaan masyarakat adat?

Perubahan status hutan IKN Nusantara dari sekadar lansekap operasional menjadi episentrum urbanisasi ke depan seharusnya menjadi momentum untuk menyelesaikan masalah yang ada. Dengan kata lain, konsep pengembangan IKN Nusantara sebagai ”kota hutan” ke depan harus bisa mengoreksi dosa masa lalu sebagaimana telah disebutkan.

Hal tersebut harus sungguh-sungguh diperhatikan. Berkaca pada pengalaman beberapa komunitas yang tinggal di dalam dan disekitar hutan, proses marjinalisasi masyarakat adat dan masyarakat lokal dalam proses pemanfaatan sumber daya alam yang menafikan relasi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang bersangkutan bermuara kepada kemiskinan struktural yang akut.

Zakaria et al (2017) menunjukkan bahwa hilangnya sebagian besar fungsi hutan akibat perluasan operasi perusahaan-perusahaan ekonomi ekstraktif berdampak terhadap perubahan drastis jenis komoditas konsumsi di tingkat rumah tangga. Semula, sebagian besar barang konsumsi dapat diakses secara bebas (tidak perlu membayar). Kehadiran proyek mengubah sistuasi secara drastis di mana sebagian besar barang kebutuhan harus dibeli dengan uang tunai.

Hasil kajian juga menunjukkan bahwa 36,79 persen dari nilai komoditas konsumsi masyarakat saat ini bisa didapatkan tanpa harus membeli di masa lalu. Kontraksi konsumsi ini tidak dapat dikatakan besar, mengingat ketika krisis moneter pada 1998, kontraksi ekonomi yang terjadi hanyalah 15 persen (penurunan gross domestic product/GDP per kapita), tetapi dampaknya masih menghantui masyarakat dan pemerintah hingga kini. Tiap keluarga responden di tiga lokasi survei harus menanggung total biaya sebesar Rp 41.754.672 per tahun sebagai dampak dari konflik yang berlangsung.

Seorang pegawai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menunjukkan peta lokasi rencana pembangunan Kompleks Presiden di depan area kavling Istana Presiden yang menempati lahan seluas 100 hektar di Ibu Kota Negara Nusantara, Kalimantan Timur, Sabtu (5/11/2022).

MADINA NUSRAT

Seorang pegawai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat menunjukkan peta lokasi rencana pembangunan Kompleks Presiden di depan area kavling Istana Presiden yang menempati lahan seluas 100 hektar di Ibu Kota Negara Nusantara, Kalimantan Timur, Sabtu (5/11/2022).

Tak boleh terulang

Jelas terlihat bahwa penyingkiran komunitas dari pemanfaatan sumber daya hutan telah memerangkap masyarakat ke dalam proses pemiskinan yang kian dalam. Ditandai oleh melemahnya kemampuan masyarakat untuk menabung ataupun melakukan investasi. Termasuk menyempitnya peluang untuk terjadinya mobilitas sosial karena terbatasnya peluang untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik alias banyak anak putus sekolah.

Apakah tren yang sama sudah dan akan terus terjadi lagi di IKN?

Dalam presentasi Deputi Bidang Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Otorita IKN Nusantara memang telah disebutkan bahwa program kota hutan Nusantara akan menerapkan prinsip community involvement melalui strategi utama ”mengakui, melibatkan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat dan lokal”.

Demikian pula terkait strategi pembangunan sosial budaya di IKN adalah dengan menerapkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika sehingga pembangunan di IKN akan bersifat inklusif dan partisipatif. Hal ini, antara lain, dicapai dengan memastikan tidak ada diskriminasi terhadap individu atau komunitas yang terkena dampak proyek; serta memberikan perlindungan kepada penduduk asli, kelompok minoritas, dan kelompok rentan lainnya.

Secara spesifik, terhadap kelompok yang terkena dampak, disebutkan pula akan diatasi melalui program relokasi yang harus mampu mendukung, memelihara, dan melestarikan serta mengembangkan budaya, dan kebutuhan mata pencarian di masa depan. Namun, bagaimana prinsip-prinsip yang mendasar itu dioperasionalkan dalam konsep kota hutan itu belum lagi terlihat jelas.

Dua strategi

Ide konservasi dalam konsep kota hutan IKN yang basis kebudayaan masyarakat adat bisa diimplentasikan dengan membangun kampung adat (Kompas.id, 1 April 2023). Dengan demikian, konsep hutan kota di IKN berbeda dengan konsep hutan kota yang biasa dikenal selama ini.

Hutan kota di IKN Nusantara ke depan haruslah dapat menjadi hutan (adat) sebagaimana yang dikonsepsikan dalam kehidupan masyarakat adat. Antara lain, hutan adat dimaksud juga bisa menjadi sumber kehidupan ke depan, seperti untuk mendapatkan bahan-bahan makanan dan obat-obatan.

Sekaligus, hutan itu juga menjadi arena pengembangan kebudayaan komunitas-komunitas adat yang bersangkutan. Hutan itu tentu bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan subsisten semata, melainkan bisa juga menjadi basis pengembangan ekonomi yang memiliki nilai tambah agar komunitas-komunitas adat di IKN Nusantara itu memiliki tingkat kesejahteraan yang jauh lebih baik dari keadaannya hari ini.

Sementara itu, bagi kelompok-kelompok masyarakat lokal, hutan di kota hutan IKN Nusantara itu juga bisa dikelola oleh kelompok-kelompok komunitas lokal melalui skema perhutanan sosial yang telah dilaksanakan Presiden Joko Widodo sejak masa permerintahan pertamanya. Dengan demikian, kegiatan konservasi hanya akan dilakukan pada areal-areal tertentu.

Dengan dua strategi yang dijelaskan secara ringkas di atas diharapkan—berbeda dengan saat ini—adat benar-benar akan merasa memiliki IKN Nusantara. Upaya ini sekaligus menjawab protes yang mengatakan IKN Nusantara menyingkirkan masyarakat tempatan.

Tentu kita harus cermat dalam menentukan siapa masyarakat adat dan juga masyarakat lokal di kawasan itu agar tidak menimbulkan masalah baru. Demikian juga benar pula jika dikatakan bahwa konsep hutan di masa depan juga ramah terhadap penduduk baru IKN Nusantara kelak. Untuk itulah, kajian yang lebih dalam diperlukan. Juga perlu menentukan prioritas dalam penanganan masalah-masalah yang ada tersebut.

R Yando ZakariaAntropolog; Fellow pada Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria (Karsa) dan Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat (Pustaka)

 

 

  Kembali ke sebelumnya